Ankara, (Antara) - Di mata Indonesia, Turki adalah cara baru dalam memandang sebuah pengembangan konsep kerja sama bilateral.
Bagaimana tidak, negara yang berada tepat di perlintasan Eropa dan Asia itu selalu memiliki cara dalam mengembangkan ekonominya.
Ankara misalnya, sebagai Ibu Kota ia sama sekali tak sesubur tanah Jawa di Indonesia yang kaya dengan gunung vulkanik aktif, sementara Ankara lebih mirip sebagai stepa dengan rumput kering dan tanah yang tandus.
Namun, toh sebagai ibu kota sebuah negara yang pernah dikuasai Dinasti Ottoman itu, Ankara adalah pusat pemerintahan sekaligus kota bisnis yang sangat nyaman bagi investor asing.
Konsep-konsep kerja sama yang berbeda itulah yang coba untuk ditawarkan kepada Indonesia, mengingat hubungan kedua negara memiliki cerita kesejarahan yang amat panjang.
Bahkan Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi pun setuju bahwa ada banyak hal yang membedakan kerja sama ekonomi dengan Turki.
"Yang membedakan kerja sama-kerja sama industri strategis antara Indonesia dengan Turki adalah dengan Turki kita sudah mampu melakukan kerja sama yang sifatnya 'joint development' dan 'joint production'," tutur Retno.
Turki rupanya tak mau sebuah kemitraan yang sekadar pepesan kosong melainkan konsep kerja sama yang konkret dan berwujud nyata.
Sederet kemitraan khususnya di bidang industri strategis pun sudah mulai terealisasi secara konkret, lihat saja dalam hal pengembangan power ship atau kapal pemasok listrik antara PT PAL dengan Karadeniz Holding yang sudah membangun 4 "power ship" pertamanya dengan kapasitas 36-80 MW.
Kerja sama ini memungkinkan terpenuhi pasokan listrik di wilayah-wilayah "byar pet" di Tanah Air.
Lebih jauh, dengan Turki, Indonesia juga sudah memiliki "agreement on defense industry cooperation" sejak 2010.
"Dan pada saat 2015 kita sudah ada kerja sama komunikasi pertahanan software defense radio hv 9661 antara PT LEN dan Aselsan Turkish, ini adalah untuk memenuhi kebutuah peralatan komunikasi terutama di wilayah-wilayah perbatasan," ujar Menlu Retno.
Ada juga kerja sama antara PT Pindad dengan FSNNS untuk kerja sama joint development dan production untuk "medium weight armor combat vehicle" dengan kapasitas 30 ton.
Sebuah tank tempur skala menengah yang sudah mulai dikerjakan kedua perusahaan, bahkan telah diluncurkan pada Mei 2017. Prototipenya kelak akan didemonstrasikan pada saat HUT TNI pada 2017 nanti.
Kemitraan Konkret
Turki tak ingin berlama-lama dengan sebuah dokumen tanpa kerja nyata. Negara yang sempat mengalami revolusi paling bersejarah pada masa pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk itu benar-benar mengagungkan kemitraan yang konkret.
Tak melulu sederet yang dikembangkan di Indonesia, kerja sama joint development antara PT Dirgantara Indonesia dengan Turkish Aerospace Industries untuk pengembangan pesawat CN generasi terbaru menambah daftar panjang yang membuktikan betapa nyatanya kerja sama yang ingin Turki wujudkan.
Bahkan selain pengembangan pesawat untuk CN 245, dua perusahaan yang bermitra itu juga sedang memulai pengembangan pesawat nirawak alias drone kelas "medium altitude long endurance" untuk kepentingan patroli di wilayah perbatasan.
"Jadi dari data tadi ada beberapa kerja sama yang dilakukan dengan Turki tampak sekali bahwa kita cukup maju untuk kerja sama industri strategis dengan Turki dan kita sudah banyak melakukan kerja sama untuk development dan production," papar Menlu Retno.
Tak berhenti di situ, Turki bahkan menginginkan kerja sama dikembangkan lebih jauh hingga menjangkau ke level pemasaran.
Misalnya, saja untuk produk-produk industri strategis yang dihasilkan dari kemitraan perusahaan dari dua negara, Turki menyatakan berkomitmen untuk memasarkannya di wilayah Timur Tengah dan Eropa. Sementara Indonesia diharapkan memegang pasar untuk wilayah Asia Pasifik khususnya kawasan ASEAN.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita pun turut membenarkan bahwa potensi perdagangan sektor industri strategis Indonesia-Turki sangat besar dalam beberapa tahun terakhir ini.
"Saya juga surprise, mereka ternyata 'advance' untuk industri strategis. Saya yakin pesawat F35 milik Amerika dan pesawat serupa yang dikembangkan oleh Turki tidak kalah teknologinya," ucap Enggartiasto.
Oleh karena itulah, peluang itu akan digarapnya dalam sebuah kerja sama di bidang alutsista untuk meningkatkan volume perdagangan dua negara.
Ingin Akselerasi
Turki menjadi bukti betapa sebuah kerja sama atau kemitraan bukan sekadar sesuatu yang menjadi bahan bahasan di meja diplomasi. Melainkan diwujudkan dalam hal yang riil di lapangan.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P. Roeslani sendiri misalnya melihat Turki sebagai peluang pengembangan pasar dan sumber investor yang besar dalam berbagai bidang.
Hanya saja ia meminta perlunya bagi Pemerintah RI untuk mulai menghapus hambatan perdagangan termasuk tarif atau bea masuk sejumlah komuditas strategis antara kedua negara.
"Sebagian besar masalah soal harmonisasi kebijakan. Untuk pelaku usaha Turki sendiri kami melihat mereka cukup puas dengan beberapa investasi di Indonesia tapi mereka ingin akselerasinya lebih cepat," kata Rosan.
Serupa disampaikan Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan yang ingin meningkatkan volume perdagangan antara kedua negara secara konkret.
Pada 2016 naik menjadi 6 miliar dolar, angka baik tapi tak cukup memadai karena kita mempunyai potensi besar. Kita telah memliki target untuk memiliki volume perdagangan 10 miliar dolar AS," kata Erdogan.
Barangkali Turki memiliki banyak kesamaan dengan Presiden Joko Widodo yang selalu ingin sebuah kerja nyata.
Wajar jika kunjungan kenegaraan Presiden Jokowi ke Turki menjadi harapan yang amat besar khususnya bagi sebagian pelaku industri strategis untuk bisa mewujudkan rencana besarnya dalam mengkontribusikan kinerjanya bagi perekonomian Indonesia.(*)