Senin (3/8) sore itu, sekitar pukul 15.45 WIB, pasangan Bakal Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya Dhimam Abror-Haries Purwoko mendatangi KPU setempat untuk mendaftar.
Penantang pasangan petahana Tri Rismaharini dan Whisnu Sakti Buana yang diusung PDIP ini diantar sejumlah relawan dan simpatisan serta pengurus DPD Partai Amanat Nasional dan DPC Partai Demokrat Surabaya untuk berjalan kaki dari arah timur gedung KPU Surabaya.
Sesampainya di depan pintu gedung KPU Surabaya, Abror dan Haries yang mengenakan baju putih lengan panjang dan celana hitam serta songkok hitam disambut musik religi hadrah dan sholawatan.
Pada saat memasuki lantai gedung KPU Surabaya, Abror-Haries bertemu dengan cawawali petahana Whisnu Sakti Buana yang saat itu bersama pengurus DPC PDIP Surabaya sedang ada urusan lain dengan Komisioner KPU. Abror-Haries akhirnya bersalam-salaman dan berangkulan dengan Whisnu sebagai tanda kompetisi secara fair di Pilkada Surabaya segera dimulai.
Tidak mau berlama-lama, Abror yang diketahui adalah Ketua Harian KONI Jatim sekaligus mantan pimpred sejumlah media massa di Surabaya dan Haries Purwoko sebagai Ketua Ormas Pemuda Pancasila Surabaya langsung menuju lantai tiga tempat pendaftaran cawali-cawawali Surabaya.
Namun saat keduanya sudah berada dihadapan para komisioner KPU Surabaya dan Abror sudah menandatangani berkas pencalonan siap untuk dicalonkan menjadi calon wali kota Surabaya, 10 menit kemudian tiba-tiba Haries Purwoko keluar dari ruangan sambil menelepon.
Terlihat yang menelepon adalah seseorang yang penting sampai-sampai Haries langsung turun dari lantai 3 KPU Surabaya dan langsung meninggalkan gedung KPU. Abror sempat kebingungan karena harus menunggu Haries lebih dari satu jam, namun Haris tidak muncul lagi tanpa tanpa kabar.
"Saya mau mencari Pak Haries. Bila seperti itu kondisinya ya bagaimana lagi? Khan saya tidak bisa mengganti wakil saya," ujar Abror singkat sambil berjalan keluar dari KPU dengan langkah cepat.
Salah seorang sumber di internal DPC Partai Demokrat Surabaya menyebutkan bahwa Haries ditelepon oleh salah seorang pengurus inti DPD Partai Demokrat Jatim.
Hal ini terkait dengan proses barter antara PDIP dan Demokrat untuk terlaksanaannya Pilkada Surabaya dan Pacitan karena calon tunggal tidak berjalan mulus. Diketahui calon petahana di Surabaya diusung PDIP, sedangkan di Pacitan calon petahan diusung Demokrat.
Koalisi Pacitan Bersatu yang terdiri dari PDIP, PAN, Gerindra, Hanura, dan Golkar yang mengusung pasangan Suyatno-Effendi Budi Wirawan tidak melengkapi persyaratan pendaftaran sehingga KPU dan Panwaslu setempat menyatakan Pilkada Pacitan gagal digelar.
"PDIP tidak komitmen. Mereka sengaja menggagalkan Pilkada di Pacitan. Sehingga ini berdampak di Surabaya," kata salah seorang sumber dari Partai Demokrat yang enggan disebut namanya.
Ketua KPU Surabaya Robiyan Arifin mengatakan berkas-berkas pendaftaran Abror-Haris masih ada yang belum lengkap, salah satunya berkas kesediaan Haris menjadi calon wakil wali kota belum ditanda tangani.
"KPU Surabaya menunggu sampai pukul 23.59 WIB hari ini. Jika pada batas waktu yang ditetukan Haris tetap tidak bersedia memberikan tanda tangan, maka Pilkada Surabaya ditunda 2017," katanya.
Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Surabaya Wahyu Hariadi, mengatakan sampai saat ini pasangan Dhimam-Haris belum dinyatakan sah mendaftar lantaran belum memenuhi salah satu dari tiga syarat mutlak adalah tanda tangan surat pernyataan dari Calon Wakil Wali Kota yang diusung Demokrat-PAN yakni Haris Purwoko.
