Surabaya (ANTARA) - Sore menjelang malam di Buduran, Sidoarjo, udara lembap menggantung di antara serpihan beton dan debu material. Lampu sorot menembus gelap, memantul di dinding bangunan mushalla Pondok Pesantren Al Khoziny yang runtuh. Suara alat berat, gesekan besi, dan dengung generator menjadi latar malam yang muram.
Beberapa petugas berseragam oranye membungkuk, mengais celah di antara puing. Setiap ayunan palu adalah langkah kecil menembus waktu dan doa.
Dalam keheningan, hanya terdengar desah napas dan seruan singkat sesama petugas. Mereka bekerja tanpa banyak bicara, seolah tahu bahwa di bawah tumpukan beton itu, ada harapan yang belum padam.
Di balik reruntuhan itu, tersimpan sejarah panjang yang membuat pesantren ini lebih dari sekadar bangunan. Pondok Pesantren Al Khoziny adalah salah satu pesantren tertua di Indonesia.
Didirikan pada 1920 oleh KH Khozin, menantu pengasuh Pesantren Siwalan Panji KH Chamdani, pesantren ini telah menjadi bagian penting dari sejarah Islam di Jawa Timur, jauh sebelum republik ini berdiri.
Hubungan Al Khoziny dan Siwalan Panji, Sidoarjo, begitu erat. Sejumlah muassis Nahdlatul Ulama, seperti KHM Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah pernah menimba ilmu di pesantren itu. Karena itu, jejaring keilmuan Al Khoziny menyebar luas hingga ke Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, bahkan Malaysia.
Kini, halaman pesantren yang biasanya ramai suara santri, justru dipenuhi tim SAR gabungan, alat berat, dan tumpukan batu yang menjadi saksi duka mendalam.

Beberapa jam sebelum mushalla itu rata dengan tanah, suasana sore masih berjalan biasa. Di lantai dasar, puluhan santri tengah menunaikan shalat Asar berjamaah.
Salah satunya adalah M Zaenal Ali Abidin, santri kelas 12 Sekolah Menengah Atas (SMA) berusia 18 tahun yang telah enam tahun menimba ilmu di Al Khoziny. Ia berdiri di barisan kanan, ikut menundukkan kepala di rakaat kedua, ketika suara keras tiba-tiba memecah ketenangan.
Zaenal mengira suara itu berasal dari cor-coran semen jatuh, hal yang kadang memang terjadi di sekitar pondok karena sedang ada pembangunan.
Sekejap kemudian, kepanikan meledak. Santri berhamburan, sebagian menjerit, sebagian lain tersandung reruntuhan. Zaenal sempat merasa ada batu menimpa kakinya sebelum kesadarannya hilang.
Ketika siuman, ia sudah berada di dalam ambulans. Dari para perawat dan teman-temannya, ia tahu bahwa bangunan mushalla tempat mereka shalat baru saja runtuh.
Luka di kakinya cukup parah, dan dokter menyebut ia mengalami gegar otak ringan. Meski masih merasa pusing dan nyeri di pinggang, ia bersyukur karena banyak temannya belum seberuntung dirinya.
Doa panjang
Di lokasi kejadian, tim SAR gabungan terus berjibaku. Pencarian dilakukan selama 24 jam, tanpa henti. Struktur bangunan yang rapuh membuat setiap langkah harus penuh perhitungan. Mereka kerap berhenti karena terjadi pergeseran puing yang berisiko menimbun kembali area pencarian.
Salah satu petugas dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Surabaya Khusnul Ashadi menuturkan bahwa keterlibatannya bukan semata tugas, melainkan panggilan hati.
Dalam satu momen, ia bersama tim SAR gabungan lainnya, bahkan harus mundur cepat setelah sebagian material bangunan bergeser akibat gempa berskala 6,5 Magnitudo di Sumenep pada Selasa (29/9).
Rasa panik sempat muncul, tetapi disiplin dan doa membuat mereka bertahan. Dalam situasi penuh tekanan itu, Ashadi menahan emosi saat menemukan korban yang masih anak-anak.
