PBB, New York (Antaranews jatim/Xinhua-OANA) - Sidang Majelis Umum PBB pada Rabu (27/6) mengakhiri kajian terakhirnya mengenai Strategis Kontra-Terorisme Global, dan para pembicaraan menyoroti upaya mereka masing-masing untuk memerangi radikalisasi dan fanatisme yang melibatkan kekerasan.
Strategi Kontra-Terorisme Global pertama kali disahkan pada 2006 dan dikaji setiap dua tahun. Itu adalah instrumen unik global untuk meningkatkan upaya nasional, regional dan internasional guna menanggulangi terorisme.
Pada Selasa, negara anggota dengan suara bulat mensahkan resolusi yang menekankan perlunya bagi semua negara untuk menggabungkan upaya, dan banyak negara kembali menyatakan bahwa tak satu negara atau satu pemerintahpun dapat menanggulangi momok itu sendirian saja.
"Kita akan lebih kuat jika kita bekerjasama," kata Presiden Sidang Majelis Umum PBB Miroslav Lajcak saat ia mengajukan teks tersebut, dalam acara dua-hari itu.
Sidang itu menekankan pentingnya pendekatan yang menyeluruh dan berkelanjutan guna menangani kondisi yang kondusif bagi penyebaran terorisme, demikian laporan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis malam. Ditambahkannya, itu tak bisa dikalahkan oleh kekuatan militer, penerapan hukum dan operasi intelijen saja.
Namun sebagian negara anggota menyampaikan ketidak-puasan dengan teks tersebut, dan mengatakan itu mencerminkan hanya pembaruan teknis dari teks sebelumnya --yang disahkan dua tahun lalu.
Mereka juga mengatakan teks tersebut kekurangan kemajuan berarti dalam bahasa guna menangani perang melawan teroris yang menyebar.
Banyak negara anggota juga menyambut bahasa yang memperbarui strategi itu untuk memasukkan rujukan bagi tantangan baru, termasuk perlunya untuk mencegah arus petempur asing, menanggulangi dana teroris dan menangani kisah teroris.
Libatkan masyarakat
Sidang tersebut menyeru negara anggota untuk menyoroti peran penting masyarakat sipil dan perempuan dalam penanggulangan terorisme dan fanatisme yang melibatkan kekerasan.
Pembicaraan dari Norwegia mengatakan pemerintahnya memperkuat pendekatan seluruhnya dari masyarakat dengan menyoroti peran perempuan, generasi muda dan masyarakat sipil dalam rehabilitasi.
Delegasi Jepang, yang mengumandangkan pendapat itu, menekankan peran penting masyarakat sipil, tokoh masyarakat, perempuan dan pemuda dalam melaksanakan kontra-terorisme dan mencegah fanatisme yang melibatkan kekerasan.
Ia terutama menyatakan perempuan membentuk masyarakat dan nilai keluarga serta memiliki tempat bagus untuk mengidentifikasi dan campur-tangan ketika tanda paling dini radikalisasi muncul.
Pembicara bagi Organisasi bagi Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE) menjabarkan bermacam panduan dan tindakan bagus, mulai dari keterlibatan masyarakat sipil dalam mencegah dan menanggulangi fanatis yang melibatkan kekerasan, sampai pada campur-tangan dini, dan pendekatan operasi yang peka-gender untuk menanggulangi terorisme.
Selain itu, karena pelaku teror seringkali mengincar masyarakat yang tersisihkan dan paling rentan, termasuk kelompok minoritas dan perempuan serta anak perempuan, banyak delegasi juga menekankan perlunya untuk memusatkan perhatian pada perlindungan mereka.(*)