"Kalau ini masalahnya hanya Dhimam Abror yang tanda tangan, wakilnya tidak," katanya.
Sekitar pukul 19.00 WIB, Haries Purwoko memberikan kabar kepada sejumlah awak media bahwa dirinya mengundurkan diri sebagai bakal calon karena terkait harga diri karena merasa dianggap sebagai calon boneka dalam Pilkada Surabaya 2015.
"Saya mundur dari pencalonan karena saya dianggap sebagai calon boneka. Lalu saya ditelepon ibu saya dan disuruh untuk mundur. Saya menuruti keinginan ibu saya dan keluarga," tegasnya.
Ia menyatakan kemundurannya dalam Pilkada Surabaya mendampingi Calon Wali Kota Surabaya Dhimam Abror yang diusung Demokrat dan PAN ini murni karena harga diri.
"Jadi tidak ada sebab lain. Bukan karena sebab lain. Saya akan buktikan dan maju di 2017. Akan saya buktikan. Terimakasih ya atas dukungannya," kata Haries.
Dengan demikian, Pilkada Surabaya yang dijadwalkan digelar 9 Desember mendatang ditunda pada 2017. Hal ini disebabkan hingga pada akhir masa pendaftaran yang ditunggu hingga pukul 23.59 WIB pada 3 Agustus 2015 hanya ada satu pasangan calon yang resmi mendaftar di KPU Surabaya.
Hal inilah yang membuat sejumlah kalangan menyatakan bahwa Pilkada Surabaya kali ini merupakan "dagelan" politik karena salah satu pengantinnya kabur sebelum acara dimulai. Dagelan merupakan bahasa Jawa yang merupakan lawak atau sebuah adegan yang menimbulkan kelucuan.
Kecaman
DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kota Surabaya mengecam adanya dagelan politik pada saat pendaftaran terakhir Cawali-Cawawali Surabaya itu.
"Masyarakat harus melihat ini sebagai langkah politik yang sangat merugikan masyarakat Surabaya," ujar Ketua DPC PDIP Surabaya Whisnu Sakti Buana.
Whisnu menuding Koalisi Majapahit yang beranggotakan enam parpol yakni Demokrat, PKB, PKS, Gerindra, Golkar dan PAN berada dibalik dagelan politik di Surabaya. Ia mengaku, dari awal sudah tahu jika koalisi yang terdiri dari sejumlah partai politik tersebut tidak akan memunculkan calon dalam Pilkada Surabaya.
Mestinya, sebagai gabungan partai politik yang memiliki kekuatan besar, Whisnu menyebut sikap Koalisi Majapahit tidak gentle karena tidak memunculkan calon. "Mereka mewakili masyarakat Surabaya yang berhak memilih pemimpin daerahnya," katanya.
Calon wakil wali kota yang diusung PDIP ini menegaskan, dagelan politik yang terjadi di Surabaya harus mendapat perhatian dari semua kalangan. Sebab tidak menutup kemungkinan kejadian serupa akan terjadi dalam pemilihan gubernur maupun presiden.
"Memang sekarang baru 7 daerah yang memiliki calon tunggal. Tapi jumlah itu masih bertambah karena proses verifikasi di KPU. Misalnya seperti yang terjadi di Mataram," jelasnya.
Selain itu, Whisnu menyatakan KPU Surabaya, tidak memiliki dasar menunda Pilkada Surabaya 9 Desember mendatang. Menurutnya, pelaksaan Pilkada Surabaya sudah duatur secara jelas dalam pasal 201 dan 202 dalam UU Nomor 8 tahun 2015.
Dalam pasal 201 disebutkan secara jelas bahwa pilkada serentak tahun 2015 untuk masa jabatan kepala daerah-wakil kepala daerah yanh habis tahun 2015 dan habis Januari-Juni 2016. Sedangkan dalam pasal 202 menetapkan Pilkada serentak tahun 2017 untuk masa jabatan kepala daerah-wakil kepala daerah yang habis bulan Juli-Desember 2016 dan tahun 2017.
"UU Pilkada 2015 tidak menyediakan ruang ketentuan pemindahan waktu Pilkada 2015 ke Pilkada 2017. Kecuali alasan luar biasa seperti ada bencana alam, kerusuhan," katanya.
