Gencatan rawan dilanggar
Kemudian, dipilihlah Iran, dengan alasan kepemilikan senjata nuklir, padahal Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dan badan intelijen AS sudah menyatakan Iran masih jauh dari kata bisa membuat bom nuklir.
Meminjam analisis wartawan perang Jonathan Fenton-Harvey yang dimuat kantor berita Anadolu pekan ini, perang dengan Iran untuk sementara waktu membuat Netanyahu terhindar dari hukuman di dalam negeri.
Netanyahu juga ngotot menyeret AS ke dalam pusaran konflik dengan Iran, dengan harapan perang meluas dan berkepanjangan.
Dengan cara itu, dia selamat dari tekanan di dalam negeri dan semakin kuat mencengkeram sistem kekuasaan Israel, karena situasi perang membuat rakyat dipersatukan oleh persepsi musuh bersama, yang pada akhirnya menciptakan konsolidasi nasional yang menguntungkan kekuasaan Netanyahu.
Di sini, Netanyahu akan sangat logis jika sekuat tenaga berusaha menolak upaya menghentikan perang dengan Iran karena itu sama artinya dengan membuat perhatian rakyat Israel tercurah lagi ke kasus-kasus yang membelit dia, yang jika membesar bisa fatal akibatnya bagi nasib pemerintahannya.
Sial bagi Netanyahu, Iran bukan Hizbullah dan bukan pula Hamas, yang langsung kehilangan arah ketika Hassan Nasrallah, Ismail Haniyeh dan Yahya Sinwar yang menjadi para pemimpin kedua organisasi ini, dibunuh oleh Israel.
Israel melancarkan taktik serupa kepada Iran, dengan membunuhi petinggi-petinggi militer Iran dan ilmuwan-ilmuwan nuklir negara ini. Tapi Iran terlalu besar untuk hanya mengandalkan segelintir tokoh.
Iran malah mampu menyerang balik Israel pada tingkat yang tidak pernah dilakukan musuh-musuh Israel sejak negara ini berdiri pada 1948.
Bahkan itu terjadi ketika Iran diisolasi ketat oleh sanksi internasional yang mencekik yang dirancang negara-negara Barat, yang hampir semuanya melindungi Israel.
Kini, Netanyahu dipaksa gencatan senjata dengan Iran, oleh presiden yang dua kali naik berkuasa di AS setelah menawarkan janji menjauhkan AS dari perang yang tak perlu di luar negeri.
Banyak kalangan menilai gencatan senjata itu rapuh karena rawan dilanggar oleh para pihak bersengketa, dan Netanyahu berada di peringkat pertama yang rawan melanggarnya, terutama ketika dia terpojok lagi di dalam negeri.
