Tunduk pada Hukum
Jumat, 22 Agustus 2014 7:36 WIB
Hiruk pikuk politik dan berbagai analisa kerap bermunculan sebelum majelis hakim Mahkamah Konstitusi menyampaikan putusan terhadap gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) yang dilayangkan oleh pasangan capres dan cawapres nomor urut 1.
Namun, apapun pendapat dan klaim kedua kubu pihak, baik kubu Prabowo-Hatta (nomer 1) maupun Jokowi-JK (nomer 2) terkait sengketa pilpres, tetap saja putusan ada di tangan sembilan majelis hakim MK yang memutuskan perkara tersebut.
Di tangan lembaga pengawal konstitusi itulah, keputusan akhir dari sengketa Pilpres 2014 itu dinantikan publik guna mengakhiri ketidakpastian hukum dan politik, karenanya putusan MK itu diharapkan benar-benar adil dan jujur demi penegakan konstitusi di negara tercinta.
Saat yang ditunggu-tunggu publik akhirnya tiba pada Kamis (21/8) tepat pukul 14.30 WIB, putusan yang ditunggu masyarakat Indonesia akhirnya dibacakan oleh majelis hakim secara bergantian dan hasilnya MK memutus untuk menolak permohonan PHPU Presiden 2014 yang diajukan oleh pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
MK mengungkapkan bahwa seluruh dalil dan bukti pemohon yang menyatakan terjadi pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) pada Pilpres 9 Juli 2014 tidak terbukti, sehingga putusan tersebut menguatkan keputusan KPU untuk pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang Pilpres 2014.
Dengan ditetapkannya putusan MK tersebut, maka perjalanan pemilu sudah selesai dengan keputusan MK yang sama dengan KPU bahwa pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2014-2019.
Putusan itu juga menguatkan hasil rekapitulasi suara KPU yakni pasangan Jokowi-JK meraih sebanyak 71.107.184 suara (53,19 persen) yang unggul di 23 provinsi, sedangkan pasangan Prabowo-Hatta meraih 62.578.528 suara (46,81 persen) dengan kemenangan di 10 provinsi.
Sementara itu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) membacakan putusannya yakni menetapkan sembilan orang anggota KPU dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) terbukti melanggar kode etik berat.
Apapun keputusan yang dibacakan oleh Ketua MK Hamdan Zoelva dan kawan-kawan tentu tidak bisa menguntungkan dan memuaskan kedua belah pihak, sehingga ada pihak yang diuntungkan dan sebaliknya ada pihak yang dirugikan.
Sementara putusan DPKK tersebut tentu menjadi catatan yang harus diperhatikan oleh penyelenggara pemilu, agar pesta demokrasi yang digelar setiap lima tahun sekali bisa lebih baik dan kualitas pemilu juga semakin meningkat.
Sebagai warga negara yang baik, termasuk pihak penggugat dan tergugat yang berada di wilayah negara hukum Indonesia, tentunya harus menghormati keputusan MK yang merupakan peradilan terakhir, final, dan mengikat.
Sudah sepatutnya semua pihak harus menerima dengan besar hati keputusan MK tersebut dan menghormati proses hukum, sehingga tidak perlu ada keributan dan tak perlu ada panitia khusus pilpres lagi karena keputusan MK bersifat final dan mengikat.
Keputusan tersebut tak bisa digugat oleh siapa pun dan di lembaga peradilan mana pun, sehingga semua pihak harus legowo untuk menerima putusan tersebut dan sekarang saatnya "move-on" untuk menanti kinerja pemerintahan baru yang dipimpin Jokowi-JK, karena masih banyak persoalan yang dihadapi rakyat Indonesia.
Ya, dunia bukanlah sorga, karenanya pastilah tidak mungkin berharap kesempurnaan, tapi dunia membutuhkan ketertiban, karenanya tunduk pada hukum merupakan harga mati untuk mewujudkan ketertiban yang tidak sempurna itu. Jangan buang waktu untuk mengharapkan kesempurnaan, tapi bergotong royonglah untuk membangun republik tercinta ini... (*).