"Papa pulang. Kakak masih butuh papa. Kembalikan papaku. Papa pulang pa. Papa harus ketemu, papa harus pulang," tulis Angela Anggi Ranastianis, putri sulung Kapten Irianto, Pilot AirAsia QZ8501 dalam akun Path-nya yang diakhiri tiga tanda emoticon :' (yang berarti menangis). Ninis, sapaan akrabnya, juga menulis hal yang sama di media sosial twitter miliknya sesaat setelah menerima kabar pesawat yang diterbangkan sang papa dari Surabaya ke Singapura mengalami hilang kontak pada Minggu (28/12/2014) pagi. Sekitar dua pekan sebelumnya, 12 Desember 2014, dalam tampilan di media sosial, seorang bapak bernama Wawan bercerita bagaimana ia berusaha menyelamatkan keluarga dari timbunan tanah longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah. Tidak hanya gagal menyelamatkan, Wawan juga tertimbun tanah hingga leher. Mukjizat itu ada. Selama hampir tujuh jam, kayu yang berserakan diraihnya untuk mengurangi beban timbunan tanah disertai lumpur. "Syukurlah saya masih bisa selamat. Tapi, keluarga tidak berhasil saya selamatkan," lirihnya tak kuasa menahan air mata. Dua peristiwa tersebut terjadi hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari sebulan, yang juga bisa disimpulkan menjadi duka Indonesia di penghujung tahun 2014. Berdasarkan data yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bencana alam tahun ini mencapai 1.525 kejadian, termasuk erupsi Kelud pada awal tahun 2014 (Februari). Bencana tahun 2014 itu menyebabkan sebanyak 566 orang meninggal dunia, 2,66 juta jiwa terpaksa mengungsi dan menderita, lebih dari 51 ribu rumah serta ratusan bangunan umum lainnya rusak. Dari sisi ekonomi, kerugiannya mencapai puluhan triliun rupiah, antara lain dampak kebakarah hutan dan lahan mencapai Rp20 triliun, banjir Jakarta Rp5 triliun, banjir di Pantai Utara Jawa Rp6 triliun, banjir bandang di Sulawesi Utara Rp1,4 triliun, banjir dan longsor di 16 kabupaten/kota di Jawa Tengah Rp2,1 triliun dan sebagainya. Data lainnya menunjukkan, 99 persen bencana adalah bencana hidrometeorologi, seperti puting beliung yang merupakan paling dominan selama 2014 yaitu 496 kali kejadian, kemudian banjir 458 kali, dan longsor 413 kali. Bahkan dalam tiga tahun terakhir, puting beliung menyebabkan korban jiwa sebanyak 57 meninggal dunia, 10.707 jiwa mengungsi, dan lebih 23 ribu rumah rusak hanya dalam jangka satu tahun terakhir. Ancamannya pun semakin meningkat dan menyerang semua wilayah, baik pedesaan maupun perkotaan. Berikutnya, longsor merupakan bencana paling mematikan selama 2014. Tercatat sebanyak 343 orang meninggal dan hilang akibat longsor, atau 60 persen dari dari total korban meninggal akibat bencana. Paling parah dan memakan korban terbanyak, yakni longsor di Banjanegara yang menyebabkan 99 jiwa tewas dan 11 jiwa hilang. Sementara dari sisi wilayah, Jawa Barat menempati urutan teratas menjadi daerah yang terbanyak kejadian, yakni 290 kejadian. Disusul Jawa Tengah dengan 272 kejadian, Jawa Timur dengan 213 kejadian, Aceh 51 kejadian, dan Sumatera Selatan 480 kejadian. Dilihat dari persebaran kabupaten/kota maka paling banyak ada di Bogor dengan 37 kejadian, Bandung 31 kejadian, Sukabumi 29 kejadian, Garut 26 kejadian dan Cianjur 23 kejadian. Hal ini menunjukkan bencana masih menjadi ancaman. Pemerintah pusat harus memberikan perhatian ekstra terhadap musibah, baik bencana alam maupun lainnya, seperti alat transportasi massal, baik darat, laut maupun udara. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota juga tidak boleh tinggal diam, sebab bencana selalu berulang. Padatnya penduduk yang tinggal di daerah rawan bencana harus menjadi perhatian serius dan wajib memberikan solusi agar tidak terjadi lagi. Pengurangan risiko bencana harus menjadi pengarusutamaan dalam pembangunan di semua sektor. Pun demikian dengan tingkat partisipatif warga. Di sisi lain, pemerintah berupaya keras mengurangi ancaman bencana, namun di sisi lainnya peran penduduk tidak boleh berhenti. Pemerintah juga jangan hanya mengucap kata prihatin, datang ke lokasi kejadian, memerintahkan Basarnas, TNI, Polri serta relawan fokus evakuasi. Akan tetapi, langkah besar harus dilakukan untuk mencegah kejadian serupa tahun ini terjadi lagi. Apapun caranya dan bagaimanapun teknisnya, berbagai pihak dan pemangku kebijakan di sini tentu sudah tahu apa yang diperbuatnya. Tak ketinggalan, awak media juga harus berperan dengan bijak melihat bencana. Berita Bencana bukan Cerita Kesedihan. Lanjutkan fakta dengan harapan korban, kerja keras pencarian, bantuan/asuransi, dan standar jaminan keselamatan...! Dan, kita semua yakin republik dengan 220 juta lebih penduduk Tanah Air itu akan dapat diperbaiki dengan bergandengan tangan, bergotong royong. Bencana 2014 berarti evaluasi untuk 2015, 2016 dan seterusnya. Kini, sudah saatnya bangkit... saatnya berbenah. Jangan menangis, Ninis..., jangan menangis, Wawan..., Jangan menangis, Indonesia-ku...! (*)
Indonesia-ku, Jangan Menangis...
Jumat, 2 Januari 2015 9:52 WIB