Ritual tahunan yang rutin diselenggarakan setiap bulan Muharam antara tanggal 11-20 menurut kalender Islam tersebut kini dikelola langsung oleh Pemkab Tulungagung melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tulungagung.
Tak banyak perubahan dalam pelaksanaan rangkaian ritual jamasan tombak pusaka bersejarah yang menjadi perlambang babad terbentuknya Kadipaten Tulungagung tersebut, kecuali lokasi yang kini dipindah ke gedung arsip yang letaknya bersebelahan dengan pendopo kanjengan.
Prosesi jamasan juga tidak melibatkan keluarga Pringgokusumo, bupati ke-7 Kabupaten Tulungagung, yang menjadi ahli waris pusaka tombak Kanjeng Kiai Upas.
"Sejak pusaka ini dihibahkan ke (pemerintah) daerah, tugas dan tanggung jawab pelaksanaan ritual jamasan kini ditangani langsung oleh dinas kebudayaan dan pariwisata. Berbeda dengan dulu yang masih menjadi ritual keluarga Pringgokusumo dimana pemda sifatnya hanya mendukung," ujar panitia pelaksana jamasan pusaka Kanjeng Kiai Upas, Sunarto.
Kendati tak lagi melibatkan keluarga Pringgokusumo, Sunarto memastikan prosesi jamasan berjalan dengan meriah.
Warga tetap antusias menyaksikan prosesi pencucian senjata pusaka menggunakan air kembang yang diambil dari sembilan petirtan (mata air) itu.
Selain dikelola langsung oleh dinas kebudayaan dan pariwisata, pelaksanaan jamasan melibatkan Pemuda Wimbosoro, yaitu keluarga dan anak-turun para abdi dalem Pendopo Kanjengan yang jumlahnya sekitar 50 orang.
Prosesi, diawali dengan penyerahan air "Nawa Tirta" yang diambilkan dari 9 sumber mata air, kepada Bupati Tulungagung Syahri Mulyo.
Air tersebut kemudian diserahkan kepada sesepuh adat untuk dilakukan prosesi jamasan.
Upacara jamasan ini sendiri bila dicermati lebih dalam mengandung nilai-nilai budaya sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari, yakni kebersamaan, ketelitian, gotong-royong dan religius.
Sementara itu, Bupati Tulungagung meminta kepada dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tulungagung untuk lebih inovatif dalam mengemas ritual jamasan Pusaka Kiai Upas.
Syahri menilai pelaksanaan prosesi ini masih belum maksimal.
"Jika acara ini dikemas secara menarik, tentu ini menjadi daya tarik bagi wisatawan. Saya yakin sampai saat ini masih banyak masyarakat Tulungagung yang tidak tahu tradisi (jamasan pusaka Kiai Upas) ini," kata Bupati Syahri Mulyo.
Ia sangat menyayangkan jika potensi wisata tersebut tidak dioptimalkan.
Sebab, kata Syahri, selain untuk memperkenalkan budaya Tulungagung, tradisi jamasan pusaka tombak Kanjeng Kiai Upas juga akan memberikan dampak secara ekonomi bagi warga sekitar.
"Ke depan perlu sosialisasi secara luas, agar masyarakat tahu ada prosesi jamasan ini," ujarnya.
Dalam babad sejarah Tulungagung, tombak Kiai Upas atau Kanjeng Kiai Upas merupakan tombak pusaka milik Ki Ageng Mangir Wonoboyo.
Karena tombak pusaka ini, Ki Ageng Mangir kala itu dikenal sebagai sosok prajurit yang dikenal sakti dan sulit dikalahkan.
Alkisah, Ki Ageng Mangir adalah penguasa wilayah yang merdeka, dan tidak tunduk kepada Kerajaan Mataram.
Pihak kerajaan kemudian ingin menundukkan Ki Ageng Mangir, namun kesulitan karena kesaktiannya.
Maka dibuatlah tipu daya. Penguasa Mataram, Ki Ageng Senopati mengirim putrinya Sekar Pambayun untuk memikat hati Ki Ageng Mangir.
Usaha itu membuahkan hasil. Ki Ageng Mangir Wonoboyo menikahi Sekar Pambayun.
Sekar Pambayun kemudian mengakui sebagai putri Raja Mataram.
Sekar Pambayun kemudian memohon agar Ki Ageng Mangir mau sowan kepada raja, sebagai menantu.
Saat akan menghadap raja, Ki Ageng Mangir diminta meninggalkan tombak pusaka Kiai Upas di penjagaan.
Saat menghadap raja tanpa tombak pusakanya itulah, Ki Ageng Mangir dibunuh.
Setelah Ki Ageng Mangir terbunuh, terjadi wabah di Mataram, Diyakini kejadian tersebut karena tombak Kiai Upas.
Untuk mengatasi wabah, Tombak Kyai Upas kemudian dibawa ke timur dan disimpan di Kadipaten (Kabupaten) Ngrowo, yang sekarang menjadi Tulungagung.
Wabah pun berhenti. Sejak saat itu tombak Kiai Upas masih disimpan di Tulungagung.(*)
Video oleh Destyan H Sujarwoko