Berkumpul bersama keluarga dan sanak saudara saat merayakan Idul Fitri tentu menjadi keinginan setiap Muslim di seluruh dunia.
Khususnya bagi mereka yang menyandang gelar sebagai orang perantauan, sejak jauh hari segala bentuk persiapan dilakukan agar bisa berkumpul dengan keluarga dalam Hari Raya yang jatuh pada tanggal 1 Syawal pada kalender tahun Hijriah tersebut.
Baik tiket transportasi maupun oleh-oleh pun rela disiapkan demi bisa membahagiakan sanak saudara di rumah atau pun kampung halaman.
Namun, hal berbeda justru dialami oleh sejumlah warga negara Indonesia (WNI) yang merantau jauh hingga ke negeri seberang, terlebih jika negara tersebut bukan negara bermayoritas pemeluk agama Islam.
Tentu selain masalah persiapan tranpsortasi, mereka juga dihadapkan dengan sejumlah kendala seperti pemahaman budaya yang berbeda hingga masalah administratif dari lingkungan.
Misalnya, yang dialami oleh salah seorang WNI yang kini berada di Tokyo (Jepang), Hanina Zakiyah yang telah menghabiskan beberapa bulan di negeri tersebut untuk bekerja.
Wanita yang berasal asal Kota Tangerang (Provinsi Banten) itu menceritakan, tentu ada suka maupun duka yang dialami oleh dirinya ketika harus berjauhan dengan keluarga saat Ramadhan maupun Idul Fitri.
"Yang paling terasa ya perbedaan suasannya, sangat kental sekali bedanya karena ada latar belakang budaya yang beda. Jadi tidak terasa seperti lebaran," ujar Hanina menuturkan saat dihubungi dari Jakarta.
Walaupun harus berjuang dengan perasaan dan suasana yang berbeda, namun Hanina mengaku mulai terbiasa dengan suasa puasa atau Lebaran di Jepang.
Sebelum menekuni pekerjaannya sebagai "Chief Translator Editor" pada salah satu perusahaan penerjemahan yang letaknya berdekatan dengan Aoyama Gakuin, Hanina juga pernah menetap di Jepang pada tahun 2012.
"Waktu itu pertukaran pelajar, pernah Lebaran juga di sini (Jepang). Dulu susahnya karena di Yokohama, untuk Shalat Id di KBRI agak jauh butuh waktu 1 jam perjalanan. Kalau sekarang sudah di Tokyo lebih dekat," tuturnya.
Menurutnya, hal menarik yang terjadi ketika Lebaran di Jepang ialah mengenai budaya dan aturan pekerjaan di negara tersebut.
Ia menceritakan, ketika umat Muslim selesai melaksanakan ibadah Shalat Id, mayoritas mereka akan kembali melakukan rutinitas harian seperti bekerja, kuliah, dan lain sebagainya.
"Untuk Shalat Id biasanya kami mencari yang terdekat dengan lokasi tempat tinggal, karena setelah shalat harus tidak libur, langsung masuk kerja," tutur Hanina, menjelaskan.
Hal senada juga disampaikan Dian Annisa, salah seorang WNI asal Malang (Jawa Timur) yang sudah menetap di Jepang sejak tahun 2014 untuk meraih gelar Master di Tokyo Gaikokugo Daigaku atau Tokyo University of Foreign Studies.
Dian mengaku, walaupun telah merayakan Lebaran beberapa kali di Jepang, namun rasa kesepian masih kerap dialami.
"Rasanya sih kalau dibilang sepi ya memang sepi, apalagi di Jepang Islam menjadi minoritas. Biasanya di Indonesia kita bisa libur, tapi di sini hari biasa," ujarnya.
Meskipun demikian, Dian merasa tetap terhibur karena banyak kawan sekomunitas yang turut merasakan hal serupa.
Selain itu, adanya dukungan dari keluarga di Tanah Air juga turut mendongkrak semangat Dian untuk menuntut ilmu di Jepang.
"Keluarga pun maklum karena tujuannya untuk belajar. Tapi memang setiap puasa pasti ditanya pulang atau tidak, kalau memang tidak bisa ya sudah," ucapnya, menceritakan.
