Jakarta (ANTARA) - Gegap gempita kelolosan tim nasional Tanjung Verde ke Piala Dunia 2026, yang menjadi Piala Dunia pertama mereka sepanjang sejarah, menggema ke seantero bumi termasuk Indonesia.
Begitu meriahnya, sampai mungkin banyak yang tidak akan percaya Tanjung Verde belum memiliki lapangan sepak bola rumput setidak-tidaknya sampai tahun 1998.
Sekilas dari sana, dapat terbayang bagaimana kerasnya upaya Tanjung Verde untuk membangun tim nasional sepak bola mereka.
Benar, mereka, memang, melakukannya dari "minus". Selama bertahun-tahun, Tanjung Verde berbenah dan menjalankan rencana jangka panjang sepak bola mereka, mulai dari investasi ke pengembangan pemain muda dari akar rumput hingga pembangunan infrastruktur.
Kebangkitan sepak bola Tanjung Verde mulai terasa pada tahun 2010 saat FIFA meluncurkan program 20 Centers for 2010 di kawasan Afrika menyusul pelaksanaan Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.
Dalam program itu, FIFA menetapkan 20 tempat di Afrika untuk menjadi lokasi pembangunan Football for Hope Centers dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas hidup dan memberikan warisan kepada generasi muda melalui sepak bola serta aktivitas sosial.
Di Tanjung Verde, Football for Hope Centers berada di Kota Tarrafal. Berbekal itu, dibangunlah beberapa infrastruktur di Tarrafal seperti lapangan sepak bola berumput artifisial, bangunan untuk pendidikan, perpustakaan dan lain-lain yang diresmikan pada 2013.
Laman sportanddev.org menyebut, sekolah sepak bola yang diinisiasi FIFA di Tarrafal diikuti lebih dari 200 anak dan remaja pada tahun pembukaannya.
Sejalan dengan itu, kesadaran akan pentingnya membangun pondasi sepak bola dari akar rumput pun muncul. Masyarakat Tanjung Verde pun pelan-pelan mulai sadar potensi besar mereka di sepak bola.
FIFA pun terus melanjutkan berbagai program sepak bola akar rumput mereka di Tanjung Verde seperti via FIFA Forward (2022) dan Football for Schools (2023).
"Mereka (FIFA-red) memberikan kontribusi besar untuk perkembangan sepak bola Tanjung Verde. Proyek-proyek FIFA dibutuhkan termasuk dalam pengembangan budaya sepak bola di sini," ujar Ketua Umum Federasi Sepak Bola Tanjung Verde Mario Semedo, seperti dilaporkan CNN pada 30 Agustus 2016.
Keterlibatan FIFA yang tidak setengah-setengah di Tanjung Verde memang "membakar" semangat Federasi Sepak Bola Tanjung Verde (FCF), yang berdiri sejak tahun 1986, dan menumbuhkan mimpi di setiap sendi mereka.
FCF pun menyusun peta jalan yang berpusat pada sumber daya manusia. Bagi mereka, inti dari sepak bola adalah para pemain. Oleh sebab itu, semua rencana yang dikeluarkan berpusat pada pesepak bola.
Bakat-bakat muda disaring dari berbagai wilayah kepulauan Tanjung Verde yang luas totalnya sekitar 4.000 kilometer persegi atau kira-kira seluas Kabupaten Bantul di DI Yogyakarta.
Itu bukan persoalan mudah karena jumlah penduduk mereka hanya sekitar 500-an ribu orang yang tersebar di sembilan pulau utama negara tersebut.
Tantangan lain, Tanjung Verde sulit membangun lapangan sepak bola dengan rumput alami karena alasan iklim. Itu yang membuat nyaris semua lapangan sepak bola di sana memakai rumput artifisial termasuk stadion utama mereka, Stadion Nasional.
Akan tetapi, tidak ada yang tidak mungkin. Berbekal sokongan penuh banyak pihak, misalnya FIFA, Konfederasi Sepak Bola Afrika (CAF) dan lembaga nirlaba internasional, negara yang kemerdekaannya dinyatakan pada 5 Juli 1975 itu berbenah.
FCF menginvestasikan modalnya, dari mereka sendiri dan bantuan pihak lain, untuk mencari dan mengasah bakat pesepak bola belia, serta memekarkan renovasi berbagai infrastruktur pendukung. Lapangan-lapangan didirikan
Hasilnya, pada tahun 2013, timnas Tanjung Verde yang berjuluk Blue Sharks atau Hiu Biru untuk pertama kalinya masuk ke putaran final Piala Negara-Negara Afrika (AFCON) dan bertarung sampai perempat final. Hasil yang mengejutkan banyak orang saat itu mengingat Tanjung Verde adalah tim yang berada di peringkat 182 FIFA pada tahun 2000.
Setelah itu, Tanjung Verde bermain lagi di AFCON 2015, 2021 dan 2023, lalu gagal lolos kualifikasi untuk edisi 2025.
Berdasarkan data terbaru, Tanjung Verde bertengger di posisi ke-70 FIFA, situasi yang membuat mereka disegani di Afrika dan dunia.
