Beijing, (Antara) - Gerakan Nasional 1.000 "Start-Up" Digital melibatkan para mahasiswa asal Indonesia di China yang tertarik untuk membangun perusahaan rintisan tersebut.
"Kalian harus pulang ke Indonesia agar negara kita bisa maju," kata Direktur Eksekutif Kibar Kreasi Indonesia, Yansen Kamto, kepada para mahasiswa di Beijing, Sabtu.
Gerakan yang digagas Kibar itu menargetkan 1.000 perusahaan rintisan atau "start-up" di Indonesia hingga 2020.
"Target kami dari 2015 sebanyak 1.000 start-up. Sampai saat ini sudah ada 200 start-up yang kami bina dalam tahap inkubasi. Kami yakin target tersebut terpenuhi pada 2020," ujarnya dalam seminar yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia di Tiongkok (Permit) Beijing bekerjasama dengan Kedutaan Besar RI di Beijing itu.
Menurut dia, peluang usaha di bidang ekonomi digital berbasis "start-up" masih sangat terbuka lebar.
Ekonomi digital di China, sebut dia, telah menghasilkan 200 miliar dolar AS, sedangkan Indonesia baru mencatat hasil 81 miliar dolar AS.
"Ada enam sektor yang peluang pasarnya sangat besar sehingga perlu penanganan lebih lanjut di bidang start up," ucapnya.
Yansen menyebutkan enam sektor yang berpeluang besar dikembangkan oleh pelaku "start-up" di Indonesia adalah pertanian, pendidikan, kesehatan, logistik, energi, dan pariwisata.
Untuk menggerakkan dan memajukan "start-up" tersebut, pemerintah menggandeng Kibar, sebuah perusahaan yang didirikan oleh Yansen untuk membangun ekosistem teknologi di Indonesia melalui inisiatif-inisiatif pembangunan kapasitas dan pembinaan inkubasi.
"Bangun Indonesia agar kalian bisa maju. Saya tidak dibayar pemerintah karena sudah ada perjanjian hukum antara saya dan Googgle. Tidak ada satu pun proyek dari pemerintah karena saya ingin melayani pemerintah," katanya.
Sementara itu, Kuasa Usaha Ad-Interim KBRI Beijing Listyowati berpendapat bahwa gerakan yang dirintis Yansen sangat tepat dalam menyikapi momentum era digital.
"Dalam pengembangan 'start-up' kita dapat belajar dari Tiongkok, seperti kebijakan yang mempermudah wirausahawan muda dan lulusan perguruan tinggi untuk memulai usaha," ujarnya.
Menurut dia, Indonesia dapat memanfaatkan peluang yang muncul dari kebangkitan perekonomian China.
"Tiongkok merupakan negara dengan jumlah 'unicorn' (start-up yang memiliki valuasi senilai 1 miliar dolar AS lebih), terbesar di luar Amerika Serikat," ujarnya.
Listyowati kemudian mencontohkan Distrik Haidian, Beijing, yang dijuluki "Silicon Valley"-nya China pada 2000 menjadi pusat perdagangan barang-barang elektronik.
Barang-barang elektronik yang dijual itu merupakan produk asing yang dirakit di China sehingga tidak salah jika kemudian negara itu mendapatkan julukan sebagai bangsa peniru.
"Namun beberapa tahun kemudian pemerintah Tiongkok mengambil keputusan dengan mengubah 'made in China" menjadi 'created in China'. Hasilnya berbagai pusat 'start-up', investor, dan pengacara paten bertumbuhan menggantikan toko-toko penjual barang-barang elektronik rakitan," katanya.
Ia merasa yakin Indonesia akan memiliki kekuatan secara global dan menjadi basis terbesar ekonomi digital di kawasan Asia-Pasifik.
"Saat ini terdapat sekitar 13 ribu pelajar Indonesia di Tiongkok. Tentunya banyak talenta yang membanggakan sehingga jangan sampai kita sia-siakan," tutur Listyowati.(*)