Tidak berbeda jauh dengan Jepang, bagi WNI yang berada di Taiwan pun merasakan adanya perbedaan nuansa Ramadhan.
Misalnya, yang dialami Ratu Saskia Bilqis yang sudah menetap di Taipei, Taiwan, sejak bulan April 2016 demi mengikuti suaminya yang dipindahtugaskan dari perusahaannya ke negara tersebut.
Dalam menjalani Ramadhan pertamanya di negara asing, Saskia mengaku kaget saat pertama kali berupaya menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslimah.
"Saat puasa yang paling terasa beda adalah adzan. Di sini tidak ada adzan, jadi kita hanya mengandalkan dari alarm telepon genggam," ujarnya, menceritakan.
Selain itu, perbedaan yang dialami bagi WNI di Taiwan ketika akan merayakan Hari Raya agama ialah tidak adanya kedutaan besar atau konsulat jenderal yang memfasilitasi perayaan tersebut.
"Di Taiwan tidak ada kedutaan besar, yang ada Kantor Dagang Ekonomi Indonesia (KDEI). WNI sering kumpul di sini untuk buka puasa atau membagikan takjil ke TKI," jelasnya.
Sedangkan untuk Shalat Id, pelaksanaannya dipimpin oleh pihak KDEI dan digelar di halaman Taipei Main Station (TMS).
"Positifnya kita bisa kenalan dengan WNI lain, bedanya kita tidak bisa dengar adzan atau takbir. Kangen juga dengan suara takbir saat malam Lebaran," ujar Saskia, menceritakan.
Nilai Toleransi
Mengingat latar belakang agama dan budaya yang berbeda jika dibandingkan dengan Indonesia, baik Hanina, Dian, maupun Saskia harus beradaptasi dengan kondisi di sekitar.
Meski pun dituntut demikian, namun ketiganya merasa masyarakat lokal bisa menerima status mereka sebagai seorang muslimah.
Misalnya saja Hanina, ketika baru bergabung dengan perusahaannya tersebut, ia menjelaskan mengenai semua latar belakang kepada rekan-rekan sekantornya.
"Saya bilang ke atasan bahwa saya Islam, intinya memberitahukan ke teman kantor bahwa budayanya berbeda. Di kantor pun disediakan tempat shalat, sewaktu puasa pun mereka memahami. Malah mereka penasaran," tukasnya.
Hanina mengatakan, bagi warga Jepang yang mayoritas masih asing dengan Islam, agama tersebut justru dinilai menarik untuk dikaji.
Sama halnya dengan yang dialami Dian, ketika menjalankan ibadah puasa ia kerap mendapat pertanyaan bermacam-macam mengenai Islam.
Pengalaman unik yang ia alami adalah ketika bekerja paruh waktu saat bulan Ramadhan.
Ia pernah berkali-kali ditawari minuman oleh rekan kerjanya karena tidak tahu bahwa Dian tengah berpuasa.
"Selesai kerja pun masih ditanya lagi, 'kalau puasa sebulan penuh apa tidak turun berat badannya?', 'lapar atau tidak?", 'kalau pun tidak puasa ya tidak apa-apa kan? kan tidak ada yang tahu,'" ujarnya, memaparkan.
Sementara Saskia, ia mengaku juga mendapat perlakuan yang hampir serupa dari warga lokal di Taipei.
Berdasarkan informasi yang ia berikan, Saskia pun kerap mendapat perlakuan positif dari orang-orang yang ditemui di luar rumah.
"Mereka sangat terbuka ke kita, bahkan tidak sungkan untuk memberi tahu mana makanan yang halal atau haram. Tidak terasa ada 'Islamophobia' di sini," ucapnya, menegaskan.
Mereka sepakat, dengan menjalankan ibadah puasa atau berlebaran di negara asing juga turut mempengaruhi kualitas keimanan.
Bagaimana tidak, ketika di umat Islam di Indonesia bisa dengan mudahnya menjalankan ibadah puasa, namun para WNI tersebut rela berjuang. Baik untuk mencari masjid terdekat, memilah makanan halal-haram, maupun memberikan pemahaman yang bersifat edukatif mengenai Islam kepada warga lokal.(*)