Surabaya (Antara Jatim) - Harapan petani tebu dan produsen dalam negeri untuk mendapatkan harga gula yang bagus seperti musim giling 2012 dan 2013, agaknya sulit terwujud pada tahun ini. Gejala itu setidaknya sudah mulai terlihat pada awal musim giling tahun ini, ketika harga yang terbentuk dari tender di sejumlah pabrik gula hanya berada di kisaran angka Rp8.300 hingga Rp8.500 perkilogram. Seperti tender yang dilakukan oleh PT Perkebunan Nusantara XI (Persero) di Surabaya pada Selasa (17/6). Tender sebanyak 6.000 ton gula itu dihadiri sedikitnya 13 dari 26 perusahaan yang diundang perseroan. Harga penawaran tertinggi yang diberikan peserta tender hanya sebesar Rp8.377,60 per kilogram. Angka tersebut hanya beda tipis dari harga patokan petani (HPP) yang ditetapkan pemerintah beberapa waktu sebelumnya sebesar Rp8.250 per kilogram. Akan tetapi, tawaran itu masih jauh di bawah biaya produksi, yang menurut perhitungan Dewan Gula Indonesia sekitar Rp8.791 perkilogram. "Karena belum sesuai dengan harga perhitungan sendiri, sebanyak 6.000 ton gula tersebut tidak jadi dilepas dan tender dinyatakan batal," kata Sekretaris Perusahaan PTPN XI Adig Suwandi di Surabaya, Kamis. PTPN XI merupakan salah satu BUMN perkebunan dengan bisnis utama gula dan saat ini mengelola sebanyak 16 pabrik gula yang tersebar di beberapa daerah di Jawa Timur. Dari lelang gula di tempat lain, yakni di Pabrik Gula Madukismo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, pada Senin (16/6), harga yang terbentuk masih sedikit lebih baik dibanding di PTPN XI. Sebanyak 646,66 ton gula milik petani hasil produksi tahun 2014 dihargai Rp8.506 perkilogram. Sedangkan pada saat yang bersamaan, tender sebanyak 1.200 ton gula petani di Pabrik Gula Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, terbentuk harga penawaran tertinggi Rp8.530 per kilogram. "Stabil rendahnya harga gula pada awal musim giling tahun ini tidak lepas dari masih banyaknya stok hasil giling 2013 yang menumpuk di sejumlah gudang pabrik gula, baik gula milik pabrik sendiri maupun milik pedagang yang dititipkan," ujar Adig. Hingga kini, setidaknya masih terdapat sekitar 800.000 ton gula hasil giling 2013 yang belum terjual. Jumlah itu dipastikan membengkak dengan tambahan produksi tahun ini dan berpotensi tidak dilepas jika harga tak kunjung membaik. Minimnya harga penawaran tender bisa jadi dipicu oleh rendahnya harga gula dunia dalam beberapa waktu terakhir. Apalagi, perusahaan atau pedagang selalu menjadikan harga gula dunia sebagai referensi saat melakukan penawaran. Mengutip transaksi di Bursa Berjangka London pada awal pekan ini, harga gula dunia untuk pengapalan bulan Agustus 2014 berkisar 460-470 dolar AS perton FOB (harga di negara asal, belum termasuk biaya pengapalan dan premium). Jika sampai di gudang pelabuhan di Indonesia, harga gula impor tersebut hanya sebesar Rp7.600 per kilogram atau jauh lebih murah dari harga gula lokal. Kondisi harga gula lokal saat ini sangat kontras dibanding yang terjadi dalam dua musim giling sebelumnya (2012 dan 2013), di mana petani dan produsen bisa tersenyum karena harganya sangat bagus. Berdasarkan catatan Antara, harga tender gula pada musim giling 2012 sempat mencapai di atas Rp11.000 per kilogram, sekaligus menjadi rekor tertinggi dalam satu dasawarsa terakhir. Kendati berangsur turun, harga terbentuk masih berada di atas Rp9.000 per kilogram. Sementara pada musim giling 2013, harga tender gula masih lumayan bagus dengan kisaran Rp9.000 hingga Rp9.700. Melihat fenomena yang terjadi di lapangan saat ini, agaknya cukup sulit harga gula pada giling tahun ini akan bisa bagus seperti 2012 dan 2013. Bahkan, tidak menutup kemungkinan kalangan petani tebu dan produsen gula mengalami kerugian akibat harga yang cenderung rendah, sementara ongkos produksi yang mereka keluarkan terus mengalami kenaikan. Produksi gula nasional dari hasil penggilingan tebu pada 2014 diperkirakan naik dibanding tahun lalu, kendati ketidakpastian kondisi iklim dan harga gula dalam negeri masih tetap membayangi. Asosiasi Gula Indonesia (AGI) menyebutkan produktivitas tebu pada giling kali ini kemungkinan sedikit turun, tetapi rendemen (kadar gula dalam tebu) diperkirakan mengalami kenaikan kendati tidak