Surabaya (Antara Jatim) - Gelombang urbanisasi atau kedatangan warga pendatang ke Kota Surabaya diprediksi tidak terbendung setelah keluarnya instruksi Wali Kota Surabaya Nomor 4 Tahun 2016 tentang penghentian pelayanan surat keterangan tinggal sementara (SKTS).
"Tapi ini dampaknya sangat besar. Tentunya sebagai kota metropolitan, ketika tidak ada perimbangan pembangunan di daerah, maka Kota Surabaya akan menjadi jujukan utama warga pendantang dalam mencari peruntungan dan mengadu nasib," kata Wakil Ketua DPRD kota Surabaya Masduki Toha di Surabaya, Senin.
Menurut dia, kebijakan wali kota tersebut menindaklanjuti adanya Permendagri Nomor 14 Tahun 2015 tentang pendataan kependudukan nonformal atau penduduk pendatang.
Terbitya instruksi tersebut, maka mulai 19 Agustus 2016, Pemkot tidak bisa lagi menerbitkan SKTS. Artinya, pemkot harus siap mengahadapi membludaknya arus urbanisasi sebagai dampak hilangnya instrumen pengontrol warga pendatang ke Kota Pahlawan.
Masduki mengatakan instruksi tersebut adalah bentuk kepatuhan pemkot terhadap aturan yang lebih tinggi tentang ketunggalan KTP elektronik. Dimana dengan KTP elektronik, maka pemerintah tidak boleh lagi membuat kartu identitas lagi bagi warga penduduk. Selain itu, lanjut dia, KTP elektronik juga membawa fungsi sakti yang membolehkan setiap warga negara bisa tinggal dimana saja di negara Indonesia tanpa ada batasan.
"Tapi ini dampaknya sangat besar. Tentunya sebagai kota metropolitan, ketika tidak ada perimbangan pembangunan di daerah, maka Kota Surabaya akan menjadi jujukan utama warga pendatang dalam mencari peruntungan dan mengadu nasib," kata Masduki.
Menurut Poltisi PKB ini, berdsarkan data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) setiap tahunnya ada sebanyak 80 ribu warga pendatang yang tercatat datang ke Surabaya. Belum lagi warga pendatang yang tidak mendaftar mengurus SKTS. Tentu jumlahnya lebih besar, bisa sampai ratusan ribu.
Ia mengatakan dampak dari arus urbanisasi ini tidak bisa dianggap enteng karena sebut saja warga pendatang tanpa ada jaminan pekerjaan dan tanpa ada jaminan tempat tinggal bisa secara sporadis datang ke Surabaya. Dampaknya bisa saja membuat sistem kota menjadi terganggu, ketertiban dan pelanggaran aturan bisa banyak terjadi seperti menjamurnya PKL, dan juga kasus yang dulu sempat terjadi berlaihnya fungsi pelayanan publik menjadi tempat tinggal.
"Belum lagi dampak ekonomi yang harus dihadapi. Seperi pasokan bahan pokok yang masuk ke kota bisa terjadi kekurangan, dan juga akan banyak masalah sosial di Kota Surabaya. Kami tidak ingin hal negatif terjadi, jadi saya rasa pemkot harus menemukan solusi. Jangan hanya main cabut aturan tanpa ada aturan penyeimbang," katanya.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Komisi A DPRD Kota Surabaya Herlina Harsono Nyoto. Politisi Partai Demokrat ini mengatakan, selain kewenangan penerbitan SKTS yang dihilangkan, aturan yang juga harus dilaksanakan pemkot adalah tidak boleh adanya operasi yustisi dan penyitaan KTP, termasuk bagi warga pendatang. Saat ini pemkot tidak bisa menyelanggarakan yustisi dan menerapkan denda tipiring pada warga pendatang.
"Yang boleh saja, hanya yustisi punya KTP elektroik atau tidak. Kalau untuk yustisi sampai menyita KTP elektronik sudah tidak bisa dilakukan. Apalagi memulangkan warga pendatang seperti prosedur penangananan masalah sosial sudah tidak bisa dilakukan," ujar Herlina. (*)
Urbanisasi di Surabaya Tak Terbendung Pasca-Penghapusan SKTS
Senin, 5 September 2016 19:34 WIB
Tapi ini dampaknya sangat besar. Tentunya sebagai kota metropolitan, ketika tidak ada perimbangan pembangunan di daerah, maka Kota Surabaya akan menjadi jujukan utama warga pedantang dalam mencari peruntungan dan mengadu nasib