KUA Se-Jatim: DPR Setujui "Payung Hukum" KUA
Minggu, 15 Desember 2013 18:25 WIB
Surabaya (AntaraJatim) - Ketua Presidium Forum Komunikasi Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) se-Jawa Timur Drs H Samsu Thohari M.HI menyatakan Komisi VIII DPR RI sudah menyetujui adanya "payung hukum" untuk pelayanan KUA di luar kantor dan di luar jam kantor.
"Komisi VIII DPR RI sudah merumuskan langkah-langkah dengan Menteri Agama untuk mendorong adanya 'payung hukum' yang segera dibicarakan dengan kementerian terkait dan penegak hukum, termasuk KPK," katanya dalam 'Forum Tabayyun ISNU Jatim' di Surabaya, Minggu.
Dalam forum "tabayyun" (klarifikasi) yang juga menampilkan peneliti Keislaman dan Kemasyarakatan Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya Dr Ma'shum Nur Muallim itu, ia mengklarifikasi aksi KUA se-Jatim terkait tuduhan gratifikasi kepada Kepala KUA Kediri.
"Aksi Kepala KUA se-Jatim itu bukan berarti kami melegalkan korupsi di lingkungan KUA, melainkan kami mendesak perlunya 'payung hukum' untuk mendukung kinerja petugas KUA se-Indonesia, sebab biaya nikah yang hanya Rp30 ribu itu jelas tidak cukup," katanya.
Ia menilai biaya sebesar itu jelas tidak cukup untuk mendukung "pelayanan" petugas pencatat nikah (PPN) yang bekerja tujuh hari dalam 24 jam. "Apalagi kalau di kepulauan, bisa jadi PPN tidak bisa bekerja, karena biaya transportasi saja bisa ratusan ribu," katanya.
Oleh karena itu, katanya, "payung hukum" untuk mendukung kinerja PPN itu harus ada agar PPN tidak disangka menerima gratifikasi. "Mungkin saja seperti tunjangan petugas pengadilan agama," katanya dalam forum yang juga dihadiri PPN dari Jombang dan Surabaya itu.
Ia mencontohkan petugas/hakim pengadilan agama yang juga memiliki tunjangan di luar gaji. "Jadi, biaya Rp30 ribu untuk PPN itu sekadar biaya pencatatan nikah, namun biaya lain-lain seperti transportasi, kerja lembur, dan tunjangan lain juga ada," katanya.
Selain itu, nilai dari tunjangan itu juga tidak harus dihitung oleh pemerintah pusat, namun berdasarkan perhitungan pemerintah daerah yang diusulkan kepada pemerintah pusat untuk dilakukan penetapan.
"Kalau disamakan ya nggak bisa, karena biaya transportasi di Jakarta dan Jatim itu beda, apalagi biaya transportasi di kepulauan," katanya dalam forum yang juga dihadiri Wakil Ketua ISNU Jatim Imam Syafii dan Sekretaris ISNU Jatim Dawud. (*)