Di antara mereka, seorang santri bernama Haikal berhasil ditemukan hidup, setelah suaranya terdengar lemah dari balik celah sempit puing. Petugas menggali perlahan, dan ketika tubuh kecil itu akhirnya berhasil ditarik keluar, sorak haru memecah malam.
Di titik berbeda, jasad santri lain ditemukan tak bernyawa. Bagi para petugas, momen itu menjadi pertemuan antara keajaiban dan kehilangan. Setiap jenazah diangkat dengan penuh hormat, dibungkus dan diusung perlahan, seolah memastikan mereka pulang ke Haribaan Gusti dengan layak.
Di antara mereka yang selamat pada detik-detik terakhir adalah Saiful Rosy Abdillah. Santri muda itu ditemukan menjelang habisnya masa emas. Kakinya terjepit beton besar hingga hancur dan akhirnya harus diamputasi.
Sang ayah, Idris, mengaku sempat pasrah dan hanya bisa mengajak istrinya berdoa karena melihat kondisi bangunan yang roboh, ia meyakini kemungkinan anaknya selamat sangat kecil.
Mukjizat datang, ketika kabar menyebut bahwa Rosy masih hidup. Idris mengaku sempat tidak percaya dan merasa haru atas kenyataan tersebut. Kini, putranya dalam masa pemulihan dan mulai menyesuaikan diri dengan kondisi baru.
Meski kehilangan satu kaki, semangatnya tidak luntur dan ia bertekad untuk tetap melanjutkan mondok di Al Khoziny. Idris juga menegaskan tak akan menuntut pihak mana pun karena meyakini peristiwa itu sebagai takdir Allah SWT.

Sementara di luar area pesantren, keluarga korban bertahan di Posko SAR gabungan. Ada yang duduk diam menatap layar televisi yang menyiarkan langsung dari kamera CCTV, saat proses pencarian, ada yang berdoa, dan ada yang hanya menunduk, tanpa kata.
Seorang kakek bernama Saidi berdiri di depan layar. Cucu lelakinya, Muhammad Adam Virdiansyah, santri berusia 13 tahun, pada hari kelima belum ditemukan. Sejak hari pertama, ia tidak beranjak dari lokasi, tidur di tikar, makan dari dapur umum, dan setiap waktu menunggu laporan terbaru dari petugas.
Baginya, meninggalkan tempat itu sama dengan meninggalkan harapan. Ia hanya berdoa agar cucunya ditemukan, dalam keadaan apa pun.
Para relawan dan petugas dari dinas sosial mencoba memberi semangat, tapi wajah-wajah di posko tetap muram. Bagi mereka, menunggu adalah pekerjaan paling berat.
Di tengah kelelahan, warga sekitar datang membawa air, nasi bungkus, kopi, teh, buah, atau sekadar kata penghiburan. Empati tumbuh di tengah duka yang sama.
Sementara itu, di area reruntuhan, suara alat berat masih terdengar, hingga dini hari. Petugas terus bekerja dalam cahaya lampu sorot, kadang berhenti sejenak untuk menarik napas sambil menatap ke arah tenda keluarga korban yang tak jauh dari lokasi. Di sanalah alasan mereka bertahan, memberi kepastian bagi keluarga yang menunggu kepastian.
Tragedi ini memang meninggalkan luka mendalam, tapi juga menyingkap wajah kemanusiaan yang paling tulus.
Dari reruntuhan Al Khoziny, orang-orang belajar bahwa kerja keras, doa, dan kepedulian bisa berjalan berdampingan. Para petugas terus menggali, keluarga terus menunggu, dan seluruh warga berdoa agar semua yang hilang dapat ditemukan.
Di tengah keheningan yang panjang, suara Khusnul Ashadi masih terngiang di antara debu dan puing.
"Mereka yang hilang harus ditemukan, karena setiap kehilangan menyisakan luka yang hanya bisa sembuh dengan kepastian," ujar Ashadi.
Kerja para petugas yang merupakan wujud negara hadir menyauti permasalahan warga itu bekerja dengan profesional, sambil terus harus berdamai dengan perasaannya sebagai manusia yang juga memiliki keluarga dan anak.
