Pengacara: Kasus Mantan Bupati Trenggalek Berpotensi Konflik Hukum
Sabtu, 22 Maret 2014 8:49 WIB
Trenggalek (Antara Jatim) - Kuasa hukum Soeharto mantan Bupati Trenggalek, Jawa Timur, periode 2005-2010 mengisyaratkan adanya potensi konflik hukum atas tuduhan korupsi atau penyalahgunaan wewenang oleh kliennya dalam proyek pipanisasi senilai Rp7 miliar di Kecamatan Bendungan pada 2007.
"Kami melihat ada ketidaksinkronan antara hasil audit BPKP yang kini dipegang jaksa penyidik (seksi pidana khusus) dengan kasus perdatanya (obyek sama) yang kasusnya sampai kini masih tahap banding," kata Athoillah, kuasa hukum Mantan Bupati Trenggalek Soeharto, Sabtu.
Dalam persangkaan jaksa penyidik, Soeharto dinilai bertanggung jawab atas penyalahgunaan anggaran penyertaan modal PDAM Trenggalek senilai Rp750 juta dari total Rp4,5 miliar yang dialokasikan dalam APBD 2007.
Anggaran itu digunakan untuk keperluan pembangunan jalan lintas di sepanjang jalur proyek pipanisasi senilai Rp8 miliar menggunakan dana APBN di Kecamatan Bendungan.
Menurut Athoillah, besaran dana/anggaran untuk pembukaan dan pembangunan jalan lintas pada proyek pipanisasi inilah yang berpotensi terjadi konflik hukum.
Sebab, kata dia, sebelum dilakukan serangkaian penyelidikan dan penyidikan dugaan korupsi oleh Kejaksaan Negeri Trenggalek, pengadilan terlebih dulu memproses gugatan perdata yang diajukan kontraktor pelaksana pembangunan jalan lintas tersebut yang meminta penambahan pembayaran senilai Rp1,2 miliar.
Gugatan perdata ini, jika putusannya dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jatim, mala nilainya lebih besar Rp450 juta dibanding angka yang disebut jaksa tindak pidana korupsi Kejaksaan Negeri Trenggalek, yakni Rp750 juta.
"Putusan perdata sebelumnya memenangkan penggugat (kontraktor) dan sekarang masih proses banding. Kalau mereka menang lagi dan PDAM diharuskan membayar kekurangan yang Rp450 juta, berarti ada perbedaan materiil antara putusan pengadilan dengan dakwaan/tuntutan jaksa di pengadilan tipikor nanti," jelasnya.
Padahal, jika mengacu hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan Negara (BPKP) yang digunakan Kejaksaan Negeri Trenggalek dalam kasus dugaan korupsi,
dana penyertaan modal yang terserap untuk pembangunan jalan lintas adalah Rp750 juta.
Dari nominal itu, kerugian negara akibat kebijakan pembangunan jalan lintas disebutkan mencapai Rp450 juta.
"Ini yang nantinya bisa membuat kebingungan bagi para pihak yang berperkara dalam kasus ini, terutama PDAM dan para tersangkanya. Di satu sisi, jika putusan banding kembali kalah, PDAM diharuskan membayar kekurangan dana proyek, sementara di sisi lain para tersangka juga diwajibkan mengembalikan uang yang hilang akibat tindak pidana korupsi," jlentrehnya.
Menilik dua proses yang sedang berjalan tersebut, Athoillah menilai kasus yang ditangani Kejaksaan Trenggalek berpotensi cacat hukum.
Apalagi, dasar persangkaan terhadap Mantan Bupati Soeharto dinilai lemah.
Kebijakan pembangunan jalan lintas di sepanjang jalur pembangunan pipanisasi PDAM memang atas rekomendasi bupati saat itu, tetapi penggunaan anggaran yang bersumber dari penyertaan modal pemkab menjadi otoritas dan tanggung jawab internal manajemen PDAM.
"Anggaran penyertaan modal itu baru ditransfer ke rekening PDAM setelah ada perdanya. Pos-pos penggunaan anggaran penyertaan modal kemana saja dan untuk apa saja, itu kewenangan mereka (PDAM)," jelasnya.
Mengenai penunjukkan kontraktor yang disebut tidak melalui prosedur lelang, Athoilah menyatakan kliennya mengaku tidak tahu-menahu.
Proses pertemuan antara kontraktor dilakukan langsung oleh perwakilan manajemen PDAM dengan rekanan bersangkutan, tanpa intervensi ataupun campur tangan bupati.
"Kalau berdasar pengakuannya (Soeharto), ia tidak tahu-menahu soal proses lelang. Tapi ia memang sempat tahu soal itu," tambahnya.
Versi kejaksaan, kasus penyelewengan uang negara terjadi pada tahun 2007. Saat itu, Pemkab Trenggalek mendapat dana program pipanisasi yang bersumber dari APBN sebesar Rp8 miliar.
Pelaksanaan program pipanisasi tersebut mensyaratkan disediakannya dana pendamping dari APBD yang kemudian disetujui sekitar Rp750 juta.
Adianto menambahkan perbuatan melawan hukum terjadi ketika proyek fisik yang berjalan tidak melalui prosedur tender, karena tersangka Suharto memilih menunjuk rekanan yang merupakan koleganya.
Kasi Intel Kejari Trenggalek Indi Premadasa mengatakan, dalam kontrak kerjasama antara pemkab dan rekanan tersebut juga tidak menyebut nilai pekerjaan.
Alokasi anggaran baru ditetapkan setelah proyek selesai dikerjakan. Selain itu, nilai proyek yang terealisasi diduga telah digelembungkan.
"Penetapan tersangka baru ini merupakan hasil dari pengembangan penyidikan, "jelasnya.
Secara teknis, penyidik kejaksaan membagi penanganan kasus ke dalam empat berkas perkara. Kecuali berkas tersangka Suharto, tiga berkas tersangka sebelumnya telah siap dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya. (*)