Kepak serombongan burung camar yang terbang rendah di antara kehijauan hutan mangrove, menghentak siang berlapis mendung di Pulau Sarinah.
Nun di kejauhan, perahu kayu nelayan berayun-ayun dipermainkan ombak lautan. Singgahlah sejenak ke Pulau Sarinah, dan rasakan denyut kebanggaan betapa kaya destinasi bahari di negeri pertiwi!
Pulau Sarinah sesungguhnya merupakan dataran yang berasal dari endapan aliran Lumpur Lapindo, dan terletak di muara Kali Porong. Pulau seluas 90 hektare ini, berada di Dusun Tlocor Desa Kedungpandan Kecamatan Jabon Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Menuju Pulau Sarinah, bisa dicapai dengan menaiki perahu dari Dermaga Tlocor. Untuk dapat menemukan Dermaga Tlocor, pengunjung bisa melalui rute dari jalan raya jurusan Sidoarjo-Malang, sampai menemukan Kali Porong. Tepat di sebelah selatan kali, pengunjung dapat berbelok sebelah timur memasuki Desa Kedungpandan.
Selanjutnya pengunjung melewati jalanan beraspal sekitar 12 km, dan seketika disambut aura kesejukan pandang tatkala kendaraan melaju pada suatu pedesaan yang asri menghijau.
Sepanjang kiri kanan jalan, terlihat deretan pepohonan yang rindang. Pepohonan jati, turi, rumput gajah dan tanaman liar berbunga cerah, nampak semarak. Tambak-tambak ikan dengan air menghijau pun menjadi pemandangan tak terpisahkan di wilayah Kedungpandan.
Dan sesekali, serombongan kambing berbulu putih terlihat berlarian riang di jalan dan mengeluarkan suara mengembik bersahutan. Perjalanan menuju Dermaga Tlocor, ibarat membasuh keletihan ragawi dan menghantarkan pengunjung pada keindahan bahari yang masih tersembunyi. Keindahan di balik Pulau Sarinah.
Habitat Berang-Berang
Keberadaan Pulau Sarinah, tak dapat dilepaskan dari bencana banjir Lumpur di Porong Sidoarjo, yang lebih terkenal dengan sebutan Lumpur Lapindo. Bencana ini terjadi akibat menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran migas Lapindo Brantas Inc, yang terletak di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Peristiwa ini sudah terjadi semenjak 29 Mei 2006. Sejak itu, jumlah lumpur yang keluar dari bumi mencapai sekitar 100 ribu meter kubik setiap hari, sehingga kemudian dibuat tanggul karena luapan lumpur itu berpotensi membahayakan penduduk sekitarnya.
Selain "menelan" ribuan bangunan seperti rumah penduduk, masjid, mushalla, gedung sekolah, kantor desa dan lainnya, juga "memakan" tol Surabaya-Gempol ruas Porong-Gempol.
Ketika tanggul tak lagi dapat menahan volume lumpur yang terus bertambah, akhirnya jalan yang dipilih adalah mengalirkannya ke perairan.
Semenjak tahun 2009, tim Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) memiliki gagasan untuk membangun Pulau Sarinah, dengan cara mengalirkan Lumpur Lapindo menuju muara Sungai Porong --sudetan dari hilir Sungai Brantas--. Lumpur ini mengendap membentuk daratan, dan makin lama kian bertambah besar di kawasan Pantai Tlocor.
Di atas daratan Pulau Sarinah, BPLS kemudian melakukan penghijauan dengan menanami kawasan itu sehingga kini menjelma menjadi hutan mangrove atau bakau yang asri dan meneduhkan.
Keberadaan hutan mangrove, membuat beragam jenis burung dan satwa lain menjadikan Pulau Sarinah menjadi habitat yang nyaman. Sejumlah satwa seperti burung bangau, camar, berang-berang dan monyet, meramaikan suasana pulau yang terbilang hening ini.
