Surabaya (Antara Jatim) -
DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kota Surabaya mengecam dagelan politik saat pendaftaran terakhir calon wali kota dan wakil wali Kota di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Surabaya pada Senin (3/8).
"Masyarakat harus melihat ini sebagai langkah politik yang sangat merugikan masyarakat Surabaya," ujar Ketua DPC PDIP Surabaya Whisnu Sakti Buana saat menggelar jumpa pers di kantor PDIP Surabaya Jalan Kapuas, Selasa.
Dagelan politik yang dimaksud adalah batalnya pencalonan pasangan bakal calon yang diusung PAN dan Demokrat, yakni Dhimam Abror dan Haries Purwoko, karena tidak lengkap persyaratan saat mendaftar di KPU Surabaya, Senin (3/8).
Haries Purwoko semula bersama Abror mendatangi KPU Surabaya untuk mendaftar sekitar pukul 15.45 WIB. Hanya saja, sekitar 10 menit berada di KPU, Haries terlihat menerima telepon dan bergegas ke luar ruangan dan tidak kembali lagi tanpa kabar.
Belakangan diketahui Haries menyatakan mundur dari pencalonan dengan alasan tidak mendapat restu dari orang tuanya karena ada anggapan di masyarakat sebagai calon boneka untuk melawan calon petahana Tri Rismaharini dan Whisnu Sakti Buana yang diusung PDIP.
Salah satu syarat pencalonan yang harus diisi saat itu, ternyata tidak ditandatangani Haries saat di KPU Surabaya. KPU memberikan kesempatan untuk melengkapi persyaratan hingga pukul 23.59 WIB. Namun hingga waktu yang ditentukan tidak kunjung hadir sehingga KPU memutuskan pendaftaran ditutup dan dinyatakan ditunda hingga 2017.
Whisnu menuding Koalisi Majapahit berada di balik dagelan politik yang terjadi di Surabaya.
Ia mengaku sejak awal sudah tahu jika koalisi yang terdiri atas sejumlah partai politik tersebut tidak akan memunculkan calon dalam Pilkada Surabaya.
Mestinya, katanya, sebagai gabungan partai politik yang memiliki kekuatan besar, sikap Koalisi Majapahit tidak kesatria karena tidak memunculkan calon.
"Mereka mewakili masyarakat Surabaya yang berhak memilih pemimpin daerahnya," katanya.
Calon wakil wali kota yang diusung PDIP itu, mengemukakan dagelan politik yang terjadi di Surabaya harus mendapat perhatian dari semua kalangan, sebab tidak menutup kemungkinan kejadian serupa akan terjadi dalam pemilihan gubernur maupun presiden.
"Memang sekarang baru tujuh daerah yang memiliki calon tunggal. Tapi jumlah itu masih bertambah karena proses verifikasi di KPU. Misalnya seperti yang terjadi di Mataram," katanya.
Mendapati hal itu, Ketua Pokja Koalisi Majapahit, A.H. Thony, menolak disalahkan atas gagalnya penyelenggaraan Pilkada Surabaya.
Menurut dia, kondisi yang saat ini terjadi merupakan kesalahan dari PDIP sendiri.
Politikus Partai Gerindra menuding partai yang dipimpin Megawati itu, melakukan langkah politik di tingkat elit dan mencoba memecah belah Koalisi Majapahit di Surabaya.
Sebagai buktinya, katanya, keluarnya rekomendasi dari DPP Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN).
"Keputusan PAN dan Demokrat merekomendasi calon lawan bukan kewenangan pengurus di tingkat kota. Artinya ada kekuatan politik yang lebih besar yang mengendalikan. Jadi bukan kesalahan Koalisi Majapahit," katanya.
Terkait tidak adanya pasangan calon yang dimunculkan Koalisi Majapahit, dirinya berdalih belum menemukan figur yang mampu bersaing dengan pasangan petahana Whisnu Sakti Buana-Tri Rismaharini, meskipun pihaknya telah melakukan semua tahapan.
"Kita tidak mungkin memaksakan karena belum memiliki calon yang pas. Buat apa kita memunculkan pasangan calon jika nantinya hanya dituding sebagai pasangan boneka," katanya. (*)