Mayday! Hari buruh sedunia yang jatuh pada 1 Mei itu kembali tiba. Kehadirannya selalu mengingatkan aneka gelombang pergerakan kaum buruh di jalanan untuk memperjuangkan apa yang selalu mereka sebut sebagai hak pekerja: upah layak. Jargon ini seakan menjadi komoditas wajib disuarakan oleh semua konfederasi buruh. Wajar jika isu ini selalu diungkit oleh organisasi buruh di negara berkembang seperti Indonesia, sebab dalam banyak aspek dan kasus, mayoritas pemodal atau pengusaha belum memberikan insentif yang layak sebagaimana beban kerja yang diberikan. Selain itu, kinerja mereka terus digenjot untuk memaksimalkan produk yang dihasilkan dengan kualitas tinggi. Namun di sisi lain, pemberian insentif acapkali tidak sepadan, atau bahkan terlalu rendah. Suasana emosional yang mayoritas sama itulah yang kemudian menjadi magnet terjadinya kohesivitas antarelemen buruh dari satu unit/badan usaha dengan unit/badan usaha lain di berbagai tempat berbeda. Terbentuklah beberapa organisasi buruh , seperti Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Serikat Pekerja Indonesia (SPI), ataupun Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI). Belakangan, jargon perjuangan yang diusung organisasi buruh tak lagi melulu soal politik upah layak. Isu mengembang pada ranah kesejahteraan dan "keamanan" dalam bekerja. Persoalan yang disinggung terakhir bukan semata soal keamanan dalam artian harfiah, tetapi lebih pada jaminan status pekerja yang secara legal formal diakui oleh perusahaan berikut hak-hak yang melekat di dalamnya. Dua hal ini (kesejahteraan dan status) selalu menjadi "trending topic" –meminjam istilah gaul yang digunakan dalam media sosial twitter– setiap kali datang aksi buruh besar-besaran dalam rangka memperingati hari buruh. Hasilnya, meski semua tuntutan terpenuhi, standar upah buruh setiap tahun cenderung meningkat. Di kota-kota kecil atau pinggiran, kenaikan standar upah minimum tingkat kabupaten/kota (UMK) memang tidak seberapa dengan rasio kenaikan tiap tahunnya berkisar antara Rp50 ribu hingga Rp100 ribuan. Namun untuk kota-kota besar seperti Surabaya, Semarang, Bandung dan Jakarta (metropolitan), kenaikan UMK sudah cukup tinggi. Lalu apakah itu sudah cukup? Jika pertanyaan ini diajukan langsung kepada mereka (buruh), tentu jawabnya pasti tidak. Reaksi ini bisa dimaklumi, mengingat tuntutan standar upah yang mereka ajukan hampir semuanya di atas ketetapan UMK yang disetujui gubernur. Silang pendapat antara kelompok buruh di satu sisi, kalangan pengusaha di sisi lain, serta pemerintah daerah di pihak lain tidak memiliki kesepahaman mengenai teknis penentuan variabel ketentuan hidup layak (KHL) untuk merekomendasikan UMK di setiap daerah berbeda. Singkat kata, perdebatan mengenai politik pengupahan ini tidak pernah akan selesai. Dinamika bakal terus berlangsung seiring pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan hidup masyarakat yang semakin kompleks. Namun persoalan yang tak kalah penting harus diperhatikan sebenarnya bukan semata masalah upah dan isu penghapusan tenaga kontrak ataupun "outsourching" (tenaga alih daya), seperti selama ini kerap disuarakan organisasi buruh. Hal yang paling nyata dan kerap terabaikan adalah konsistensi penerapan serta mekanisme sanksi bagi perusahaan nakal yang tidak mematuhi ketetapan UMK itu sendiri. Apa gunanya kenaikan UMK dari tahun ke tahun jika perusahaan tetap menggaji karyawannya di bawah ketentuan? Misal UMK Kota Surabaya 