Ungkapan Karen Amstrong, penulis buku-buku tentang agama-agama, yang menyebut bahwa, "Islam telah dibajak oleh pengikutnya sendiri," rupanya banyak menemukan realitasnya di negeri kita. Demikian juga dengan ungkapan salah seorang pemikir Islam terkemuka asal Mesir, Muhammad Abduh, bahwa "Islam tertutup oleh kaum Muslim sendiri," menunjukkan bukti kebenarannya. Di negeri yang disepakati bahwa perbedaan adalah keniscayaan yang kemudian diikat dalam semboyan "bhinneka tunggal ika" ini masih menunjukkan jauhnya panggang dari api. Betapa susahnya,--meski tidak di semua tempat--, memilih keyakinan yang berbeda dengan keyakinan yang dianut oleh kaum "arus utama" di masyarakatnya. Beberapa waktu lalu, satu keluarga penganut Syiah dengan enam perempuan dan satu laki-laki harus dikawal oleh satu peleton pasukan Brimob (sekitar 30 orang) dan personel Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Mereka bukan hendak berbuat anarkhis. Mereka yang kebanyakan kaum hawa itu hanya hendak melayat ke salah satu keluarganya yang meninggal di Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Pengawalan dilakukan oleh Polri karena ada kekhawatiran serangan dari kelompok mayoritas terhadap kaum Syiah itu. Perampasan kemerdekaan oleh penganut paham yang berbeda dengan Syiah itu bukan satu-satunya kejadian. Pada akhir 2011, kaum Syiah asal Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Madura, itu diserang oleh sekelompok umat Sunni di wilayah itu. Serangan lebih besar terjadi pada 26 Agustus 2012. Rumah mereka dibakar, mereka dipaksa mengungsi di gelanggang olahraga sekian bulan dan kemudian dipindah ke rumah susun di Sidoarjo. Mereka tercerabut dari desa dan segenap hartanya. Agaknya tidak ada salah sedikitpun ungkapan Karen Amstrong dan Muhammad Abduh itu. Islam yang sejatinya adalah agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam, tapi pemeluknya tidak jarang menciptakan ketakutan, bahkan kerusakan. Islam agama yang menjunjung tinggi kepemilikan dengan cara halal dan baik, tapi korupsi merajalela. Islam mengajarkan tidak adanya paksaan dalam beragama, tapi yang tidak sealiran dianggapnya kafir. Sampai-sampai Ada istilah halal darahnya. Islam mengajarkan kebersihan bagian dari iman, kita masih jauh dari budaya itu. Islam mengajarkan sesama Muslim bersaudara, namun ada yang semena-mena menyakiti saudara. Kenyamanan dan hak hidupnya seenaknya dirampas. Mereka tampil seolah-olah sebagai pemilik tunggal klaim tentang kebenaran. Islam mengajarkan kasih sayang seperti yang dicontohkan oleh perilaku Nabi Muhammad SAW, tapi teladan Rasulullah itu dikhianati dengan menampilkan wajah Islam yang garang. Kalimat Allah Maha Besar (Allahu Akbar) yang di dalamnya terkandung perlindungan dari yang kuat kepada si lemah, bukannya menyejukkan. Sekelompok umat yang membawa nama agama dan meneriakkan kalimat suci Allahhu Akbar kerap melakukan penyerangan. Islam telah didistorsi. Karena itu Islam kemudian memiliki jarak antara nilai-nilai luhur yang dikandungnya dengan Islam dalam realitas. Pertanyaannya adalah, dimana mereka sembunyikan ajaran Islam tentang tidak adanya paksaan dalam agama itu? Dimana mereka simpan rapat-rapat sabda suci bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk memperbaiki akhlak? Atau apakah mereka sudah membuang jauh-jauh kisah-kisah lembut Rasulullah saat dilempar batu atau kotoran hewan oleh orang yang tidak suka, namun ketika si pembenci Nabi itu sakit, Nabi justru menjenguknya? Melihat peristiwa-peristiwa yang dialami kaum Syiah, kaum Ahmadiyah ataupun penganut agama di luar Islam yang mengalami tekanan dalam melaksanakan ibadah, buku kumpulan pemikiran cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid (Cak Nur) ini menjadi begitu penting. Apalagi secara kuantitatif, kekerasan atas nama agama selama ini cukup tinggi. "The Wahid Institute" menyebutkan bahwa praktik intoleransi sepanjang 2013 yang dialami kelompok agama minoritas, seperti Ahmadiyah, komunitas Kristen, dan mereka yang dituduh sesat, sebanyak 245 kasus. Cak Nur mengemukakan bahwa setiap pribadi manusia dalam pandangan Islam adalah berharga, seharga kemanusiaan sejagat. Karenanya, "Barang siapa merugikan manusia, seperti membunuhnya tanpa alasan yang sah, maka bagaikan merugikan atau membunuh seluruh umat manusia." Buku berjudul "@FileCaknur: Banyak Jalan Menuju Tuhan" yang diterbitkan pertama kali pada Juni 2013 oleh Imania dan penerbit Paramadina dengan penyunting Budhy Munawar-Rachman dan Elza Peldi Taher ini mengingatkan kembali betapa pemikiran Cak Nur masih sangat relevan hingga kini, bahkan jauh ke depan. Dalam buku setebal 330 halaman ini Cak Nur yang merupakan pendiri dan rektor pertama Universitas Paramadina Jakarta berbicara tentang Islam yang seharusnya menyejukkan dan Islam yang selayaknya diselimuti jiwa toleran pada