Kasus Asyani (3) Pendapat Ahli yang Terabaikan
Jumat, 24 April 2015 10:15 WIB
Situbondo (Antara Jatim) - Upaya pengacara Asyani (63) untuk membela kliennya hingga mendatangkan dua ahli, bidang hukum dan agraria, ke sidang di Pengadilan Negeri Situbondo tidak banyak membuahkan hasil.
Kedua ahli itu, yakni Prof Dr Achmad Sodiki, mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, dan Noer Fauzi Rachman, PhD, ahli politik agraria dari Institut Pertanian Bogor (IPB), sama-sama meminta agar kasus tersebut tidak diteruskan.
Menurut Noer Fauzi, penggunaan UU No 18 Tahun 2013 terhadap kasus Asyani tidak tepat jika melihar kerusakan yang ditimbulkan. UU itu tidak sepatutnya dikenakan pada kasus perorangan dengan kerugian yang tidak seberapa, apalagi yang didakwa sudah sepuh. Selain itu UU tersebut masih dalam proses peninjauan ulang di MK.
Menurut dia, spirit dari UU yang biasa disebut UU "illegal logging" ini adalah untuk korporasi atau masyarakat yang terorganisir dengan kerusakan yang bersifat massif. Kalau benar Asyani melakukan seperti yang dituduhkan, maka motifnya bukan merusak hutan dan faktanya tidak ditemukan hutan yang rusak di kawasan milik Perhutani di Jatibanteng, Situbondo, itu.
Berkali-kali terjadi adu argumen antara Noer Fauzi dengan hakim. Hakim ketua I Kadek Dedy Arcana balik bertanya apakah perusakan hutan dibolehkan kalau dilakukan oleh perorangan? Padahal bunyi dalam pasal UU itu ada klausul "dilakukan oleh per orangan atau sekelompok orang".
Hakim juga mempertanyakan apakah harus menunggu kerusakan yang lebih parah untuk menangani masalah hutan tersebut? Demikian juga dengan alasan status UU tersebut sedang dalam upaya peninjauan kembali, hakim berlasan bahwa waktu putusan di MK itu belum pasti.
"Kan masih lama waktunya. Kalau begitu, nanti lama-lama hancur hutan di Situbondo ini," kata Kadek Dedy Arcana.
Hakim juga balik bertanya mengapa kasus dengan korban anak-anak masih menggunakan UU khusus, padahal masalah tersebut juga sudah diatur dalam hukum pidana biasa. "Tidak bapak hakim, tidak seperti. Tergantung motifnya," jawab Noer.
"Lha ini kan juga tidak tahu motifnya," kata hakim menimpali.
Atas keterangan saksi yang sedikitnya dua kali ditegur agar kakinya diturunkan itu, tampaknya tidak bisa meyakinkan majelis hakim.
Sementara Sodiki yang juga pensiunan dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang banyak menyampaikan filosofi UU yang dibuat oleh manusia.
Ia meminta majelis hakim menghentikan perkara ini berdasarkan kearifan karena terdakwa sudah sepuh dan kerugian yang dialami pelapor (Perhutani) tidak seberapa. Ia menyarankan dilakukan penyelesaian dengan cara mediasi. Atau kasus itu bisa juga diselesaikan secara perdata.
Ia mengemukakan bahwa jika memang Asyani terbukti bersalah, dia tidak mungkin bermotif untuk menumpuk kekayaan, tapi karena kebutuhan hidup yang terus menghimpit. Menurut dia, jika benar Asyani mencuri, hal itu bukan semata-mata kesalahan terdakwa, tapi juga penguasa yang lalai terhadap kondisi rakyatnya. Karenanya tidak perlu kasus seperti ini sampai ke pengadilan.
"Dengan demikian, ini akan meringankan tugas pengadilan dan penegak hukum lain untuk menyelesaikan kasus-kasus yang lebih besar untuk kepentingan masyarakat banyak. Jika ini dilakukan, maka hakim yang mulia bukan saja memberi kepastian hukum, tapi juga keadilan bagi yang kecil dan lemah," kata Sodiki.
