MAI: Tuntaskan Penganiayaan TKI Erwiana secara Hukum
Selasa, 14 Januari 2014 14:51 WIB
Surabaya (Antara Jatim) - LSM "Migrant Aid Indonesia" (MAI) mendesak pemerintah untuk menuntaskan kasus penganiayaan yang dialami tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Ngawi, Jawa Timur, yang bekerja di Hong Kong, Erwiana Sulistyaningsih (22), secara hukum.
"Pemerintah harus menuntaskan kasus itu secara hukum, baik KJRI untuk aspek pidana di Hong Kong maupun aparat penegak hukum untuk aspek pidana di Indonesia yang dilakukan PPTKIS," kata Direktur MAI, Moch Cholily, kepada Antara di Surabaya, Selasa.
Ia menjelaskan informasi tentang buruh migran yang pulang tanpa pendampingan dari pihak berwenang itu, awalnya beredar melalui situs jejaring sosial dalam status akun facebook Bunga Chacha, Jumat (10/1/2014).
"Akhirnya, saya menghubungi pihak UPTP3TKI dan UPTP3TKI pun menelusuri hingga diketahui bahwa buruh migran yang dimaksud bernama Erwiana Sulistyaningsih. Dia direkrut oleh PT Graha Ayu Karsa dengan agennya di Hong Kong adalah Chans Asia Recruitment Centre," ungkapnya.
Erwiana Sulistyaningsih adalah seorang TKI wanita (TKW) asal Dusun Kawis, Desa Pucangan, Kecamatan Ngrambe, Kabupaten Ngawi, yang diduga menjadi korban penganiayaan majikannya saat mengadu nasib di Hong Kong sejak 13 Mei 2013.
TKW yang bekerja di Tseung Kwan O, Hong Kong, selama delapan bulan terakhir tersebut selalu disiksa dan tidak pernah digaji, kemudian ia dipulangkan diam-diam ke Indonesia oleh majikannya dengan kondisi tubuh penuh luka.
Bahkan, gadis kelahiran 7 Januari 1991 itu sulit berjalan karena kedua kakinya luka bernanah akibat bekas pukulan dan siksaan. Erwiana berhasil pulang ke Indonesia berkat bantuan seorang TKW asal Magetan, Yanti yang menemukan korban sedang duduk termenung di Bandara Chek Lap Kok, Hong Kong.
Karena kasihan, Yanti yang juga hendak pulang akhirnya mendampingi sejawatnya itu pulang ke Indonesia melalui Bandara Adi Sumarmo, Solo, Jumat (10/1), namun karena kondisinya yang sangat lemah, maka keluarga membawa korban berobat ke Rumah Sakit Islam (RSI) Sragen, Jawa Tengah.
"Dari kronologis itu terlihat ada banyak pelanggaran hukum yang terjadi, baik di luar negeri (Hong Kong) maupun di dalam negeri (Indonesia), yakni penganiayaan, pemotongan gaji, gaji yang tidak dibayarkan sesuai ketentuan, dan indikasi tindak pidana perdagangan orang," tukasnya.
Oleh karena itu, ia mendesak PPTKIS bertanggung jawab dalam biaya pengobatan hingga korban sembuh total dan PPTKIS juga harus membiayai keberangkatan yang bersangkutan ke Hong Kong untuk melakukan penuntutan secara hukum.
"Untuk Pemerintah Indonesia melalui KJRI juga harus menyediakan pengacara handal dalam upaya hukum korban. Ke depan, KJRI juga mem-blacklist majikan untuk menerima pekerja rumah tangga Indonesia lagi agar kasus serupa tidak terulang," katanya.
Menurut dia, upaya hukum di Hong Kong tidak terbatas pada kasus penganiayaan, tapi juga aspek pemotongan gaji dan gaji yang tidak dibayarkan. "Korban pulang hanya pegang uang 100 dolar Hong Kong atau sekitar Rp150 ribu," katanya.
Untuk pemotongan gaji yang sesuai ketentuan adalah Rp15,3 juta, tapi informasinya korban dipotong gajinya sebesar 3.000 dolar Hong Kong per bulan. "Kalau korban bekerja selama delapan bulan berarti pemotongan mencapai 24.000 dolar Hong Kong atau Rp30 juta," katanya.
Pelanggaran itu bisa saja dilakukan agensi di Hong Kong, tapi bisa juga dilakukan oleh PPTKI yang memberangkatkan ke Hong Kong.
"Gaji di sana berkisar 5.000 dolar lebih, sehingga kalau dipotong 3.000 dolar berarti tinggal 2.000 dolar Hong Kong, tapi korban hanya pegang 100 dolar Hong Kong, lalu kemana sisanya," ucapnya.
Untuk aspek pidana di dalam negeri terkait dengan tidak pidana perdagangan orang. "Ada indikasi korban bukan kelahiran tahun 1991, melainkan tahun 1993, berarti ada proses penuaan yang dilakukan petugas PPTKIS di lapangan. Itu juga harus diproses pidana," katanya. (*)