2015 adalah Rp2.710.000, namun perusahaan A rata-rata hanya bisa mengupah pekerjanya Rp1.500.000 per bulan. Atau di Kabupaten Pacitan yang memiliki UMK terendah se-Jatim bersama Trenggalek, Ponorogo dan Magetan dengan standar ketetapan upah minimum kabupaten Rp1.150.000 namun perusahaan atau unit usaha B hanya mampu membayar insentif pekerjanya tidak lebih dari Rp700.000 per bulan. Diakui atau tidak, fakta itu terjadi. Untuk perusahaan-perusahaan skala sedang-besar mungkin memang pemberian upah buruh sudah sesuai ketentuan, bahkan lebih. Namun hal itu tidak terjadi pada perusahaan atau unit usaha berskala kecil seperti kelompok pertokoan yang tersebar baik di kota-kota besar sekelas Surabaya, Malang dan Jember hingga kota/kabupaten kecil seperti Tulungagung, Trenggalek Ponorogo hingga Pacitan. Ironisnya, perilaku nakal pemodal atau pemilik perusahaan/unit usaha itu mendapat toleransi dari pihak dinas tenaga kerja daerah masing-masing. Dengan dalih kemampuan bayar perusahaan yang rendah dan berbekal laporan keuangan dengan neraca keuangan yang tidak spektakuler, pengusaha bisa dengan mudah mendapat "discount" untuk tidak mematuhi ketetapan UMK. Pihak disnaker biasanya berdalih mempertimbangkan kondisi keuangan perusahaan bersangkutan serta nasib para pekerja itu sendiri yang kesempatan bekerjanya harus diamankan. ”Menekan perusahaan untuk membayar sesuai UMK tapi kemudian malah gulung tikar karena pailit, itu justru merugikan nasib pekerja, karena mereka menjadi kehilangan pekerjaan” begitu biasanya alibi yang digunakan. Para pekerja atau buruh sendiri biasanya tidak punya banyak pilihan. Melawan dengan memprotes kebijakan pengupahan perusahaan yang di bawah ketentuan memang dimungkinkan, melalui mekanisme pengaduan ke disnaker hingga Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Namun usaha mereka biasanya akan berbenturan dengan ruang dispensasi yang bisa dikeluarkan oleh lembaga disnaker selaku pengawal regulasi. Bukannya mendapat hak upah yang layak sesuai ketentuan UMK, pekerja semacam ini berisiko mengalami pemecatan, dengan berbagai dalih perusahaan. Masalah inilah sebenarnya lebih krusial dan wajib menjadi prioritas perjuangan kaum buruh, juga pemerintah yang berkomitmen meningkatkan kesejahteraan kelas pekerja yang selama ini "terpinggirkan". Transparansi harus dilakukan dalam keseluruhan penerapan regulasi menyangkut ketetapan dan pelaksanaan UMK. Jangan ada main mata dalam menyiasati celah dispensasi yang bisa dikeluarkan. Karena jika satu perusahaan diberi kelonggaran dengan alasan kemampuan bayar upah yang terbatas, puluhan atau bahkan perusahaan/unit usaha yang lain akan mengikuti dengan dalih yang sama. Soal laporan neraca keuangan tahunan, toh bisa mereka rekayasa. Apapun alasannya, budaya negatif dalam sistem pengupahan perusahaan semacam ini cepat atau lambat akan menjadi bumerang bagi sektor industri di Indonesia. Harus ada perbaikan sistem jika ingin daya saing industri Tanah Air tidak ingin tergilas produk-produk impor, seiring diberlakukannya kebijakan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada Desember 2015. Ingat, sistem pengupahan yang baik akan selalu berbanding lurus terhadap setiap produk yang dihasilkan. Jangan harap bisa menghasilkan produk unggulan dan berdaya saing tinggi jika mengupah pekerjanya dengan setengah hati. Apakah kita mau kalah saat MEA ?! (*)
"Mayday" dan Balada Buruh "Pinggiran" Jelang MEA
Minggu, 26 April 2015 11:32 WIB