Advertorial
Kota Surabaya Pertahankan Tradisi Sebagai Penghasil Pertanian
Jumat, 14 Februari 2014 15:38 WIB
Hasil Panen Kelurahan Made Tembus Hingga Luar Jawa
Sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta, Surabaya selama ini identik sebagai kota jasa dan perdagangan. Wajah Kota Surabaya dipenuhi gedung-gedung perkantoran yang menjulang dan perumahan-perumahan elit sebagai pertanda berdenyutnya investasi disegala sektor. Namun, di tengah modernisasi kota dan menyempitnya lahan pertanian, sektor pertanian di Surabaya nyatanya masih bisa hidup, bahkan menghidupi warga.
Adalah warga di Kelurahan Made, Kecamatan Sambikerep, yang berhasil menjalankan konsep bertani di perkotaan dengan memaksimalkan lahan sawah yang tersisa dan pekarangan. Sejak tahun 2009 , sejumlah hasil pertanian seperti tomat, sawi, cabai, pare dan juga melon dipanen oleh kelompok tani (Poktan) di Kelurahan Made. Hasil pertanian para petani Kelurahan Made sudah dipasarkan ke luar propinsi, bahkan hingga ke luar Jawa.
Seperti pada Minggu (9/2/2014), Walikota Surabaya, Tri Rismaharini bersama Poktan Kelurahan Made, memanen hasil tani di lahan seluas dua hektar. Dibawah terik matahari, Walikota Risma bersama Kepala Dinas Pertanian (Distan) Sigit Sugiharsono dan Kabag Humas Pemkot Surabaya, Muhamad Fikser, antusias turun ke lahan pertanian. Tak butuh waktu lama, sebanyak dua ton tomat langsung dimasukkan ke keranjang. Tomat-tomat segar berwarna merah tersebut siap dipasarkan. Setelah memanen tomat, Walikota Risma beralih ke lahan melon dan cabai. "Ini tinggal dipetik dan dipasarkan," tegas Walikota Risma.
Menurut walikota, area pemasaran hasil tani Poktan Kelurahan Made kini semakin meluas. Daerah pengiriman yang sudah pasti yakni ke Tarakan, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan dan juga Jawa Barat. Pemkot Surabaya juga memberikan penyuluhan mengenai pola pemasaran. "Kami sudah komunikasikan dengan pemerintah setempat untuk pemasaran hasil panen ini," sambung Walikota Risma. Walikota berharap, para petani punya kemauan besar untuk mempertahankan lahan pertaniannya, meskipun tidak luas. "Meski minim, jika dirawat dengan baik, lahan akan menghasilkan buah dan sayur yang bagus," sambung walikota yang telah membawa Surabaya meraih puluhan penghargaan bergengsi di level nasional dan internasional ini. Imbauan walikota diamini Kepala Distan Kota Surabaya, Sigit Sugiharsono.
Dia berharap petani di Kelurahan Made masih mempertahankan lahannya untuk bertani. Apalagi, beberapa lahan di sana sudah dibeli pengembang. Distan sudah membuat persetujuan antara petani dan pengembang bahwa jika lahan masih dimanfaatkan petani, lahan tidak diperbolehkan alih fungsi sebagai perumahan. "Kami optimistis petani masih bisa hidup di Surabaya. Beberapa warga sudah bisa memanfaatkan pekarangansebagai lahan menanam sayur, meski masih ada petani yang masih menyukai bertanam di sawah," jelas Sigit. Menurut Sigit, petani Made selama ini sudah mandiri dalam mengolah lahan pertanian mereka menjadi subur dan produktif.
Namun, Distan Kota Surabaya tidak melepas mereka begitu saja. Distan intensif memberik pendampingan berupa pelatihan pembuatan pupuk organic dan pengenalan teknologi pertanian melalui Petugas Penyuluh Lapangan (PPL). Personel PPL inilah yang jadi ujung tombak bagi Distan Kota Surabaya untuk memonitor langsung kondisi riil dan juga problem yang dihadapi para petani. "Setelah melakukan pelatihan selama dua minggu, kita juga mengajak para petani Kelurahan Made bersama petani di Pakal dan Bangkingan ke Jombang dan Pare melihat hasil pertanian di sana. Istilahnya, kita mengajak mereka studi banding," tegasnya. Diakui Sigit, pekerjaan rumah ke depan adalah menghidupkan kemungkinan agar para petani bisa memanen hasil pertaniannya lebih sering dibanding sekarang.
