Kasus Asyani (1) Terhukum Oleh Kayu Sendiri
Jumat, 24 April 2015 10:14 WIB
![Kasus Asyani (1) Terhukum Oleh Kayu Sendiri](https://cdn.antaranews.com/cache/1200x800/2015/04/39b95e7f955dd67d88981696d1bee45f.jpg)
Ilustrasi (ANTARA FOTO/Adeng Bustomi)
Situbondo (Antara Jatim) - Asyani (63) tidak pernah membayangkan di usia senjanya akan menyandang status narapidana dan mengenyam hidup di dalam penjara selama 91 hari.
Ketika oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Situbondo, Jawa Timur, Kamis (23/4), dinyatakan bersalah dengan vonis hukuman satu tahun dan denda Rp500 juta, subsider kurungan satu hari, dia hanya diam.
Namun, usai hakim mengetok palu dan Supriyono, pengacaranya, menyampaikan akan banding, Asyani meluapkan emosinya.
"Sudah ini ya? Kok (hakim) pindah? Sumpah pocong saja. Berarti hakim tidak percaya pada saya, meskipun saya sudah disumpah. Saya tidak mencuri," katanya dengan suara nyaring dan histeris.
Bahkan, hingga ke dalam mobil yang membawanya pulang, ibu dari empat anak itu masih menangis dan memukul-mukul jok mobil sebagai ekspresi kecewa atas putusan yang dinilainya tidak adil. Ia juga berkali-kali menyebut dirinya bukan pencuri.
Meskipun tidak harus menjalani hukuman di dalam penjara, rupanya Asyani trauma dengan kasus yang dialaminya hingga menjadi perhatian masyarakat secara nasional itu.
Perempuan renta yang dikenal dermawan di kampungnya itu sudah pernah merasakan hidup dalam tahanan. Dia ditahan di Lapas Situbondo sejak 15 Desember 2014 bersama tiga tersangka lain dan kemudian ditangguhkan mulai 16 Maret 2015.
Penangguhan penahanan itu dikabulkan majelis hakim setelah Bupati Situbondo Dadang Wagiarto menjadikan diri sebagai jaminan.
"Kami sudah lama mengajukan penangguhan penahanan dengan alasan nenek sudah tua, tapi tidak segera dikabulkan," kata Ide Prima Hadiyanto, pengacara rekan Supriyono.
Asyani mengaku malu menghadapi masalah hukum seperti ini. Bukan sekadar tuduhan yang mencap dirinya sebagai pencuri, tapi tudingan miring lainnya.
"Saya malu sama orang. Ada yang bilang saya ini pura-pura mati (maksudnya pingsan), karena ingin dikasihani dan mendapatkan uang. Padahal tidak begitu," katanya saat ditemui Antara di rumahnya di pemukiman korban banjir di Dusun Krastal, Desa/Kecamatan Jatibanteng, 2 April lalu.
Diusapnya air mata yang tiba-tiba meleleh di pipinya itu. Saat itu ia berbaring lemah di lantai ubin warna abu-abu tanpa alas. Kasur springbed pemberian orang tidak digunakan karena panas.
Sementara jika menggunakan kipas angin, dikhawatirkkan tubuhnya tambah drop. Apalagi, makannya juga sangat sulit. "Semua makanan rasanya pahit nak," ujarnya.
Meskipun lemah, ia berusaha duduk untuk menemui tamu, termasuk wartawan yang duduk di karpet biru pinjaman dari tetangganya. Karpet itu disiapkan di rumah ukuran 4 x 6 meter beratap asbes itu karena belakangan banyak tamu yang menyambangi nenek yang sering puasa sunah Senin dan Kamis tersebut.
Ia juga mengaku sudah sangat capai karena setiap pekan dua kali pergi pulang dari rumahnya ke kantor Pengadilan Negeri Situbondo.
"Mbah ini sudah tua nak. Mbah hanya ingin bebas," ujarnya, lirih.
Ia mengaku sangat tidak nyaman harus mengikuti sidang dengan menempuh jarak dari rumahnya ke PN Situbondo sekitar 60 kilometer. Untunglah pengacara dari LBH Nusantara Situbondo, termasuk Kepala Desa Jatibanteng sangat peduli dengan masalahnya.
Kalau Asyani selalu memaksa hadir di sidang meskipun sakit, ia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya bukan pencuri. Ia berani menghadapi sidang karena benar. Sementara jika seseorang salah, menurutnya, pasti akan menghindar datang.
Hanya, ia mengaku selalu tegang setiap kali mengikuti sidang, apalagi kalau antara para pihak di ruangan itu berdebat. Ia mengaku jantungnya langsung berdegub kencang.