diri umatnya. Bagi Cak Nur yang lahir pada Jumat legi, 17 Maret 1939 dan meninggal pada 29 Agustus 2005 itu, Islam dan toleransi sudah merupakan suatu kesatuan organik. (halaman 284). "Dalam kitab Suci dengan jelas diungkapkan bahwa salah satu efek terpenting ibadah adalah solidaritas sosial. Bahkan ditegaskan, ibadah bukan saja sia-sia dan tidak akan membawa kepada keselamatan, malahan terkutuk oleh Tuhan sekiranya tidak melahirkan solidaritas sosial," demikian pria keturunan Madura, kelahiran Jombang, Jawa Timur, ini melanjutkan. Atau, kata dia, pengakuan berketuhanan tidak mempunyai nilai apa pun sebelum disertai dengan tindakan-tindakan nyata dalam kerangka kemanusiaan. Di halaman 305, Cak Nur mengungkapkan sesuatu yang cukup menarik mengenai toleransi yang ia kutip dari seorang orientalis (tidak disebutkan namanya). Si orientalis itu mengataan bahwa Islam makin dekat dengan zaman keemasannya makin toleran, dan makin jauh dari zaman keemasannya makin tidak toleran. Tesis kedua adalah, orang Islam makin dekat dengan pusatnya makin toleran, makin jauh dari pusatnya makin tidak toleran. Barangkali maksud dari kata "pusat" itu adalah nilai-nilai dasar yang dibawa Islam untuk kemaslahatan kemanusiaan. Pada ulasan lain Cak Nur mengemukakan bahwa bila dalam masyarakat ada kelompok-kelompok yang menajiskan kelompok yang lain, itu suatu indikasi yang jelas bahwa mereka mengikuti suatu sistem kultus. Suatu sistem tiranik pikiran dan tiranik ajaran. Justru agama kita melawan semuanya itu. Perilaku kelompok-kelompok pemonopoli kebenaran itu tampaknya belum menyadari betul bahwa sikap tiranik yang mereka tampilkan itu justru jauh dari kebenaran yang dibawa oleh Islam. Namun, sebagaimana kata Cak Nur, jika seseorang berbuat jahat, namun ia merasa perbuatannya bukan kejahatan, maka itu merupakan kebangkrutan ruhani. (halaman 56). Membaca buku ini tidak melelahkan. Ibarat toko aneka kebutuhan, kita bisa memilih sendiri tanpa terikat oleh alur satu bab yang panjang. Bahkan satu ulasan hanya berisi dua hingga tiga alinea karena buku ini memang merupakan kepingan-kepingan pemikiran Cak Nur yang kemudian disebarkan lewat kicauan twitter dengan akun @FileCaknur. Kicauan di Twiter yang digawangi oleh para pengagum pemikiran Cak Nur itu diambil dari 22 buku tulisan Cak Nur. Kelebihan buku ini sekaligus bisa menjadi kekurangannya, jika dibaca sepotong-potong. Materinya kadang melompat, dari masalah ketuhanan tiba-tiba bicara sosial politik atau masalah pendidikan. Ada juga yang cuplikan tulisan rentan menimbulkan salah paham karena tidak diikuti dengan ulasan yang lebih panjang. Misalnya ketika menyebut Mazhab Hanbali di Jazirah Arabia, menganggap haram perayaan memperingati hari lahir (maulid) Nabi, karena mengesankan pemujaan kepada beliau. Ini bisa mengesankan seolah Cak Nur menentang perayaan Maulid Nabi. Padahal sebagaimana diungkapkan Emha Ainun Nadjib, budayawan Muslim asal Jombang juga, Cak Nur adalah pribadi yang gemar membaca shalawat yang biasanya dilantunkan saat peringatan Maulid. Ahmad Gaus AF dalam buku "Api Islam Nurcholish Madjid" mengemukakan bahwa setiap acara wisuda di Universitas Paramadina selalu ada tradisi shalawatan. Contoh lain adalah, Cak Nur di halaman 5 menyebut Saudi Arabia melarang kesufian karena dianggap menyimpang atau bid'ah dari ajaran yang benar. Untung lah di buku ini Cak Nur segera memberikan "pembelaan" di halaman berikutnya bahwa tasauf dengan segala manifestasinya dalam tarekat-tarekat, pada prinsipnya adalah hasil ijtihad dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah. Lepas dari itu, di buku ini tidak hanya bicara masalah, tapi juga melontarkan jalan keluar yang bisa dirangkum dalam kalimat "banyak jalan menuju Tuhan". Salah satu jalan itu, adalah ketika Cak Nur mengupas gejala "fundamentalisme Islam" dari sudut konteks sosial politik. Ia menyebut bahwa gejala itu bukanlah masalah keagamaan murni (meskipun dengan mengibarkan agama), melainkan masalah sosiologis-politis saja. Solusinya, kata dia, umat Islam harus secara meluas mengadakan dialog-dialog antara sesama pemeluk, dengan masyarakat pemeluk agama lain, dan dengan lingkungan yang lebih luas. Kata dia, jika mungkin, dialog itu dilaksanakan atas dasar beberapa titik temu dalam ajaran, dan jika tidak mungkin, maka cukup atas dasar titik temu dalam pengalaman nyata. Atau kita bisa menyimak dan meresapi dua pernyataan pria yang aslinya bernama Abdul Malik dan baru pada usia enam tahun diubah menjadi Nurcholish Madjid ini. "Seorang Muslim haruslah sekaligus juga seorang humanis, seorang yang percaya kepada nilai-nilai kemanusiaan." Bagi Cak Nur puncak dari semua itu adalah, "Kemenangan Islam harus merupakan kebahagiaan bagi setiap orang, malah setiap makhluk". (*)
Resensi Buku - Banyak Jalan Menuju Tuhan
Selasa, 28 Oktober 2014 1:58 WIB