Surabaya (Antara Jatim) - Rektor ITS Prof Ir Joni Hermana MSc.ES PhD menilai Surabaya masih merupakan "Kampung Metropolitan" dan bukan "Kota Metropolitan", karena lingkungan kotanya sudah "green" (hijau) tapi belum "clean" (bersih).
"Surabaya itu sukses dalam green (penghijauan), tapi Surabaya belum sukses dalam clean, jadi kita masih tertinggal dalam lingkungan, karena pengelolaan limbah domestik yang jelek," katanya saat menerima komunitas peduli Surabaya 'Rek Ayo Rek' (RAR) di rektorat setempat, Selasa.
Didampingi Ketua Umum RAR Herman Rivai dalam "Rembuk Mbangun Suroboyo" itu, ia menjelaskan pengelolaan limbah domestik yang belum baik itu antara lain terlihat dari jeleknya sanitasi (perilaku sehat) dan drainase (saluran air).
"Jadi, Surabaya ini bukan kota metropolitan, tapi kampung metropolitan, karena pengelolaan limbah domestiknya belum melalui perpipaan, padahal kota lain seperti Medan, Bandung, dan sebagainya sudah," katanya.
Di hadapan puluhan anggota komunitas RAR, Guru Besar Teknik Lingkungan ITS itu menceritakan pengalamannya dalam menyampaikan usul soal Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal kepada Wali Kota Surabaya.
"Usulan itu tidak mudah untuk dipraktikkan pemerintah kota, karena Bu Risma (Wali Kota Surabaya) tidak mau ribet dengan persyaratan administrasi dan proses pembebasan lahan untuk mewujudkan itu," katanya.
Bahkan, Wali Kota Surabaya sempat meminta dirinya untuk mempatenkan sistem IPAL Komunal itu agar pelaksanaannya lebih mudah, karena pemerintah tinggal membayar royalti kepada dirinya.
"Karena itu, saya kira pembangunan IPAL Komunal secara swadaya akan lebih mudah. Saya harapkan RAR bisa mendorong hal itu melalui DPRD dan swasta untuk pendanaan, nanti kita bantu tim teknisnya," katanya.
Rektor yang kelahiran Bandung itu menilai masyarakat Surabaya memiliki kepedulian yang tinggi kepada kotanya. "Tidak ada kota yang warganya memiliki kepedulian pada kota seperti Surabaya," katanya sambil mencontohkan RAR.
Dalam kesempatan itu, Koordinator Pusat Penelitian Lingkungan, Permukiman dan Infrastruktur ITS, Dr Ir Agus Slamet MSc, menambahkan bahwa 16.000 KK di Surabaya belum memiliki IPAL Komunal.
Sementara itu, Ketua Divisi Advokasi RAR, Hermawan Some alias Wawan Some, mengatakan pembuatan IPAL Komunal melalui perpipaan memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit hingga triliunan.
"Tapi, RAR mendorong adanya IPAL Komunal yang terpusat, selain IPAL di tingkat kampung, karena Bank Dunia menyebut Indonesia kehilangan Rp57 triliun dalam setiap tahun akibat sanitasi yang jelek itu," katanya.
Dorongan untuk membangun IPAL Komunal secara swadaya itu juga mendapatkan dukungan dari Ketua Komisi C DPRD Kota Surabaya M Mahmud yang juga anggota RAR. "Kebetulan, kita sedang membahas Perda Lingkungan, nanti kita undang ITS untuk memberi masukan soal itu," katanya.
Senada dengan itu, tokoh masyarakat yang juga anggota RAR AH Thony menyetujui hal itu, karena Surabaya harus belajar banyak dari sebuah daerah di China yang seluruh warganya terkena kanker akibat limbah.
Respons positif juga datang dari Ketua Kadin Surabaya Jamhadi yang juga Penasehat RAR. "RAR itu sangat sayang dengan kota ini, karena itu rasa sayang itu tidak hanya diwujudkan dengan memuji wali kota tapi juga memberi masukan kepada wali kota," katanya.
Dalam rembuk/dialog yang berlangsung dua jam lebih dengan dipandu Wakil Rektor IV ITS Prof Ketut Buda Artana itu juga membahas soal reklamasi pantai yang menyebabkan banjir, penurunan tanah, smart city, sampah, transportasi massal, dan sumber air PDAM yang diprediksi akan habis pada 2020. (*)
Rektor ITS: Surabaya masih "Kampung Metropolitan"
Selasa, 12 April 2016 16:04 WIB
Surabaya itu sukses dalam green (penghijauan), tapi Surabaya belum sukses dalam clean, jadi kita masih tertinggal dalam lingkungan, karena jeleknya pengelolaan limbah domestik