Belakangan, Pulau Sarinah mulai ramai mendapat perhatian wisatawan domestik yang penasaran ingin melihat destinasi bahari, yang kondang dengan keasrian hutan mangrove. Aktivitas favorit pengunjung adalah berkeliling naik perahu yang disewakan nelayan setempat.
"Biaya naik perahu per orang Rp10 ribu untuk melihat sisi depan Pulau Sarinah. Jika ingin mengelilingi pulau keseluruhan, termasuk Pulau Dem dan Pulau Pintu, bisa carter perahu dengan biaya Rp150 ribu," ujar Susila Jaya (35), penduduk Tlocor yang sudah empat tahun menyewakan perahu untuk pengunjung Pulau Sarinah, menawari kami.
Kami kemudian memutuskan mencarter perahu kayu dan perjalanan melintasi wisata air pun dimulai. Durasi mengelilingi Pulau Sarinah, Pulau Dem dan Pulau Pintu, memakan rentang waktu sekitar 60 menit.
Setiap perahu kayu itu mampu menampung hingga 8-10 orang, yang mengambil rute mengelilingi Pulau Sarinah untuk melihat kehijauan hutan mangrove, burung-burung camar dan bangau putih yang terbang rendah. Burung- burung itu kemudian hinggap di atas patok-patok, yang ditanam nelayan untuk pengikat jaring.
Di Pulau Sarinah sedang dipersiapkan jalan untuk lintasan bersepeda gayung keliling area. Mungkin sekarang sudah mencapai 60 persen pembangungan jalan itu. Bahkan beberapa waktu lalu ada investor Jepang yang berminat untuk menanamkan modal pembangunan wisata di Pulau Sarinah, agar lebih menarik minat pengunjung.
Sembari menikmati pemandangan hutan mangrove, kami mendengarkan suara Susila Jaya yang melanjutkan menerangkan, bahwa pengunjung di pulau ini hingga sekarang masih didominasi berasal dari daerah sekitar Sidoarjo. Misalnya, dari Surabaya atau Malang.
Pengunjung akan membeludak pada Sabtu, Minggu atau hari-hari liburan. Saat itu, Dermaga Tlocor diramaikan pemancing yang sanggup bertahan hingga dini hari, untuk mendapatkan ikan keting putih.
Tak hanya masyarakat umum yang tertarik mendatangi kawasan Pulau Sarinah. Beberapa kali sejumlah mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia pun datang khusus untuk mengadakan riset soal lingkungan di kawasan Pulau Sarinah, Pulau Dem dan Pulau Pintu, terkait dengan efek kimia yang barangkali terkandung dari lumpur lapindo.
"Nanti kalau jalur bersepeda dan penataan Dermaga Tlocor sudah selesai, pasti pengunjung di Pulau Sarinah terus bertambah. Pulau ini nyaman untuk jalan-jalan dan menelusuri hutan yang menjadi tempat berlindung monyet, berbagai jenis burung atau memancing," ucap Susila Jaya, sembari menunjuk-nunjuk antusias pada Pulau Sarinah.
Kami mengikuti arah telunjuk itu. Hijau. Sepanjang mata memandang, Pulau Sarinah seolah diselubungi tirai hijau yang menyejukkan pandang. Udara menguarkan aroma daun dan tercium amat menyegarkan. Kami menghentikan perahu sejenak dan mengambil gambar puluhan burung yang sedang terkantuk-kantuk menjelang senja hari.
Ketika melanjutkan perjalanan, kami sempat berpapasan dengan sejumlah perahu nelayan yang sedang memeriksa jaring. Para nelayan itu tertawa gembira dan melambaikan tangan. Seolah begitu bahagia menerima takdirnya sebagai pelestari budaya dari nenek moyang dahulu kala. Takdir sebagai pelaut.
"Nenek moyangku orang pelaut --gemar mengarung luas samudra -- menerjang ombak tiada takut - menempuh badai sudah biasa ..."
