Berwisata Sehari di Makassar
Jumat, 17 Oktober 2014 9:20 WIB
Ibu Kota Sulawesi Selatan ini, Makassar pernah menyandang nama Ujung Pandang, yang berarti di ujung (pantai) banyak tumbuh pohon pandan laut, masyarakat setempat berdialek khas kata berakhiran "n" umumnya diucapkan dengan tambahan konsonan "g" maka jadilah Ujung Pandan-G.
Berpenduduk sekitar 1,4 juta jiwa, Kota Angin Mamiri yang dihuni warga (dominan) suku Makassar dan Bugis ini mempunyai obyek wisata yang bisa dikunjungi dan dinikmati dalam seharian.
Obyek wisata tersebut Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar.
Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' Kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros.
Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.
Nama asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda.
Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Di kompleks Benteng Ujung Pandang kini terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. Sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar.
Salas satu sudut bangunan di benteng yang masih kokoh dan terawat cukup baik sebagai cagar budaya itu terdapat bekas penjara Pangeran Diponegoro. Di mana jelang ke "ruang" Pangeran Diponegoro pengunjung bisa menikmati cenderamata khas yang terbuat dari satwa laut seperti kerang-kerangan.
Setelah benteng (sekitar 100 meter sisi kiri), menyusuri pusat perdagangan lama, di mana berada Somba Opu dan Jalan Patimura, kawasan pusat oleh-oleh khas seperti beragam songket dan kain sutera, songkok gowa, kopi toraja, mutiara, minyak gosok (cap tawon), minuman markisa, beragam kudapan seperti kacang sembunyi, kacang disko, bagea, otak-otak.
Selain itu, beragama kerajinan emas dan perak, tenun khas Bugis, berbagai miniatur alat musik atau rumah adat khas Sulawesi Selatan. Harganya oleh-oleh atau cenderamata khas itu mulai puluhan ribu (kudapan) hingga jutaan rupiah (kain sutera).
Pada siang harinya, menikmati obyek wisata buatan "Trans StudiO" yang berdiri di atas lahan hasil reklamasi pantai yang berdekatan dengan Losari. Trans Studio Makassar adalah taman hiburan "indoor" terbesar ke-2 di Indonesia setelah Trans Studio Bandung.
Di atas lahan seluas 2.7 hektare, Trans Studio Theme Park menyajikan 22 wahana permainan dan bermacam bentuk hiburan yang terdapat dalam empat kawasan dengan tema yang berbeda dan unik. Para pengunjung dapat merasakan bagaimana menjadi seorang bintang di depan kamera serta menjadi orang – orang di belakang layar dari tayangan – tayangan favorit Trans TV dan Trans7, seperti Dunia Lain, Jelajah, X-travaganza.
Dengan tiket masuk Rp100 ribu hari biasa dan Rp150.000 perorang pada akhir pekan (hari libur) bisa menikmati sepuasnya beragam wahana tersedia. Di Komplek taman hiburan ini juga menyatu pusat perbelanjaan modern.
Jelang petangnya, menikmati Sang Surya jelang keperaduan di Pantai Losari dengan masjid terapungnya, pantai yang terletak di sebelah barat Kota Makassar. Pantai ini menjadi tempat bagi warga setempat untuk menghabiskan waktu pada pagi, sore dan malam hari menikmati pemandangan matahari tenggelam yang sangat indah.
Dahulu, pantai ini dikenal dengan pusat makanan laut dan ikan bakar di malam hari (karena para penjual dan pedagang hanya beroperasi pada malam hari), serta disebut-sebut sebagai warung terpanjang di dunia (karena warung-warung tenda berjejer di sepanjang pantai yang panjangnya kurang lebih satu kilometer).
Salah satu penganan khas Makassar yang dijajakan di warung-warung tenda itu adalah pisang epe (pisang mentah yang dibakar, kemudian dibuat pipih, dan dicampur dengan air gula merah. Paling enak dimakan saat masih hangat).
Saat ini warung-warung tenda yang menjajakan makanan laut tersebut telah dipindahkan pada sebuah tempat di depan rumah jabatan Wali Kota Makassar yang juga masih berada di sekitar Pantai Losari.
Untuk isi perut, wisatawan tidak perlu khawatir, karena di sana terdapat pusat kuliner di sekitar Pantai Losari, dengan makanan khas seperti coto makassar dan aneka masakan ikan laut, goreng, pepes, bakar, hingga pepesan telur ikan maupun otak-otak.(*)