Surabaya (ANTARA) - Aksi demonstrasi para pengemudi ojek online (ojol) pada Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) 20 Mei 2025 menyisakan pelajaran menarik tentang dunia digital yang luput dari perhatian masyarakat (netizen/warganet).
Dalam aksi itu, para pengemudi ojol memprotes aplikator yang dinilai tidak adil, karena membuat penghasilan mereka merosot hingga 50 persen atau bahkan tinggal 1/3, misalnya bila sebelumnya bisa meraup Rp300.000 per hari, maka sekarang tinggal Rp150.000 atau Rp100.000 atau bahkan kurang. Nggak bahaya tah?!
Ada fakta dunia digital yang luput dari perhatian pengemudi ojol selama ini yakni dunia digital memang tidak bisa adil, karena aplikator bisa jadi pemegang kendali yang menentukan dirinya sendiri, misalnya aplikator rela untuk rugi di awal (investasi) lalu mematok untung pada era "panen" yang mungkin terasa tidak adil.
Artinya, berharap keadilan pada dunia digital adalah ibarat mimpi, karena dunia digital memang bersifat "pemain tunggal" yang bisa berwenang apa saja, termasuk untuk bersikap adil dan tidak. Faktanya, kemajuan teknologi digital memang "hanya" kemajuan teknologi, bukan kemajuan manusia-nya. Belum ada kesalehan digital.
Solusinya, keadilan agaknya bisa diharapkan dengan mendorong lahirnya aplikator baru milik kita sendiri (mandiri) melalui kompetisi. Jadi, bikin aplikasi baru khas gotong royong ala ojol Indonesia yang dilakukan manusia saleh secara digital adalah alternatif atau pilihan paling solutif, yang memungkinkan adanya keadilan.
Itu praktek dunia digital di dunia bisnis. Nah, praktek digital di dunia non-bisnis juga idem. Rasanya memang sulit berharap keadilan dalam dunia bisnis di era digital, juga sama sulitnya dalam praktek di dunia informasi (non-bisnis).
Social Comparison
Diakui atau tidak, jurnalisme di era media massa masih memiliki tiga keunggulan yang belum tertandingi jurnalisme digital yakni akurasi versus hoaks, etika/kode etik versus framing/kebebasan, dan dokumen/jejak sejarah versus takedown/jejak digital yang hilang.
Bisa saja, jurnalisme digital memberikan kesan "logis" tapi fakta logis belum tentu benar. Faktanya, informasi yang terkesan logis itu seringkali hanya bersifat social comparison atau logika yang asal-asalan, atau membuat perbandingan tapi tidak akurat, tidak etik, dan tidak dokumenter.
Ya, akhir-akhir ini, ada sejumlah informasi bermunculan di berbagai jejaring media sosial dengan sifat social comparison atau dalam istilah psikologi disebut sebagai upaya membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Contohnya, upaya membandingkan Gubernur Jabar dan Jateng dengan Gubernur Jatim dalam soal pembebasan pajak kendaraan. Ada juga upaya membandingkan kondisi ekonomi di Indonesia dengan "negara kecil" Vietnam. Atau, kondisi pendidikan di Indonesia dengan Jepang dan China yang sangat timpang antara teoritis dan keahlian.
Masalahnya, penyikapan secara social comparison itu cenderung mengarah pada framing yang masuk dalam jebakan digital dengan mengoyak mindset (pola pikir), padahal salah/tidak logis yang diulang-ulang/diviralkan hingga terkesan benar/logis. Itulah framing di era digital.
Contoh social comparison dalam kesan framing adalah kebijakan Gubernur Jawa Barat (Jabar), Kang Dedi Mulyadi (KDM), yang menghapus seluruh tunggakan pajak kendaraan bermotor, baik kendaraan roda dua maupun roda empat, lalu kebijakan itu dibenturkan/diperbandingkan oleh warganet/netizen dengan kebijakan pajak kendaraan di provinsi lain (Jatim), padahal permasalahan setiap daerah itu berbeda.
Apalagi, konten program KDM juga ada pro-kontra, seperti syarat Vasektomi untuk bansos (MUI sebut bertentangan dengan syariat), kebijakan pengiriman siswa bermasalah ke barak militer milik TNI dan Polri (menyalahi fungsi barak TNI), kebijakan larangan wisuda-perpisahan-study tour, kebijakan pemangkasan dana hibah pesantren, dan Satgas Anti-premanisme.
Bukan Asal Beda
Tidak hanya antar-provinsi, namun social comparison juga terjadi antar-negara. Ada yang membandingkan Indonesia dengan Australia, atau Indonesia dengan Vietnam, padahal penduduk Indonesia itu jauh lebih besar dari kedua negara itu, bahkan kedua negara itu digabung pun masih jauh jumlahnya dengan penduduk Indonesia, tentu masalahnya pun berbeda.
Misalnya, ada warganet yang menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Vietnam merupakan paling cepat dibanding enam Negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia. Pada kuartal III-2015, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 4,73 persen (meningkat 4,67 persen dibandingkan kuartal II), namun pertumbuhan kuartal III melambat dibanding periode yang sama (year on year/yoy) yang mencapai 5,01 persen, sedang periode tahun ini diprediksi sekitar 4,7 - 4,8 persen.
