Tulungagung (Antara Jatim) - DPRD Tulungagung, Jawa Timur menemukan sejumlah penyimpangan dalam proses distribusi pupuk bersubsidi di daerah itu, mulai dari penjualan di atas harga eceran tertinggi (HET) hingga berat pupuk yang tidak sesuai tulisan pada kemasan.
"Beberapa bukti penyimpangan kami temukan saat melakukan sidak (inspeksi mendadak) ke sejumlah distributor pupuk bersubsidi di Tulungagung," kata Ketua Komisi B DPRD Tulungagung, Widodo Prasetyo di sela sidak di Kecamatan Ngunut, Senin.
Salah satu temuan yang menjadi sorotan Komisi B adalah kasus pengurangan berat/bobot pupuk di salah satu distributor di Desa Panjerejo, Kecamatan Ngunut.
Di kios pupuk Desa Panjerejo itu, kata Widodo, berat satu sak pupuk ternyata tidak sesuai ketentuan.
"Selain bobot tidak sesuai kemasan, yakni 50 kilogram, harga jualnya juga di atas HET. Praktik nakal ini terjadi karena stok pupuk terbatas sementara permintaan tinggi," ungkapnya.
Dalam sidak yang dimulai sekitar pukul 09.00 WIB itu, anggota komisi B dipecah menjadi dua kelompok menuju beberapa lokasi berbeda, yakni Kecamatan Kauman, Gondang dan Pagerwojo.
Pantauan Antara, di setiap kios yang disidak, stok pupuk yang tersedia di gudang diperiksa secara acak.
Pemilik kios juga diminta menimbang berat satu sak pupuk untuk mengetahui bobot sebenarnya yakni wajib 50 kilogram.
"Kami timbang karena ada temuan satu sak hanya mencapai 42 sampai 43 kilogram," kata Widodo.
Widodo tidak merinci berapa kios yang terbukti menjual pupuk bersubsidi dengan harga di atas HET ataupun yang bobot pupuknya telah "disunat".
Ia hanya mengatakan, sidak lebih bertujuan untuk mengetahui fakta lapangan dan selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan rapat dengar-pendapat bersama, dengan melibatkan para pemilik kios pupuk, petani dan distributor.
Dari forum itu, lanjut Widodo, diharapkan ditemukan solusi bersama agar masalah pupuk terselesaikan dan petani bisa mendapatkan pupuk saat musim tanam.
"Nanti akan kami gelar 'hearing' bersama termasuk membahas mengapa berat satu sak tak sesuai ketentuan dan harga melebihi HET," ujarnya.
Sementara itu, salah satu pemilik kios pupuk mengaku, penjualan pupuk bersubsidi di atas HET dikarenakan harga dari pabrik yang mereka beli sudah tinggi.
Karenanya, agar mendapat keuntungan, pedagang terpaksa menaikan harga. Apalagi kebutuhan pupuk nonorganik sejauh ini masih tinggi.
Kendati dijual lebih mahal, petani tetap butuh pupuk bersubsidi itu karena mereka enggan menggunakan pupuk organik.
"Justru petani banyak meminta dihilangkannya pembatasan jatah pupuk. Jadi petani itu lebih suka pakai pupuk kimia seperti Urea. Alasannya, lebih cepat terlihat hasilnya," kata Nartiani, salah seorang pedagang pupuk.
Dia mengaku, dirinya pernah mendapat masukan dari petani, agar menghilangkan subsidi pupuk dan pembatasan penggunaan pupuk kimia. "Yang menggunakan pupuk organik bisa dibilang tidak ada. Kata petani, kalau pembatasan dihilangkan, bisa membeli sebanyak-banyaknya," ujarnya. (*)