"Masa depan Blue Sharks tampak cerah karena pondasi kokoh yang dibangun FCF. Kami mengubah tim nasional dari skuad yang dipandang sebelah mata menjadi patut diperhitungkan di Afrika, bahkan menjadi contoh dan inspirasi bagi asosiasi sepak bola lain. Masih banyak memang yang harus dilakukan tetapi kami yakin kami berada tidak terlalu jauh dari visi kami," kata Sekretaris Jenderal FCF Dan Merkel, seperti tertulis dalam laman CAF.
Di Tanjung Verde juga digelar liga sepak bola sebagai wadah kompetisi pemain, yang disebut The Guardian masih bersifat semiprofesional, tetapi banyak pemain potensial mereka yang berkarier di luar negeri.
Keinginan untuk mendapatkan penghasilan tinggi dan kehidupan lebih baik menjadi alasan eksodus tersebut. Apalagi, Tanjung Verde kerap dilanda kekeringan dan berbagai bencana alam.
Piala Dunia 2026
Tanjung Verde lolos langsung ke Piala Dunia 2026 dengan catatan mentereng. Dari 10 laga Grup D Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Afrika (CAF), mereka menang tujuh kali, seri sekali dan cuma takluk satu kali (23 poin), untuk mengunci posisi puncak.
Satu-satunya kekalahan mereka adalah saat bersua tuan rumah tangguh Kamerun dengan skor 1-4. Meski begitu, pada pertemuan sebelumnya di kandang Tanjung Verde, Kamerun takluk 0-1.
Kamerun berada di posisi kedua Grup D dengan 19 poin (lima menang, empat seri, satu kalah) dan harus melalui putaran kedua kualifikasi demi satu tempat di Piala Dunia 2026. Grup D, selain Tanjung Verde dan Kamerun, juga dihuni oleh Libya, Angola, Mauritius, dan Eswatini.
Dari catatan The Athletic, satu-satunya pemain timnas Tanjung Verde yang berkarier di salah satu dari lima liga top Eropa adalah Logan Costa yang merumput untuk Villareal di Liga Spanyol. Namun, Logan Costa dalam kondisi cedera sehingga tidak dapat bermain untuk timnas sejak akhir Mei 2025.
Pemain Tanjung Verde lainnya datang dari beragam liga berbeda yaitu di Portugal, Turki, Siprus, Israel, Hungaria, Bulgaria, Rusia, Finlandia, Republik Irlandia, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
The Guardian menyebut, dari 25 nama yang dipanggil untuk memperkuat tim nasional Tanjung Verde pada dua laga terakhir Grup D Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Afrika, 11 di antaranya merupakan penduduk asli dan tinggal di Tanjung Verde sementara sisanya diaspora.
Pencarian pemain diaspora dengan dua kewarganegaraan itu diungkap The Guardian terjadi sejak tahun 2002.
Berkat tangan dingin sang pelatih Pedro "Bubista" Leitao Brito, seluruh pemain timnas Tanjung Verde dapat padu. Pedro, mantan kapten tim nasional Tanjung Verde, selalu menekankan nilai-nilai budaya dan identitas negaranya ke semua pemain.
"Persatuan di antara pemain yang memiliki pola pikir dan jalan hidup berbeda hanya dapat dicapai dengan menghormati keunikan masing-masing," kata Pedro, seperti disiarkan The Guardian.
Bubista ditunjuk menjadi pelatih Tanjung Verde sejak awal 2020. Sebelum menjadi juru taktik, pria yang lahir di dan berkewarganegaraan Tanjung Verde itu memperkuat tim nasional negaranya selama 14 tahun.
Dia merajut perjalanannya sebagai pesepak bola di Angola dan Spanyol. Pelatih berusia 55 tahun itu mengawali pengalaman manajerialnya saat menjadi asisten pelatih timnas Tanjung Verde pada tahun 2007.
Para pemain Tanjung Verde sepakat bahwa Bubista merupakan pelatih yang bagus. Bek tengah Tanjung Verde Roberto "Pico" Carlos Lopes menyebut Bubista sebagai sosok pemersatu.
"Dia manajer dan pribadi yang hebat, sangat dihormati di Tanjung Verde karena kemampuannya. Dia berhasil menyatukan semua pemain yang memang ingin berjuang untuk Tanjung Verde. Dia tidak pernah memedulikan di mana anda bermain atau anda bermain dengan siapa. Yang penting adalah sikap dan bagaimana anda membaur dengan tim. Karena itulah saya memberikan segalanya untuk tim nasional," kata Pico, pemain yang lahir dan dibesarkan di Irlandia, kini memperkuat klub Shamrock Rovers di Liga Irlandia, kepada Skysports.
Langkah Tanjung Verde ke Piala Dunia 2026 tentu meninggalkan jejak yang dapat diikuti oleh banyak negara lain, termasuk Indonesia.
Perhatian total kepada pemain muda di akar rumput, kesadaran akan pentingnya infrastruktur memadai dan perekrutan pemain diaspora yang berkualitas serta memiliki daya juang untuk negara mungkin bisa menjadi beberapa hal yang patut diteladani.
Persoalannya, mau atau tidak?