setinggi tahun 2012. Luas areal budidaya tebu mencapai 472.792 hektare, jumlah tebu digiling sebanyak 26.182.325 ton dan gula yang dihasilkan lebih kurang 2.927.486 ton. Adapun produktivitas tebu diproyeksikan 76,5 ton per hektare dengan rendemen 8,09 persen dan hablur 6,2 ton perhektare. Data Dewan Gula Indonesia (DGI) mencatat sentra produksi gula masih terpusat di Pulau Jawa, dengan rincian luas areal budidaya tebu 305.302 hektare, jumlah tebu digiling 23.381.748 ton dan gula dihasilkan 1.870.890 ton. Sementara di luar Jawa, luas areal budidaya tebu sekitar 157.490 hektare, jumlah tebu digiling 22.800.577 ton dan gula dihasilkan 1.056.596 ton. Benahi tata niaga Belum adanya kepastian atau jaminan soal harga gula selalu terjadi setiap tahun. Apalagi, pemerintah selaku regulator juga cenderung belum memberikan perlindungan kepada petani melalui kebijakan-kebijakan yang diterbitkan. Semisal soal HPP, kalangan petani tebu dan DGI mengusulkan sebesar Rp9.500 perkilogram pada musim giling tahun ini, tetapi pemerintah melalui Kementerian Perdagangan hanya "berani" menetapkan HPP sebesar Rp8.250 perkilogram. Besaran HPP gula 2014 tersebut hanya naik Rp150 dari tahun sebelumnya yang ditetapkan sebesar Rp8.100 perkilogram. Menurut Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, berdasarkan surat dari Kementerian Pertanian pada 8 April 2014 menyebutkan bahwa rendemen gula pada tahun ini dipatok sebesar 8,07 persen, sehingga dengan rendemen tersebut, ditetapkan biaya pokok produksi (BPP) sebesar Rp7.892 perkilogram. "Dengan dasar itu dan semua pertimbangan, maka kami merasa adanya keberpihakan pada petani untuk memberikan keuntungan bagi mereka di atas BPP sebesar Rp350 perkilogram," kata Lutfi. Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil menyebut penetapan HPP sebesar Rp8.250 perkilogram menjadi salah satu bukti bahwa pemerintah belum berpihak kepada petani. "Meskipun harga gula diserahkan kepada mekanisme pasar melalui lelang, tapi petani tetap membutuhkan jaminan kepastian harga yang layak dan menguntungkan. Apalagi, ongkos produksi juga sudah naik," katanya. Selain soal HPP, Arum Sabil juga mengkritik sikap pemerintah terkait tata niaga impor gula yang cenderung longgar sehingga banyak gula impor, termasuk gula rafinasi untuk bahan baku industri makanan dan minuman, yang membanjiri pasar eceran. Menurut ia, kebijakan impor gula seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri dan tidak berdasarkan pada kapasitas pabrik gula yang ada. "Kebutuhan gula di Indonesia sekitar empat juta ton pertahun dan kebutuhan untuk rumah tangga berupa gula kristal putih sebanyak 2 juta ton," ujarnya. Dengan estimasi produksi dalam negeri sekitar 2,5 juta ton, sebenarnya kebutuhan gula untuk rumah tangga sudah cukup, bahkan surplus 500 ribu ton. Sementara kekurangan untuk kebutuhan industri bisa melalui impor. "Kalau mengacu kepada kebutuhan, impor gula setidaknya hanya 1,5 juta ton. Namun, mengacu pada tahun 2013, tercatat impor gula mencapai 3,5 juta ton, bahkan kenyataan di lapangan impor yang dilakukan hingga mencapai 5,5 juta ton," ungkap Arum Sabil. Ia menambahkan kebijakan pemerintah yang melakukan impor gula berlebihan karena mengacu pada kapasitas pabrik gula, menyebabkan gula produksi dalam negeri tidak terserap pasar dan petani tebu terkena dampaknya. "Gula mentah (raw sugar) dan 'white sugar' impor seharusnya tidak dijual di pasaran untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Gula impor seharusnya hanya digunakan untuk industri makanan dan minuman, serta pabrik gula yang membutuhkan campuran gula mentah," paparnya. Arum Sabil mensinyalir berdirinya sejumlah pabrik gula baru terkesan dijadikan alat untuk mempermudah impor gula ke dalam negeri. Dalam catatan APTRI, saat ini sudah ada delapan pabrik gula baru yang membutuhkan gula mentah, sehingga hal ini yang menyebabkan gula impor membanjiri sejumlah wilayah Indonesia. "Kami tidak melarang pemerintah melakukan kebijakan impor gula, asalkan tata niaganya diperbaiki dan gula impor (rafinasi) tidak boleh untuk rumah tangga, karena dapat berdampak pada tidak terserapnya gula petani di pasaran," tegas Arum Sabil. (*)
Harga Gula Rendah, Petani dan Produsen Resah
Kamis, 19 Juni 2014 22:24 WIB