"Ya...kalau ada hubungan dengan unusr pidana korupsi itu kita menyerahkan kepada Kepolisian, Kejaksaan, KPK. Semua temuan ada indikasi itu kita serahkan," kata Moermahadi ketika menjawab pertanyaan wartawan usai diterima Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka Jakarta, Selasa.
Masalah tindak lanjut, katanya, pihaknya tinggal menanyakan karena BPK tidak punya alat untuk ekseksusi, seperti yang dimiliki penegak hukum. "Jadi kita melaporkan saja," ucap Moermahadi.
Dalam siaran pers BPK, Selasa, selama periode 2003 sampai 30 Juni 2017, BPK telah melaporkan 447 temuan berindikasi pidana senilai Rp44,74 triliun kepada Kepolisian, Kejaksaan dan KPK sebagai aparat penegak hukum. Dari jumlah temuan itu, 425 temuan senilai Rp43,22 triliun (97 persen) telah ditindaklanjuti.
Selama periode yang sama BPK juga telah menerbitkan laporan hasil pemeriksaan perhitungan kerugian negara sebanyak 120 kasus senilai Rp10,37 triliun dan 2,71 miliar dolar AS atau ekuivalen dengan Rp46,56 triliun.
IHPS I tahun 2017 memuat 687 hasil pemeriksaan, yang memuat 14.997 permasalahan. Permasalahan yang perlu mendapat perhatian berdasarkan hasil pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu, yaitu hilangnya potensi PNBP yang diterima periode 2009-2015 mencapai 445,96 juta dolar AS sebagai akibat dari pembayaran iuran tetap, royalti dan royalti tambahan PT Freeport Indonesia yang menggunakan tarif dalam kontrak karya, di mana besaran tarif lebih rendah dari tarif yang berlaku saat ini.
Permasalahan lain di antaranya adalah koreksi perhitungan bagi hasil migas pada SKK Migas karena adanya pembebanan biaya-biaya yang tidak semestinya diperhitungkan dalam "cost recovery" senilai 956,04 juta dolar AS atau ekuivalen Rp12,73 triliun.
Selain itu, 17 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) atau pemegang "working interest" (partner) belum menyelesaikan kewajiban pajaknya sampai dengan tahun pajak 2015 senilai 209,25 juta dolar AS atau ekuivalen Rp2,78 triliun.(*)
Video Oleh Joko Susilo