Ia melihat ada dua aspek hukum yang bisa dijadikan parameter bahwa kasus ini sebaiknya tidak dibawa ke pengadilan. Pertama, subjek hukum (pelaku) yang sudah renta. Kedua objek hukum, yakni barang bukti yang masih belum jelas milik siapa karena Asyani tidak mengakui sebagian kayu itu.
"Di masa lalu, penjajah Belanda saja mengampuni ketika ada warga hukum adat masuk ke hutan negara, mengapa kita tidak? Masalah ini bisa dimusyawarahkan sehingga pengadilan tiak direpotkan oleh hal-hal seperti ini," katanya.
Ia juga mengemukakan bahwa ketika hukum dirumuskan atau dibahas di DPR, boleh jadi anggota dewan itu tidak mengira bahwa dari peraturan yang dibahasnya akan muncul kasus seperti yang dialami oleh Asyani.
"Karena itu ruang untuk memutus perkara ini adalah hati nurani," katanya.
Mendengar argumen tersebut, hakim menegaskan bahwa pihaknya tidak bisa menolak perkara. Karena kasus ini dibawa ke pengadilan, maka kata Kadek Dedy Arcana, menjadi kesempatan bagi Asyani untuk menyampaikan yang sebenarnya.
Ia juga mengemukakan bahwa hakim seringkali selalu dilihat salah. "Memutus berat salah, memutus ringan juga salah," katanya.
Sejatinya, pengacara Asyani juga akan menghadirkan dosen kehutanan UGM Yogyakarta Dr Nugroho Marsoem yang ahli yang menguasai masalah teknis perkayuan.
"Sebetulnya, kehadiran ahli perkayuan ini akan sangat membantu kami untuk membuktikan tuduhan kesamaan kayu barang bukti dengan tunggul milik Perhutani, yang selama ini hanya berdasar perkiraan," kata Yusdistira Nugroho, pengacara Asyani.
Bukan hanya dua saksi ahli yang tidak bisa meyakinkan hakim untuk menghentikan kasus ini. Sebelumnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan kasus Asyani merupakan kriminalisasi bagi masyarakat miskin.
"Kontras memprotes keras kriminalisasi terhadap Nenek Asyani yang dituduh melakukan pencurian kayu jati milik Perhutani," kata Wakil Koordinator Bidang Advokasi Badan Pekerja Kontras Yati Andriyani.
Ia berpendapat, penghukuman terhadap korban yang tidak bersalah dengan alat bukti yang tidak memadai merupakan hal yang sangat tidak manusiawi dan melanggar hak asasi manusia, apalagi nenek Asyani telah berusia lanjut.
Kontras juga menyatakan, masalah itu juga menunjukkan bahwa potensi rekayasa kasus masih terus terjadi di banyak wilayah di Indonesia.
Saat itu dia meminta majelis hakim membebaskan Asyani dari ancaman pidana yang dituduhkan mengingat proses hukum yang berlangsung dipenuhi dengan kesewenang-wenangan dan dugaan rekayasa.
Kontras juga meminta Kapolri untuk melakukan pemeriksaan, serta mendorong lembaga koreksi eksternal seperti Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk memantau kasus tersebut.
Sementara Ketua Pengurus LBH-Keadilan Abdul Hamim Jauzie berpendapat bahwa hukum belum ditegakkan jika aparat hanya bisa menerapkan pasal pembalakan liar kepada nenek renta.
"Hutan gundul dikarenakan penebangan yang sistemastis dan besar-besaran, bukan yang mengambil beberapa batang pohon yang menjadi target operasi," katanya.
LBH-Keadilan menilai diadilinya Asyani menandakan aparat penegak hukum berorientasi pada penegakan peraturan ketimbang penegakan keadilan.
Pada pembacaan vonis, hakim menilai apa yang disampaikan para saksi ahli tidak bisa dipertimbangkan, termasuk yang disampaikan Prof Achmad Sodiki yang dinilai hanya menyampaikan pandangan dari sosiologi hukum. (*)