Bait-bait lagu Nenek Moyangku Seorang Pelaut seperti mendendang di udara siang hari, mengawali bulan Juli 2016. Siang menjelang senja yang bertabur mendung di Pulau Sarinah.
Wisata Wanamina
Penanaman bakau yang mendominasi daratan Pulau Sarinah, menjadikan kawasan ini terlihat menghijau. Padahal, di dalam pulau tak hanya bakau yang tumbuh subur. Pepohonan cemara pun turut menghijaukan areal yang kini sedang 'booming' di kalangan pemancing ini.
Perihal keberadaan monyet di Pulau Sarinah, sebenarnya adalah migrasi dari Pulau Dem dan Pulau Pintu. Tatkala lautan sedang surut, maka monyet di kedua pulau itu kemudian menyeberang di Pulau Sarinah dan kini sudah berkembang biak dengan leluasa.
"Kami juga mengembangkan beberapa jenis ikan untuk dikembangkan di perairan Pulau Sarinah. Sejak awal, kita memang menjadikan kawasan ini sebagai konservasi mangrove dan perikanan. Atau istilahnya adalah wisata wanamina," ujar Achmad Kusairi, Humas BPLS.
Wisata wanamina ini bertujuan untuk menjaga kelestarian ekosistem di lingkungan penanggulangan lumpur Sidoarjo. Ternyata cara ini efektif, di mana tumbuhan yang ditanam di Pulau Sarinah dapat tumbuh dengan subur dan berbagai bibit ikan yang dikembangbiakkan di perairan Pulau Sarinah pun langsung beradaptasi dengan baik. Hal ini menandakan bahwa pembuangan lumpur ke Kali Porong tidak merusak ekosistem alam sekitarnya.
Berdasarkan hasil pengujian LC50 terhadap larva udang windu (Panaeus monodon dan sejumlah organisme lainnya, didapatkan kesimpulan bahwa lumpur itu tidak membahayakan serta tak beracun bagi biota akuatik.
Hasil pengujian membuktikan lumpur itu memiliki nilai LC50 antara 56.623,93 sampai 70.631,75 ppm "Suspended Particulate Phase" (SPP) terhadap larva udang windu.
Kini, seiring dengan makin menghijaunya kawasan Pulau Sarinah dan kian bertambahnya kuantitas ikan di perairan wilayah ini, membuat para pengunjung berdatangan dari berbagai daerah. Menikmati pemandangan alam yang alami menghijau, menyalurkan hobi memancing atau berburu wisata kuliner dengan memesan ikan kakap putih bakar pada penduduk setempat.
Sungguh paduan yang pas, sembari duduk di warung penduduk, dengan pandangan luas ke depan, dan mencicipi cita rasa sambal pedas dan ikan bakar yang gurih renyah. Harga ikan bakar ini tergantung besar dan kecilnya ukuran ikan kakap, mulai dari Rp25 ribu - Rp35 ribu per porsi.
Dan jika hari beranjak petang, diiringi kepak sayap bangau yang terbang berlindung ke pepohonan, senandung kidung burung camar yang bergerak ke langit barat dan suara jangkrik yang bersahutan, pengunjung akan membawa pulang selaksa kenangan tentang kebersahajaan alam yang sungguh menentramkam.
Sebelum pulang, kami mencoba menaiki kereta kelinci bersama anak-anak Dusun Tlocor, sembari ingin berlama-lama meresapi suasana pedesaan dan mengamati warna langit yang berangsur menjadi kian temaram. Suara tawa riang anak-anak dan derak kereta kelinci, begitu sempurna menjadi penutup rangkaian wisata bahari di Pulau Sarinah. Sebuah destinasi yang digadang-gadang menjadi ikon wisata bahari Kabupaten Sidoarjo.(*)
*) Penulis buku dan artikel lepas asal Sidoarjo, tinggal di Bali
Senandung Kepak Camar di Pulau Sarinah
Minggu, 10 Juli 2016 12:06 WIB