Atas dasar tersebut, PDIP Surabaya mengirim surat gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi tentang Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 12 tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pilkada.
PDIP juga telah melayangkan somasi ke KPU Surabaya terkait keberatan tidak menunda Pilkada 2015 ke Pilkada 2017. Jika tetap ditunda, pihaknya akan menggugat KPU Surabaya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Selain mengancam mengajukan gugatan, pihaknya juga mendesak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) maupun Presiden RI mengeluarkan keputusan setara berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU).
Sementara itu, Ketua Pokja Koalisi Majapahit, A.H. Thony menolak disalahkan atas gagalnya penyelenggaraan Pilkada Surabaya. Menurut dia, kondisi yang saat ini terjadi merupakan kesalahan dari PDIP sendiri.
Politisi dari Partai Gerindra ini menuding balik, partai yang dipimpin Megawati ini melakukan langkah politik di tingkat elit dan mencoba memecah belah Koalisi Majapahit yang ada di Surabaya. Sebagai buktinya adalah keluarnya rekomendasi dari DPP Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN).
"Keputusan PAN dan Demokrat merekomendasi calon lawan bukan kewenangan pengurus di tingkat kota. Artinya ada kekuatan politik yang lebih besar yang mengendalikan. Jadi bukan kesalahan Koalisi Majapahit," katanya.
Sementara terkait tidak adanya pasangan calon yang dimunculkan Koalisi Majapahit, dirinya berdalih belum menemukan figur yang mampu bersaing dengan pasangan petahana Whisnu Sakti Buana-Tri Rismaharini. Meskipun, pihaknya telah melakukan semua tahapan.
"Kita tidak mungkin memaksakan karena belum memiliki calon yang pas. Buat apa kita memunculkan pasangan calon jika nantinya hanya dituding sebagai pasangan boneka," katanya.
Politik Transaksional
Pengamat politik sekaligus Koordinator Parleme Watch Jatim Umar Salahudin menilai kesan adanya barter politik yang tidak mulus antara Pilkada Surabaya dengan Pilkada Pacitan memang nampak, sehingga membuat kedua daerah itu gagal melaksanakan pesta demokrasi pada 2015.
"Indikasi ini muncul karena di Pacitan, PDIP gagal mengusung calonnya untuk menghadapi petahana dari Partai Demokrat. Begitu pula di Surabaya, Partai Demokrat gagal mengusung calonnya untuk bertarung dengan petahana dari PDIP," kata Umar.
Menurut dia, calon yang diusung dalam pilkada tersebut bisa jadi juga calon boneka. Ini karena mereka mendaftar pada saat injury time. "Ketika mereka ingin tidak dikatakan calon boneka, seharusnya pasangan itu sudah dipersiapkan jauh-jauh hari dan tidak mendaftar disaat detik-detik penutupan pendaftaran," katanya.
Umar menilai mundurnya pasangan calon yang hendak melawan petahana ini dikarenakan pada tataran elit partai belum terjadi kesepatakan, misalnya, kesepakatan soal pendanaan serta kesungguhan untuk menggerakkan mesin partai guna pemenangan Pilkada.
Mengingat kedua hal itu belum disepakati, maka pasangan calon memilih mundur dari pada harus menanggung semua biaya pemenangan. Jika tidak ada biaya pemenangan dan pasangan calon ini hanya berkampanye biasa-biasa saja, maka dugaan menjadi calon boneka semakin menguat.
"Memang biaya kampanye dan keperluan lain di Pilkada sudah dibantu pemerintah. Tapi kan ada biaya-biaya lain untuk pemenangan dan itu nilainya tidak kecil. Tinggal siapa yang akan menanggung itu. Calon boneka tidak akan mau," ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, hal ini menunjukkan komunikasi politik antar-elit parpol sarat dengan politik transaksional. "Tidak "ikhlas" dan sungguh-sunguh mencalonkan kadernya atau pasangannya. Ini juga termasuk kalkuasi ekonomi yang belum clear," ujarnya.
Tentunya ada indikasi tidak adanya "bandar politik" yang mau membiaya pilkada dikarenakan risiko politik dan ekonomi terlalu mahal. "Pasangan calon boneka saya yakin tidak mau keluar duwit," katanya. (*)