Jakarta (ANTARA) - Film Esok Tanpa Ibu (Mothernet), yang mengangkat tema kecerdasan buatan (AI) di tengah drama keluarga, menjadi pengakuan terhadap kualitas aktor dan filmmaker asal Indonesia di kawasan Asia Tenggara.
Film yang diproduksi BASE Entertainment dan Beacon Film itu ternyata menarik kolaborator produksi dari luar Indonesia, Refinery Media, Infocomm Media Development Authority (IMDA), dan Singapore Film Commission (SFC) dari Singapura.
"Jadi ternyata ide cerita dari Indonesia ini mendapatkan pengakuan dari luar bahwa ini cerita yang sangat-sangat relevan untuk dibicarakan baik untuk keluarga Indonesia maupun dari negara manapun," kata aktris sekaligus produser, Dian Sastrowardoyo saat konferensi pers peluncuran poster dan cuplikan (trailer) film Esok Tanpa Ibu di kawasan Senayan, Jakarta, Senin.
Produser Shanty Harmayn menjelaskan tantangan utama pembuatan film ini adalah mewujudkan latar yang menggambarkan masa depan yang tidak terlalu jauh tanpa membebani anggaran.
Solusinya adalah menggunakan teknologi "virtual production" (VP) untuk sebagian syuting adegannya, meski syuting juga dilakukan secara langsung di Indonesia dan Singapura.
Shanty merekrut seorang kenalannya yang menjadi sutradara di Malaysia, Ho Wi-ding yang berpengalaman dalam pembuatan film dengan teknologi tersebut.
Wi-ding juga pernah membuat film non-bahasa Melayu sebelumnya, yang dikerjakan pada 2008 dalam bahasa Tagalog (Filipina) untuk dirilis pada 2009 bertajuk Pinoy Sunday.
"Kebetulan ketemu Wi-ding lagi dan dia sangat senang dengan skenario film Esok Tanpa Ibu. Dia bilang, wah ya udah kalau bisa bikin film pertama dalam bahasa Tagalog, saya bisa bikin film dengan bahasa Indonesia," kata Shanty mengutip obrolannya dengan Wi-ding.
Kisah Esok Tanpa Ibu berpusat pada momen dramatis saat seorang ibu yang koma bernama Laras (Dian Sastrowardoyo) kembali berinteraksi dengan keluarga dalam wujud kecerdasan buatan.
Dian menyebut dalam membuat film itu, bukan menjadi pertama kalinya ia bekerja sama dengan sutradara Malaysia. Sebelum ini, perannya dalam film berjudul "The Fox King" (2025), disutradarai Woo Ming Jin asal Malaysia.
Dalam film tersebut, Dian berperan sebagai guru bernama Lara yang hadir dalam kehidupan dua saudara kembar. Dian menekankan bahwa kerja sama lintas negara ini berjalan sangat mulus.
"Semua kolaborasi, semua kompetensi, semua terjadi dengan sangat lancar," kata Dian.
Dian mengungkapkan bahwa kelancaran proses ini terjadi karena adanya pengakuan terhadap kompetensi aktor dan filmmaker Indonesia yang dinilai sudah setara dengan standar internasional.
"Mereka senang editor sini, sama musik sini, sama aktingnya kita. Dia pokoknya kepingin lagi gitu. Nagih mereka tuh," kata Dian.
Makanya, kekuatan emosi film ini dilengkapi oleh musisi lokal. Selain lagu "Jernih" dari Kunto Aji, lajur suara yang telah ditampilkan dalam trailer film itu pun termasuk lagu "Raih Tanahmu", sebuah kolaborasi istimewa tentang kecintaan terhadap kelestarian lingkungan dari Hara (Rara Sekar) & Nosstress (duo musisi folk asal Bali).
Aktor yang berperan dalam film juga datang dari Indonesia, meskipun Bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa pengantar teknis. Selain Dian Sastrowardoyo, film turut dibintangi Ringgo Agus Rahman, Ali Fikry, Aisha Nurra Datau, dan Bima Sena.
Dian menyimpulkan, berarti yang kita perlu garis bawahi adalah bagaimana filmmaker-filmmaker Indonesia ini sudah mempunyai standar kinerja dan kompetensi yang sama baiknya dengan filmmaker yang ada di dunia manapun, di negara manapun.
Meskipun Mothernet digagas oleh penulis Indonesia (Gina S Noer, Diva Apresya, Melarissa Sjarief) dan jajaran produser film yang melibatkan nama-nama Indonesia seperti Shanty Harmayn, Aoura Lovenson Chandra, dan Dian Sastrowardoyo, cerita tentang keluarga Indonesia sanggup menarik dukungan produksi dari berbagai negara.
"Bahkan kita jadi punya co-producer-co-producer dari negara-negara lain. Kita dapat co-producer dari Singapura, ada dari Taiwan," kata Dian Sastro.
