Surabaya (Antara Jatim) - Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mencetak doktor
pertama di bidang perselisihan atau konflik internal partai politik
(parpol) yakni Dr M Anwar Rachman.
"Ya, MURI (Museum Rekor-Dunia Indonesia) mencatat saya sebagai
doktor pertama untuk penyelesaian konflik parpol," katanya setelah
menjalani Sidang Ujian Terbuka untuk Program Doktor` di Aula FH Unair
Surabaya, Sabtu.
Anwar Rachman yang meraih predikat `Sangat Memuaskan` dalam sidang
yang dipimpin Prof Dr Eman Ramelan SH MS itu menjelaskan sejumlah parpol
di Indonesia mengalami internal, diantaranya PPP, PDI, Golkar, dan PKB.
"Konflik PPP biasanya terjadi antara faksi NU dan faksi Parmusi,
sedangkan konflik PDIP terjadi antara kubu Megawati dengan kubu Soerjadi
yang puncaknya terjadi Peristiwa 27 Juli 1996," katanya.
Lain halnya dengan Golkar yang memiliki dua faksi, yakni faksi
Habibie (Akbar Tanjung, Ginandjar, Edi Sudradjat, Harmoko, Try Sutrisno,
Indra Bambang Utoyo) dan faksi Sudharmono (Sarwono Kusuma Atmadja,
Siswono Yudhohusodo, Rachmat Witoelar, Agung Laksono).
"Awalnya, Akbar Tanjung menang mengalahkan Edi Sudrajat, lalu Jusuf
Kalla mengalahkan Akbar Tanjung dan terakhir Aburizal Bakrie
mengalahkan Surya Paloh, namun akhirnya memunculkan PKPI, PKPB, Hanura,
Gerindra, dan Nasdem," katanya.
Konflik parpol yang lebih panjang dialami PKB sejak lahir 23 Juli
1998 mulai dari kubu Mathori Abdul Djalil, kubu Gus Dur, kubu Alwi
Shihab-Muhaimin Iskandar, dan kubu Muhaimin Iskandar, bahkan konflik
sempat melahirkan PKNU dan PKBI.
"Bedanya, semua konflik PKB selalu dilaporkan ke pengadilan, baik
konflik di tingkat daerah maupun konflik di tingkat pusat, sehingga
konflik semakin berlarut-larut," katanya.
Menurut dia, pemerintah akhirnya mengatur dengan UU 2/2011 tentang
penyelesaian perselisihan parpol, namun pengaturannya masih rancu. "Saya
sendiri menemukan enam kerancuan dalam pengaturan perselisihan parpol
itu," katanya.
Enam kerancuan adalah kelembagaan Mahkamah Parpol(MP), kewajiban
parpol memiliki MP, legalitas hakim MP, Sifat Putusan MP, upaya hukum
atas Putusan MP, dan kewenangan MP adili perkara pidana.
"Terkait kelembagaan MP adalah keputusan MP tidak final dan
mengikat, karena pihak berperkara masih bisa mengadu ke pengadilan,
sedangkan kewajiban parpol memiliki MP masih disebutkan MP atau sebutan
lain, sehingga rawan konflik akibat multitafsir," katanya.
Sementara itu, legalitas hakim MP dalam UU itu hanya disahkan oleh
menteri, sehingga keputusan hakim MP bisa dianggap tidak sah, karena itu
seharusnya disahkan Presiden atau MenkumHAM.
"Untuk sifat putusan MP juga harus mengikat, final, dan tidak bisa
dibawa ke pengadilan umum. Tidak hanya itu, upaya hukum atas putusan MP
itu justru kontradiktif, karena putusan MP seharusnya final dan
mengikat," katanya.
Satu lagi, kewenangan MP mengadili perkara pidana juga rancu,
karena MP tidak memiliki jaksa penuntut umum dan penjara, sehingga MP
seharusnya menyerahkan perkara pidana kepada polisi, jaksa, dan
pengadilan.
"Karena itu, saya mengusulkan UU 2/2011 itu direvisi. Mahkamah
Parpol memang bisa menjadi peradilan khusus internal parpol, tapi
kewenangan harus diatur yakni putusan final dan mengikat, tidak boleh
ada upaya hukum lagi, legalitas hakim oleh Presiden atau MenkumHAM, dan
hanya menangani perdata dan administrasi," katanya.
Dalam sambutannya, promotor Ujian Terbuka untuk promovendus, Prof
Dr Tatiek Sri Djatmiati SH MS, menilai keberhasilan Dr M Anwar Rachman
meraih predikat doktor hendaknya didedikasikan untuk mengawal demokrasi
di Indonesia.
"Parpol merupakan instrumen penting dalam negara demokrasi, karena
itu keberhasilan Saudara Anwar Rachman sebagai doktor ke-275 di FH Unair
hendaknya mendorong peradilan parpol yang inovatif, singkat, dan
demokratis untuk kebaikan bersama," katanya. (*)
Unair Cetak Doktor Pertama Bidang Konflik Parpol
Sabtu, 14 November 2015 15:50 WIB
Bedanya, semua konflik PKB selalu dilaporkan ke pengadilan, baik konflik di tingkat daerah maupun konflik di tingkat pusat, sehingga konflik semakin berlarut-larut