"Setelah itu semua menjadi gelap dan saya tidak ingat apa-apa. Kalau ingat masalah ini, menyesal saya, mengapa dulu kayu-kayu itu tidak dijadikan kayu bakar saja," kata Asyani yang dalam beberapa kali sidang pingsan itu.
Ia kemudian ingat bagaimana awal berurusan dengan hukum. Saat itu ia bersama tersangka lain ke kantor Polsek Jatibanteng, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, untuk dimintai keterangan.
Setelah seharian di kantor polisi itu, ia diinapkan semalam dan besoknya dibawa ke Lapas Situbondo. Selama tiga bulan lebih Asyani dan tiga tersangka lain mendekam di lapas.
Selama di Lapas ia mengaku banyak yang peduli, baik petugas maupun sesama tahanan. Bahkan ada dua tahanan perempuan sampai bertengkar berebut tidur dengan Asyani. Hal itu terjadi karena Asyani sering menunjukkan perhatian berlebih kepada para tahanan itu.
Misalnya, ketika malam-malam tidak bisa tidur, ia ambil kain dan mengelap keringat "anak-anak" barunya itu. Bahkan seringkali Asyani mengipasi tahanan itu agar tertidur lelap saat udara di Situbondo panas.
Meskipun selama di tahanan diperlakukan dengan baik, Asyani tetap tidak ingin kembali ke tempat itu. Selain tidak bisa melayani pasien pijatnya, ia tidak bisa dipisahkan terlalu lama dengan anak cucunya.
Karena itu, ia berkali-kali menangis dan meminta ampun, baik di persidangan maupun ketika bertemu dengan pejabat yang datang ke rumahnya. Ia berharap dengan permohonan seperti itu, dirinya benar-benar diampuni.
Permohonan itu ia sampaikan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaja yang datang ke rumah Asyani. Tidak hanya Siti Nurbaja, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise juga menemui Asyani. Pertemuan itu tidak di rumah Asyani, namun di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Kabupaten Situbondo, Selasa, 14 April lalu.
Pada pertemuan itu Asyani menitipkan surat untuk Presiden Joko Widodo melalui Menteri Yohana Yembise.
"Saya minta tolong dibebaskan, tolong sampaikan pada Pak Jokowi," katanya sambil menyerahkan surat itu di Situbondo, Selasa (14/4).
Menteri Yohana berjanji akan membawa pesan dari Nenek Asyani itu ke rapat kabinet.
Semua upaya Asyani dan pengacaranya, rupanya tidak sesuai yang mereka harapkan. Asyani tetap dihukum atas kayu yang dimiliknya, meskipun dia tidak harus menjalaninya di penjara.
Sementara keterangan di manajemen Perhutani menyebutkan bahwa PT Perhutani Resor Pemangkuan Hutan (RPH) Jatibanteng, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Besuki, Sub-Kesatuan Pemangkuan Hutan (SKPH) Bondowoso Utara, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bondowoso kehilangan kayu jati.
Sekretaris Divisi Regional Perum Perhutani Jatim Yahya Amin mengungkapkan, laporan dengan Nomor 02/KP/Jtgtg/Bsk/2014 itu dilatarbelakangi hilangnya dua pohon jati dengan keliling 115 centimeter dan 105 centimeter dengan kerugian Rp4.323.000. Kejadian itu dilaporka ke Polsek Jatibanteng.
Dari laporan itu, Perhutani bersama Polsek Jatibanteng mengadakan operasi gabungan pada tanggal 7 Juli 2014 dengan mengamankan kayu jati ilegal di rumah Cipto alias Pak Pit bin Magiyo (47 tahun). Pria dengan pekerjaan tukang kayu itu beralamat di Dusun Secangan, Desa Jatibanteng.
"Sementara, barang bukti yang diamankan sebanyak 38 batang kayu jati olahan (0,125 meter kubik) mempunyai ukuran beragam. Terbesar mencapai 200 x 2 x 15 centimeter dan terkecil 90 x 3 x 8 centimeter," ungkapnya.
Pada kasus tersebut, kata dia, Cipto diduga melakukan tindak pidana memiliki kayu jati hasil hutan sebagaimana dimaksud pada pasal 12 huruf d dan m juncto pasal 83 (1) huruf a dan pasal 87 (1) huruf m berdasarkan UU RI Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Namun, hasil pemeriksaan di Polsek Jatibanteng menyatakan bahwa kayu tersebut milik Asyani dengan alamat Dusun Kristal RT 02 RW 03, Desa Jatibanteng.
Keterangan itu dibantah oleh Asyani karena tidak semua kayu yang dijadikan barang bukti adalah miliknya. Asyani mengaku tidak tahu menahu dengan kayu yang kemudian dianggap sama dengan bonggol milik Perhutani. (*)