Pakar: Tuntaskan Kasus Kedelai dengan "Logika" Perdagangan
Sabtu, 28 Juli 2012 9:47 WIB
Surabaya - Pakar manajemen "Supply Chain" (Rantai Pasok) Prof Ir Joniarto Parung PhD menilai kasus kelangkaan kedelai itu merupakan mata rantai perdagangan kedelai, karena itu pemerintah harus menuntaskan dengan "logika" perdagangan.
"Itu soal perdagangan, karena itu solusi di luar logika perdagangan hanya akan bersifat sementara dan masih mungkin akan terulang di masa datang," kata alumnus ITB (1992) dan University of Strathclyde, Glasgow, Inggris (2005) itu kepada ANTARA di Surabaya, Sabtu.
Menurut dia, kedelai dan juga sejumlah kebutuhan pokok di Indonesia didominasi impor, karena cara impor dinilai lebih menguntungkan daripada membuka industri kedelai, beras, tembakau, garam, jagung, singkong, dan sebagainya, termasuk mengolah minyak bumi dan gas secara mandiri.
"Impor bahan kebutuhan pokok itu dinilai menguntungkan karena dua hal yakni selisih harga di dalam dan luar negeri cukup jauh sehingga lebih menguntungkan, lalu membuka industri bahan kebutuhan pokok itu di dalam negeri akan selalu berhadapan dengan petani secara sosial," katanya.
Oleh karena itu, kata Rektor Universitas Surabaya (Ubaya) itu, solusi kasus kedelai dan bahan kebutuhan pokok lainnya haruslah melalui kebijakan pemerintah untuk mau bersusah payah membangun industri bahan pokok dengan merumuskan regulasi untuk sinergi antara petani-pengusaha.
"Regulasi itu antara lain menyangkut pengurangan pajak, insentif atau subsidi, kemudahan bibit, dan sejenisnya, sehingga pengusaha mau membuka industri skala besar untuk bahan kebutuhan pokok di Tanah Air," kata dosen tetap Teknik Industri di Fakultas Teknik Ubaya sejak tahun 1990 itu.
Selain itu, pemerintah juga harus membangun sistem kerja sama antara industri dengan petani, karena petani hanya bersifat skala kecil, sedangkan industri berskala besar. "Agar tidak ada konflik sosial, maka industri harus mau 'membeli' barang dari petani seperti dilakukan Bulog," katanya.
Ia menilai pemerintah juga harus mau memberi subsidi bibit, pupuk, dan sejenisnya kepada petani dan memberi insentif atau fasilitas kemudahan berusaha kepada pengusaha yang mau bergerah di bidang industri bahan kebutuhan pokok itu.
"Itulah solusi jangka panjang yang harus dilakukan pemerintah, sedangkan pembebasan bea masuk kedelai yang ditempuh pemerintah hanya bersifat jangka pendek yang tidak akan menyelesaikan masalah pokoknya," kata bapak dua anak itu.
Akademisi yang juga pernah menjadi Perwira TNI-AD yang bertugas di Cimahi, Stevenage-London, Inggris, Jakarta, dan Malang (1986-1990) itu menambahkan "logika" perdagangan itu membutuhkan komitmen melalui kebijakan atau regulasi yang bersifat jangka panjang.
"Komitmen itu juga disertai pengawalan regulasi itu, seperti instruksi menyediakan lahan untuk industri bahan pokok pada kabupaten/kota tertentu. Kalau 'perintah' itu tidak dikawal dengan regulasi teknis, maka akan seperti instruksi NTT sebagai 'gudang ternak' yang hanya dikucuri dana tapi nihil," katanya. (*)