Situbondo (Antara Jatim) - Berkali-kali Abdus Salam menyebut kata-kata \"menyesal\" ketika bercerita bagaimana rasanya mendekam dalam sel tahanan selama tiga bulan lebih. \"Sudah pak, saya sungguh-sungguh \'menyesal\' berada di tahanan itu. Meskipun diperlakukan tidak dengan kekerasan, tapi saya \'menyesal\' pak di dalam (penjara) itu,\" katanya dalam perbincangan di sela rehat sidang di musala PN Situbondo. Sopir pikup yang ketiban getah bersama dua tersangka lainnya dalam kasus Asyani ini bercerita dalam bahasa Madura. Ketika di persidangan pun, pemuda berusi 23 tahun ini tidak mau menggunakan bahasa Indonesia, karena merasa tidak lancar mengucapkan. Pada perbincangan dengan Antara seusai shalat duhur itu, hanya kata \"menyesal\" yang diucapkan dalam bahasa Indonesia. Ketika diminta menjelaskan dalam bahasa Madura barulah bisa dipahami bahwa ia ingin mengungkapkan rasa nelangsa atau sedih di tahanan Lapas Situbondo. Namun kata yang dipilinya \"menyesal\". Ia mengaku bingung menghadapi sidang kasus yang melilit Asyani dan kemudian menyeret dia menjadi tersangka juga. Sejak di kantor polisi hingga ke persidangan, apa yang disampaikannya sering disalahkan. Antara lain ia disalahkan mengapa sebelum mengangkut kayu milik Asyani itu dirinya tidak pernah bertanya apakah kayu itu memiliki surat-surat yang lengkap. Abdus, demikian ia biasa dipanggil, mengaku tidak tahu dengan peraturan tersebut. Baginya, ketika ada yang mengundang mengangkut barang, adalah rezeki yang tidak boleh ditolak. Sehari-hari pikap milik orang tuanya yang baru dibeli sekitar enam bulan sebelum disita itu biasa mengangkut pasir dan batu. \"Aduh pokoknya waktu dia diperiksa di kantor polisi kemudian ditahan kayak kiamat pak. Semua orang di kampung menangis. Kepala saya ini benjol-benjol karena sering terbentur lantai dan tembok saat pingsan. Apalagi, waktu itu Abdus bilang, \'engkok mun sateyah etahan ongghu bu\'. Marah engko\' lengkaeh ya. Nyo\'on slamet engko\' bu\'. (Kalau sekarang saya ditahan buk/ibuk. Minta tolong langkahi saya. Semoga saya selamat buk),\" kata Buk Dus, ibu Abdus Salam, bercerita. Bagi masyarakat Madura tradisional, meminta tubuhnya dilangkahi oleh ibu kandungnya adalah tradisi untuk memohon restu agar selamat. Biasanya ritual itu dilaksanakaan di dalam rumah di dekat pintu. Sebagai restu, ibu akan melangkahi tubuh anaknya yang berjongkok sebanyak tiga kali. Buk Dus bercerita, pada 15 Desember 2014 itu, anaknya sempat kembali tiga kali dari kantor Polsek Jatibanteng ke rumahnya di Dusun Secangan, Desa Jatibanteng. Abdus dikawal polisi dan pulang hingga tiga kali untuk mengambil STNK, barang bukti lain dan kemudian mobil pikap. Saat itu tersangka utama Asyani, tersangka lain Cipto, Abdus dan Ruslan sejak dipanggil untuk pemeriksaan langsung mendekam di Polsek semalam dan besoknya dititipkan ke Lapas Situbondo. \"Seharian di polsek itu kami ndak makan pak. Baru besoknya sebelum dibawa ke lapas kami diberi jatah roti,\" kata Cipto, pemilik usaha kayu yang juga guru mengaji. Akibat penahanan itu, keluarganya menjadi tersiksa, apalagi semuanya perempuan, yakni istri, anak dan sejumlah ponakannya. Untuk keperluan sehari-har, mereka menjual barang yang ada. Yang lebih menyedihkan bagi dia adalah para santri ngajinya yang telantar selama tiga bulan karena ia berada di penjara. \"Kalau saya terpaksa menjual jagung pak untuk nafkah keluarga. Demikian juga untuk beli rokok. Tapi agar jagung tidak habis, saya terpaksa merokok tembakau biasa,\" kata Abdus. Hal sama juga diakui oleh Ruslan (menantu Asyani). Ruslan menjadi tersangka karena ikut mengangkut kayu milik Asyani dari Dusun Krastal ke tempat penggergajian keliling di dekat rumah Cipto. Ayah dari, Irfan dan suami dari Mistiana (anak bungsu Asyani) harus rela nafkahnya terputus. Pemuda murah senyum ini sehari-hari bekerja sebagai petani. Sementara Cipto mengaku tidak tahu menahu dengan kayu Asyani yang juga saudara iparnya itu. Almarhum suami Asyani adalah kakak kandung dari Cipto. Ia mengaku belum menggarap kayu Asyani karena masih banyak pekerjaan di luar. Kayu-kayu Asyani dibiarkan tersusun berdiri di halaman rumahnya setelah digergaji dalam bentuk sirap. Asyani, Cipto, Ruslan dan Abdus Salam mengaku tidak ingin peristiwa pemeriksaan di kantor Polsek pada Senin, 15 Desember 2014 yang berlanjut ke penahanan itu berulang. Setelah satu malam di tahanan Polsek, empat orang yang masih ada hubungan famili itu kemudian dipindah ke Lapan Situbondo. Pengalaman hidup di tahanan sekitar 91 hari itu membuat Abdus trauma, apalagi pekerjaan untuk menghidupi keluarga menjadi berantakan. Selain itu, kata dia, selama pemeriksaan, termasuk di pengadilan, membuat dirinya bingung. Ketika memberikan jawaban yang meragukan, hakim maupun jaksa meminta menjawab \"tidak tahu\", kalau memang tidak tahu. \"Tapi ketika saya menjawab tidak tahu, malah ditanyakan lagi, masak tidak tahu? Saya kan sudah banyak lupa karena ini sudah (peristiwa) lama. Pokoknya serba salah,\" kata Cipto. Sementara Ruslan tampak kesal begitu mendapati vonis yang menimpa mertuanya yang dinyatakan bersalah oleh majelis hakim. \"Hakim dan jaksa ini betul-betul tidak mau mendengarkan kami. Sudah jelas semua kok bahwa Bu Asyani tidak mencuri, kok masih dinyatakan salah,\" katanya dengan muka muram di depan musala kantor PN Situbondo. Sementara Mistiana, anak dari Asyani yang juga istri Ruslan, tampak murung. Perempuan yang biasanya suka tersenyum itu tampak masygul. Bahkan ketika Irfan, anak semata wayangnya terjerembab dari lantai musala ke halaman ia tampak marah. (*)
Kasus Asyani (4) Mereka yang Terkena Getah
Jumat, 24 April 2015 10:16 WIB