Surabaya (Antara Jatim) - Kepala Biro Hukum Sekda Pemprov Jatim Dr Himawan Estu Subagio mendukung pembangunan "rumah pemulihan" untuk anak berhadapan hukum (ABH), baik anak yang menjadi pelaku kejahatan maupun korban.
"Pemprov (Jatim) sudah menyiapkan dana hibah untuk institusi vertikal, misalnya KemkumHAM Jatim bersama para aktivis LSM merencanakan rumah pemulihan ABH," katanya dalam diskusi Sistem Peradilan Anak di Konjen AS di Surabaya, Selasa.
Dalam diskusi yang digagas Yayasan Alit Surabaya dan dihadiri birokrasi, penegak hukum, serta para aktivis LSM anak itu, ia meminta KemkumHAM Jatim yang sudah pernah mengusulkan rumah tahanan anak itu untuk melengkapinya dengan rumah pemulihan ABH untuk pelaku dan korban.
"Siapkan desain rumah itu secara bersama antara aparatur negara dengan para aktivis LSM, lalu nantinya aparat negara dari KemkumHAM yang mengajukan ke Pemprov Jatim. Ajukan, nanti saya bantu, tapi lengkapi juga dengan data ABH di Jatim dan desain rumah pemulihan ABH itu," katanya.
Selain itu, katanya, Pemprov Jatim juga sudah menyiapkan dana Rp500 juta untuk tahun 2016 guna membantu warga miskin yang berperkara hukum, termasuk ABH.
Dalam diskusi itu, pendiri Yayasan Alit Surabaya, Yuliati Umrah, menceritakan perjalanannya ke AS pada Maret 2016 untuk mempelajari sistem peradilan anak di negara maju itu.
"Hal menarik di AS adalah pemulihan ABH pasca-peradilan, karena pembiaran ABH tanpa pemulihan justru membebani negara karena tingginya angka pengangguran yang juga mendorong tingginya angka kriminalitas anak-anak," katanya.
Tapi, dengan intervensi untuk biaya pemulihan, maka justru akan mengurangi ABH dari waktu ke waktu dan bahkan residivis ABH bisa tidak ada lagi, karena anak-anak itu hakekatnya memang tidak ada yang salah, tapi hanya karena hidup yang "tidak beruntung" akibat "broken home" atau kemiskinan.
"ABH di AS selalu melalui Juvenile Justice System (proses peradilan anak). Prosesnya, pemeriksaan yang menyatu antara polisi, jaksa, dan hakim yang tidak berseragam dalam 2x24 jam. Kalau tindak pidana ringan (tipiring), maka ABH dikembalikan kepada keluarga atau LSM," katanya.
Namun, bila pidana umum akan diadili dalam waktu maksimal enam bulan, lalu sanksi-nya bukan penjara, melainkan "dihukum" dengan diserahkan polisi kepada rumah pemulihan.
"Juvenile Justice System justru mencetak atlet dunia, seniman hebat, dan sebagainya. Saya sempat terharu ketika pimpinan Mahkamah Agung di sana menyampaikan alasan tidak mengadili ABH di luar sistem peradilan anak. Dia bilang anak itu serusak apapun, ya tetap anak. Mereka labil dan tidak bisa bersikap dewasa," katanya.
Senada dengan itu, Edward Dewaruci dari "Surabaya Children Crises Center" (SCCC) menyatakan UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak memang sudah memberi perlakuan khusus kepada ABH, tapi bentuknya masih lembaga pembinaan khusus anak (LPKA)," katanya.
Meski LPKA itu bukan penjara, namun sistem peradilan masih yuridis dan bukan kemanusiaan. "Peradilan anak itu bukan menjadikan ABH sebagai anak yang salah atau nakal, melainkan peradilan yang membuka peluang untuk memiliki perilaku yang baik lagi," katanya.
Dalam diskusi yang dibuka Kepala Humas Konjen AS di Surabaya, Carolina Escalera, itu, para aparatur negara dan para aktivis LSM (pekerja kemanusiaan) sepakat untuk membentuk Pokja yang bertugas merancang regulasi anak di tingkat lokal dan mewujudkan sistem peradilan ramah anak. (*)