Namun, Indonesia justru menduduki peringkat kedua sebagai negara tujuan investasi digital di kawasan Asia Tenggara pada 2023. Nilai investasi pada sektor ekonomi digital telah mencapai USD22 miliar, meski tertinggal jauh dari Singapura yang telah menyerap investasi digital USD141 miliar, namun Indonesia telah melampaui Vietnam dan Malaysia yang tercatat masing-masing USD18 miliar dan USD17 miliar.
Singapura menjadi terbesar di kawasan ASEAN, sebab Singapura menjadi hub atau dia yang membagi, namun Google memproyeksikan ekonomi digital di Indonesia pada 2025 bisa mencapai USD146 miliar atau terbesar di Asia Tenggara, sehingga tren peluang usaha di segmen ini semakin menjanjikan di era modern ini.
Social comparison lain di platform digital adalah pendidikan di Indonesia yang dikesankan terlalu teoritis, bukan keahlian seperti di Jepang atau China, padahal pendidikan di Indonesia sudah memiliki esktra-kurikuler (bakat, minat, dan potensi, seperti seni, olahraga, Pramuka, dan lainnya), namun keahlian dalam arti profesi memang masih belum, karena pendidikan profesi/keahlian itu tidak murah dan Indonesia juga lebih mementingkan pemerataan.
Ada juga social comparison terkait polemik vaksin yang antar-pakar sendiri juga memang ada yang berbeda tafsir.
Terbaru, ada social comparison soal fenomena Syarikah Haji di era digital yang lebih ditentukan "pemain" yang disebut syarikah/swasta/bisnis. Syarikah juga merupakan kebijakan lintas negara yang perlu saling menghormati dan berdiplomasi.
Terkait syarikah haji itu, sejumlah petugas kloter haji di Asrama Haji Embarkasi Surabaya (AHES) mencatat kebijakan Arab Saudi sebelum tahun 2022 adalah pelayanan secara muassasah/berbasis geografi, lalu sejak 2022 diubah menjadi pelayanan secara syarikah/berbasis vendor, bahkan sejak tahun 2025 bukan hanya satu syarikah tapi delapan syarikah.
Masalahnya, pelayanan jamaah haji yang dilakukan Indonesia dengan berdasarkan kloter justru tidak klop dengan pelayanan berbasis syarikah, sehingga pelayanan jamaah haji Indonesia pada gelombang pertama pun menyebabkan banyak jamaah yang terpencar atau tidak sama dalam satu hotel, bahkan suami-isteri bisa berbeda kloter dan hotel di Madinah.
Di era digital, masalah yang "tidak nyaman" itu justru menjadi konten yang viral dan cenderung mencari-cari biang kesalahan, padahal pelayanan banyak orang itu justru perlu solusi, bukan mencari-cari masalah yang selalu ada dalam setiap kebijakan, apalagi kebijakan antarnegara yang berbeda. Masalah memang membuat konten menjadi viral, tapi kepentingan publik itu solusi, bukan konten viral.
Terkait solusi itu, Direktur Layanan Haji Luar Negeri Kemenag Muchlis Hanafi menegaskan bahwa sejak 2022 memang terjadi transformasi sistem haji dari sistem berbasis geografis menjadi berbasis syarikah, yang tujuannya mempermudah pengendalian layanan oleh syarikah yang langsung kepada jamaah.
"Layanan syarikah lebih terfokus pada sistem koordinasi pelaporan dari syarikah kepada Kementerian Haji selaku otoritas setempat. Kalau ada terjadi apa-apa, respons di lapangan juga dilakukan oleh syarikah yang menggaransi jamaah," kata Muchlis dalam konferensi pers daring di Jakarta (19/5/2025).
Namun, salah satu konsekuensi dari sistem tersebut adalah jamaah diinapkan pada hotel-hotel yang berbeda sesuai dengan syarikah, namun kualitas maupun kuantitas layanan pada jamaah tidak berkurang, meski ada kurang nyaman, karena itu akhirnya layanan yang mendasarkan pada kloter pun disesuaikan dengan pelayanan berbasis syarikah, agar kenyamanan terwujud kembali.
Pihaknya menyesuaikan dengan sistem syarikah, agar saat puncak haji, berbagai aspek mulai dari transportasi, mobilisasi, hingga konsumsi, lebih efektif dan efisien, dan sesuai dengan hak jamaah. Syarikah adalah sistem yang tepat untuk pelayanan yang menyeluruh. Semua proses layanan itu diawasi langsung oleh PPIH Arab Saudi.
Jadi, tindakan social comparison dalam Ilmu Komunikasi perlu disoroti secara Etik (Kode Etik), atau secara imbang/adil dari pihak yang positif maupun pihak yang negatif, kemudian narasumber juga harus kompeten agar informasinya memiliki akurasi dan dokumen/jejak sejarah, bukan asal berbeda yang penuh jebakan digital (hoaks/framing).
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Demo Ojol dan Syarikah Haji di Era Digital