Dua orang perempuan yang satunya menggendong balita dan satu lainnya memegangi payung duduk di atas tumpukan tanah sisa longsor yang menggunung.
Mata mereka sesekali tak berkedip melihat eskavator menggali timbunan tanah sembari berharap ditemukannya korban. Tangan mereka kadang menutupi mulut saat alat berat mengangkut tanah.
"Ya Allah, semoga ada yang ditemukan," ucap Rubiah, salah seorang di antara mereka yang menunggu hasil Tim SAR Gabungan bekerja mencari korban jiwa.
Perempuan yang usianya 40 tahunan itu sedang mencari tahu keberadaan Kateno, salah satu korban tanah longsor yang terjadi di Dukuh Tangkil, Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
"Kateno itu kakak saya yang saat kejadian ada di sawah di bawah sana," ucapnya sembari menunjuk lokasi kejadian.
Tak lama, datang seorang laki-laki dewasa berbadan tegap, bertopi dan mengenakan kaos bertuliskan nama salah satu bank milik BUMN.
Namanya Darmanto, yang merupakan anak kandung Kateno. Matanya sembab, dan sesekali kalimatnya sesenggukan mengenang bapak yang sudah lama tak ditemuinya.
"Saya sudah lama bekerja di Batu Licin di Kalimantan, dan kebetulan komunikasi terakhir dua bulan lalu melalui telepon, dan berpesan agar hati-hati kerja jauh dan jangan nakal," katanya.
Sebelum mendengar insiden tanah longsor di kampung halamannya, putra sulung Kateno itu mengaku memilih firasat saat beraktivitas di sekitar rumahnya pada Sabtu (1/4) pagi.
Ia mengaku secara tak sengaja menyabetkan parangnya ke ular piton yang panjangnya sekitar empat meter hingga tewas karena tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Saya pagi itu kebetulan membawa parang membersihkan halaman di sekitar rumah, tiba-tiba ada ular di hadapan dan reflek menyabetnya. Tidak lebih dari semenit, istri saya menerima kabar bahwa Desa Banaran longsor dan bapak hilang," ujarnya terlirih.
Saat itu juga, ia yang tinggal di Kalimantan bersama istri dan dua anaknya segera mendatangi Desa Banaran, kemudian bersama-sama keluarga dan kerabat ikut membantu Tim SAR.
Ia bersyukur karena Ibunya, Sutini, tidak menjadi korban saat bencana terjadi karena berada di rumah saudaranya yang juga nyaris menjadi korban.
"Ibu masih 'shock' dan sering nangis. Semoga bapak segera ditemukan, baik masih hidup atau sudah menjadi jenazah," katanya, berharap.
Pantau Kondisi Gunung Gede
Kateno (53), sehari-hari bekerja sebagai petani. Pagi itu, Sabtu (1/4), bapak dua anak tersebut sebenarnya tak ada jadwal bertani karena tinggal bersama istrinya di lokasi pengungsian sementara di rumah warga sekitar.
Namun, saat mencari udara segar, ia bertemu dengan Mukhlas, seorang perangkat desa yang dipercaya sebagai tim pertama pemantau Gunung Gede, gunung yang menjadi titik awal longsoran.
Mereka tidak berdua, tapi ditemani Suroso yang juga berjalan menuju sawah yang saat itu sedang musim panen jahe. Tujuannya satu, memantau dan mengambil dokumentasi untuk dicatat kemudia dilaporkan ke pihak terkait.
Ketiganya berjalan menyusuri sawah dan bertugas seperti hari-hari biasa sebelumnya. Namun, belum selesai mengambil gambar untuk dilaporkan, peristiwa tanah longsor terjadi.
"Pak Mukhlas dan yang lain tahu saat itu ada longsor. Mereka berteriak minta petani-petani yang sedang memanen jahe untuk menyelamatkan diri. Tapi Pak Mukhlas ternyata juga menjadi korban, termasuk Kateno dan Suroso," ungkap Nyamin, warga Dukuh Tangkil yang tahu setelah mendapat cerita dari anaknya, Yudi.
Yudi adalah anak keduanya yang bertugas sama dengan Mukhlas, namun berada di tim kedua. Bahkan, sebelum pergi ke sawah, Mukhlas diakuinya sempat ditawari minum kopi oleh Lamidi, warga setempat.