Selama ini, masa panen petani di Made hanyalah ketika curah hujan cukup. Namun, ketika musim kemarau panjang, petani sulit memanen karena tanaman kekurangan air. "Petani di sana juga sudah membuat embung-embung (wadah penampungan air) kecil. Nanti kita akan suplai airnya," jelas Sigit. Distan juga akan menggandeng Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) untuk tahu analisa detail tentang perkiraan kapan musim hujan tahun depan dimulai. Menurutnya, jika bisa mengetahui perkiraan kapan datangnya musim hujan, petani akan sangat terbantu. "Para petani bisa menentukan kapan dimulainya titik tanam dan masa panennya," jelas dia.
Sigit optimistis, di tengah arus modernisasi yang terus merangsek ke segala penjuru kota, Surabaya akan tetap mampu mempertahankan tradisi sebagai kota penghasil pertanian yang layak dibanggakan."Harus kita pertahankan status Surabaya sebagai kota penghasil pertanian. Apalagi, pasar wisata pertanian di beberapa lokasi sudah jalan, meski masih ketika musim panen saja," jelas dia.Ketua Kelompok Tani (Poktan) Sendang Biru Kelurahan Made, Karnoto mengapresiasi kepedulian Pemkot Surabaya kepada petani Made. Menurutnya, selain bimbingan, Pemkot juga telah membukakan jalan bagi petani Made untuk memasarkan hasil pertaniannya.
Meski, para petani Made juga piawai membangun jaringan melalui pertemanan baik di dunia nyata maupun di dunia maya dengan memanfaatkan jejaring sosial. Teman-teman baru itulah yang diakui Kartono mampu membukakan jalan dalam dunia bisnis. Seperti pemasaran cabai ke Tangerang tepatnya di Tanah Tinggi, melon ke Tarakan. Sekali panen, Kartono menyebut per seribu batang tomat bisa mencapai Rp 15 juta. "Pemkot Surabaya juga sangat membantu.Pas bu wali ikut memanen, harga tomat yang awalnya rendah, mengalami kenaikan harga," jelas Karnoto. Dijelaskan Karnoto, tomat di Kelurahan Made memiliki kualitas lebih baik dibandingkan tomat dari daerah lainnya. Poktan di Made memakai pupuk organik.
"Tomat di Made lebih awet dan tahan lama," ujarnya. Menurut Karnoto, selama ini ada beberapa tantangan yang dihadapi petani Made dalam mengembangkan produk pertanian. Diantaranya ledakan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang menjadi teror bagi tanaman seperti tomat. Normalnya, masa panen tomat sekitar 65 hari. Selama setahun, petani Made bisa memanen tomat tiga kali. "Kalau OPT di atas dua persen, kita bisa ndak panen," tegasnya. Perkembangan tomat mengikuti tren hujan yang mempengaruhi kelembapan tanah.
Hujan sangat mempengaruhi masa panen. Karenanya, Karnoto berharap ada peran dari teknologi untuk bisa menyiasati curah hujan yang tinggi. Menurutnya, sudah waktunya petani menguasai teknologi. "Kita masih belajar teknologi hidroponik dan vertigasi. Itu penting untuk menyiasati curah hujan yang ekstrem," tegas Karnoto.
Menurut Karnoto, selain tomat dan melon yang ditanam di lahan persawahan, banyak petani di Made yang juga memanfaatkan lahanpekarangannya untuk bertanam sawi, kangkung, bayam, kacang panjang, pare. Pemakaian lahan pekarangan untuk pertanian (urban farming) itu sudah dimulai warga di Made sejak beberapa tahun silam. Sejak tahun 2009 silam, Pemkot Surabaya membuat terobosan untuk memanfaatkan pekarangan dengan konsep urban farming (pertanian perkotaan). Percontohannya ada di Kelurahan Made yang memang punya sejarah sebagai daerah pertanian. (adv)