Jakarta (Antaranews Jatim) - Pengamat intelijen, Ngasiman Djoyonegoro menilai ancaman mogok Serikat Karyawan Garuda (Sekarga) dan Asosiasi Pilot Garuda (APG) sudah pada tahap merusak citra pemerintah. Dalam pandangannya kasus yang membelit perusahaan pelat merah menyangkut politik dan ekonomi.
"Jika dirunut ada strategi besar di balik rencana mogok yaitu dari pemilihan waktu. Awalnya, saat Ramadhan dan Idul Fitri yang berbarengan dengan mudik Lebaran 2018. Kini, mengancam lagi berdekatan dengan jadwal keberangkat jamaah haji Indonesia dan Idul Adha. Ini ada apa?" ujar Ngasiman yang juga Direktur Eksekutif Center of Intelligence and Strategic Studies (CISS) ini dalam keterangan persnya kepada wartawan di Jakarta, Rabu.
Program Haji adalah program nasional sekaligus internasional maka ancaman mogok tersebut mengganggu hajatan dan kepentingan umat muslim yang akan menunaikan ibadah haji.
Jamaah haji Indonesia 1439 Hijriah akan mulai diberangkatkan ke Arab Saudi pada 17 Juli 2018. Keberangkatan jamaah akan dibagi dalam dua gelombang penerbangan. Gelombang pertama akan menuju Madinah pada 17-29 Juli. Gelombang kedua berangkat ke Jeddah mulai 30 Juli sampai 15 Agustus.
Kementerian Agama (Kemenag) memastikan pengangkutan udara jamaah haji Indonesia tahun 2018 akan menggunakan jasa maskapai penerbangan Garuda Indonesia.
Karenanya, Simon--panggilan akrab Ngasiman Djoyonegoro--melihat kasus mogok kerja yang akan dilakukan Sekarga dan APG tidak ada kaitannya dengan hubungan industrial antara karyawan dengan perusahaan. Kasus yang membelit perusahaan pelat merah ini kental bernuansa politik dan ekonomi.
"Pertama, harus dilihat siapa aktor politik yang bermain. Kedua, indikasi adanya aktor ekonomi sangat terlihat karena Garuda Indonesia adalah aset pemerintah yang sangat seksi," ujar Simon.
Aktor politik ini, katanya, terlihat ingin menciptakan kegaduhan dalam tubuh pemerintah Joko Widodo, BUMN sebagai sasaran antara. Jika mogok kerja terjadi tentunya citra pemerintah yang tercoreng karena dinilai gagal dalam menciptakan kondisi aman di tahun politik.
Kemudian, dalam sisi ekonomi terlihat ada upaya sistematis untuk membuat kesan manajemen Garuda Indonesia gagal dalam mengelola bisnis. Situasi tidak kondusif ini ditujukan untuk membuat karut-marut yang arahnya Garuda Indonesia diambang kebangkrutan.
"Semua tuntutan karyawan dan pilot sudah dipenuhi manajemen. Kinerja manajemen mengalami trend positif, semua dapat dilihat dalam laporan keuangan Garuda. Jadi, apalagi alasan mereka? Saya menduga mereka yang ngotot mogok kerja hanya kelompok kecil," tegas Simon.
Untuk itu, lanjutnya, pemerintah harus mengambil tindakan tegas dalam menyelamatkan aset nasional. Pemerintah juga perlu mengidentifikasi siapa-siapa biang kerok di dalam tubuh Garuda Indonesia dan aktor-aktor intelektual di luar yang bermain.
"Sambil menyiapkan upaya penyelamatan ketika mogok benar terjadi, pemerintah dan manajemen dapat menjatuhkan sanksi tegas kepada karyawan yang berniat merongrong aset nasional," ungkapnya.
Terpisah, Sekretaris Jenderal Ikatan Awak Kabin Garuda Indonesia (Ikagi), Haryo Budi Santoso menegaskan, sekitar 5.000 awak kabin Garuda Indonesia tidak akan ikut serta dalam rencana mogok kerja yang akan dilakukan oleh Sekarga dan APG.
"Ikagi tidak ikut mogok kerja," ujar Haryo Budi Santoso kepada wartawan di Jakarta, Rabu.
Pernyataan Haryo Budi Santoso ini menyikapi gonjang ganjing rencana mogok kerja Sekarga dan APG dalam waktu dekat ini.
Diketahui, APG bersama Sekarga mengklaim mogok kerja bagian dari tuntutan kepada manajemen untuk melakukan restrukturisasi jumlah direksi dari delapan menjadi enam orang. Idealnya, cukup direktur utama, direktur operasi, direktur teknik, direktur keuangan, direktur personalia, dan direktur niaga.
Pekerja meminta pergantian direksi dari kalangan profesional di bidang penerbangan dari kalangan internal perusahaan. Tuntutan tersebut diajukan setelah menilai terdapat beberapa masalah di tubuh manajemen GIAA.(*)