Namun, kata dia, karena alasan waktu bertugas maka Muhklas hanya berucap terima kasih dan melanjutkan perjalanan menuju area sawah di Dukuh Tangkil.
Nyamin yang saat kejadian juga berada di lokasi mengaku keadaan waktu itu sangat genting dan warga berhamburan menyelamatkan diri.
"Saya sendiri fokus mencari anak saya yang masih sekolah di SDN Banaran. Namanya Yan Firmansyah, kelas VI. Saat itu saya tidak peduli, yang penting anak selamat," tuturnya.
Anak bungsunya itu dicari beberapa menit tidak ketemu. Namun, ia diberitahu tetangga lain bahwa semua anak sekolah diungsikan ke tempat lebih aman.
Usai mendengar anaknya selamat, fokus berikutnya adalah mencari sang ibu, Yatemi, yang tinggal bersama anak dan cucunya di kawasan Tumpeng, termasuk dalam wilayah Dukuh Tangkil.
Setelah dicari, ternyata ibunya juga sudah diselamatkan dan dibawa ke rumah Kepala Desa Banaran, Sarnu.
"Alhamdulillah ibu dan anak saya selamat. Keponakan dan keluarga saya banyak yang hilang dan sampai sekarang belum ditemukan," kata pria 60 tahun yang juga kehilangan rumah dan hewan ternaknya tersebut.
Ibunya kini dirawat di Puskesmas Kecamatan Pulung dan harus menjalani rawat inap karena selama di pengungsian kondisi kesehatannya kurang baik.
Selain Kateno, Mukhlas dan Suroso, sebanyak 25 korban lainnya menjadi korban pada peristiwa yang terjadi sekitar pukul 07.30 WIB tersebut.
Total 28 orang menjadi korban, selain ketiga nama di atas masing-masing 25 nama lainnya adalah Litkusnin (60), Bibit (55), Fitasari (28), Aldan (5), Janti (50), Mujirah (50), Purnomo (26), Suyati (40), Poniran (45), Prapti (35), dan Cikrak (60).
Kemudian, Misri (27), Alvin (5 bulan), Katemun (55), Pujianto (47), Siyam (40), Nuryono (17), Menit (45), Jadi (40), Suyono (35), Tolu (47) dan Situn (45), Katemi (76), Iwan (27) dan Sunadi (47).
Tiga nama terakhir sudah ditemukan oleh Tim SAR pada hari kedua dan ketiga pencarian, serta teridentifikasi oleh Tim DVI Polda Jatim, kemudian diserahkan ke keluarganya dan dimakamkan.
Pasrah
Baik Nyamin maupun Darmanto mengaku pasrah dengan keadaan saat ini, namun keduanya tetap berharap keluarganya ditemukan.
Darmanto juga mengapresiasi petugas Tim SAR Gabungan yang sejak hari pertama kejadian berusaha semaksimal mungkin mengevakuasi dan mencari warga di dalam timbunan tanah.
Begitu juga Nyamin yang menyerahkan semuanya ke Pemerintah terkait upaya evakuasi yang dikatakannya sudah sangat maksimal.
"Saya pasrah saja dan ikut apa kata pemerintah. Kalau memang akhirnya tidak ditemukan, mau bagaimana lagi?" ujarnya.
Sementara itu, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Ponorogo sekaligus koordinator bencana longsor, Sumani mengatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan relawan, TNI dan Polri melakukan pendekatan dan sosialiasi kepada keluarga korban selamat yang mengalami "shock" karena keluarganya belum ditemukan.
Pihaknya juga mengaku bahwa pemerintah telah menyiapkan rencana relokasi dengan dua mekanisme, pertama adalah relokasi untuk tanggap darurat sifatnya sementara.
"Warga yang selama ini banyak tinggal di dapur umum pengungsian atau rumah kepala desa akan diberikan tempat tinggal yang lebih nyaman daripada hidup di pengungsian," paparnya.
Mekanisme kedua, lanjut dia, keluarga korban yang ada di tempat relokasi sementara akan mendapat tempat tinggal permanen dan semuanya ditanggung Pemerintah Daerah.(*)
Video oleh: Fiqih A
