Surabaya (Antara) - Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dr Jarianto, MSi mengemukakan perlu ada gerakan sosial untuk mengembangkan seni ludruk. "Harus ada gerakan sosial dan kebersamaan dari banyak pihak untuk mengembangkan ludruk. Tiap tahun harus ada festival ludruk," katanya sebelum pementasan Ludruk Remaja di Gedung Cak Durasim, Surabaya, Jumat (12/12) malam. Pada pementasan dengan lakon tafsir baru "Sarip Tambak Oso" itu, ia mengemukakan bahwa program pementasan kali ini dimaksudkan agar ludruk dapat digemari oleh anak muda. Menurut Jarianto, sumber daya manusia dalam ludruk itu penting, di samping sarana prasarana, fasilitas pemerintah dan program yang berkesinambungan. "Ludruk ini hanya ada di Jatim. Jangan sampai orang Jatim yang pindah ke luar pulau, bikin ludruk di sana, malah lebih bagus. Kalau mau lihat ludruk yang bagus datanglah ke Jatim," katanya. Sementara itu, pengamat seni Henri Nurcahyo banyak mengkritisi pementasan yang semua pemainnya anak muda, yakni siswa dan mahasiswa itu. Pengelola Pusat Informasi Kesenian Jawa Timur "Brang Wetan" itu mengemukakan bahwa pentas kali ini memang bermaksud menyajikan sesuatu yang baru, sehingga dari sisi pemain tidak satupun pemain profesional yang ditampilkan. Menurut dia, yang diharapkan penonton ketika menyaksikan ludruk adalah terhibur dengan kelucuan. Namun hal itu tidak terjadi dalam pertunjukan Ludruk Remaja ini. "Sebagaimana lazimnya, pertunjukan diawali dengan tari Remo. Memang bagus tariannya, tapi sayang tanpa ngidung sama sekali. Padahal, apalah istimewanya menari remo dalam pentas ludruk kalau tanpa kidungan? Justru menari sambil ngidung itulah yang menjadi kekuatan ludruk," katanya. Ia menilai babak lawakan (dagelan) memang lucu, karena materi lawakannya relatif baru, minimal tidak klise sebagaimana ludruk biasanya. Namun ada yang dilupakan, pemain tidak saling menyebut nama temannya sebagaimana menjadi kelaziman dalam ludruk tradisi. "Padahal cara itulah yang paling efektif memperkenalkan pemain pada penonton. Hanya satu pelawak yang menyebut temannya, 'Nu¿. Nu¿' Dan penonton tidak tahu, siapa kepanjangan dari panggilan 'Nu' tersebut," ujarnya. Sayang, katanya, hanya pada babak dagelan itulah saat-saat penonton tertawa. Selebihnya pertunjukan berlangsung tegang, ritme tidak diatur sedemikian rupa yang memungkinkan penonton menghela nafas. "Sampai-sampai penonton terpaksa melepas tawa ketika di panggung terlihat (dalam keremangan lampu) pemain yang berjalan sendiri, padahal sudah mati. Padahal itu bukan menjadi bagian dari pertunjukan," katanya. (*)
Kadisbudpar: Perlu Gerakan Sosial Kembangkan Ludruk
Sabtu, 13 Desember 2014 12:41 WIB