Sumenep - Kuota siswa dari keluarga miskin sebanyak 20 persen pada penerimaan siswa baru tahun ini di dua sekolah di Sumenep, Jawa Timur, yang berstatus rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI), tidak terpenuhi. Sejak awal pendaftaran, jumlah calon siswa yang berasal dari keluarga miskin dan selanjutnya mendaftar ke SMAN 1 maupun SMPN 1 Sumenep, minim alias sudah di bawah kuota 20 persen. "Jumlah pendaftar yang berasal dari keluarga miskin memang minim. Di SMAN 1 Sumenep terdapat 40 pendaftar di jalur khusus (anak dari kalangan keluarga miskin), dan setelah diseleksi hanya 34 yang diterima sebagai siswa baru pada tahun ini," kata Kepala SMAN 1 Sumenep, M Sadik. SMAN 1 membuka pendaftaran siswa baru pada tahun ini dengan tiga jalur, yakni prestasi, reguler, dan khusus. "Kami sengaja membuka jalur khusus guna memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi anak dari kalangan keluarga miskin untuk mendaftar ke sekolah kami. Namun, jumlah pendaftarnya ternyata minim," ujarnya. Pada tahun ini, SMAN 1 Sumenep menerima siswa baru sebanyak 280 orang, yang berarti kuota siswa barunya yang merupakan anak dari keluarga miskin sebanyak 56 orang. "Kami sebenarnya sudah melakukan sosialisasi, baik berupa pertemuan dengan pimpinan SMP maupun pemberitahuan melalui pengumuman dan iklan di radio, tentang peluang anak dari keluarga miskin untuk bersekolah di sekolah kami yang berstatus RSBI," ucapnya. Dalam pertemuan langsung dengan pimpinan SMP, kata dia, pihaknya telah mencoba menjabarkan secara rinci tentang kuota 20 persen siswa baru di RSBI adalah anak dari keluarga miskin. "Kami juga meminta tolong mereka (pimpinan SMP) supaya siswanya yang berasal dari keluarga miskin dan memiliki prestasi akademis bagus, untuk mendaftar ke sekolah kami. Calon siswa dari keluarga miskin harus tetap memenuhi persyaratan dan mengikuti tes," tukasnya. Sadik mengatakan, minimnya jumlah pendaftar pada jalur khusus diduga tidak hanya akibat anak dari keluarga miskin merasa kurang percaya diri untuk masuk ke SMAN 1 Sumenep yang berstatus RSBI, akan tetapi juga dipengaruhi faktor gengsi. "Kalau ada yang bilang anak dari keluarga miskin akan minder jika masuk ke RSBI dan selanjutnya tidak mendaftar, itu bisa saja terjadi. Namun, di internal kami, ada temuan menarik, yakni sebagian siswa baru kami sengaja tidak mendaftar melalui jalur khusus, karena gengsi," katanya. Sesuai hasil pendataan yang dilakukan stafnya berdasarkan pendapatan orang tuanya setiap bulannya, kata dia, sebagian kecil siswa baru yang diterima melalui jalur reguler (bukan jalur khusus bagi anak dari keluarga miskin), sebenarnya berasal dari keluarga yang perlu mendapat bantuan. "Namun, mereka sengaja memilih mendaftar lewat jalur reguler, karena gengsi untuk mengurus surat pernyataan miskin (SPM) yang merupakan salah satu syarat formal guna mendaftar lewat jalur khusus. Ini sesuatu yang riil dan ditemui oleh kami," ucapnya. Pada tahun ajaran 2011-2012, jumlah siswa SMAN 1 Sumenep yang mendapat toleransi berupa pembebasan maupun keringanan biaya operasional bulanan sebesar Rp200 ribu, sebanyak 58 orang. "Siswa yang diterima melalui jalur khusus tidak akan dikenai biaya apa pun, termasuk biaya operasional sekolah yang bersifat bulanan, hingga lulus. Untuk tahun ini, kami belum menentukan besaran biaya operasional bulanan yang harus ditanggung siswa," kata Sadik. Kasus nyaris serupa juga terjadi di SMPN 1 Sumenep yang jumlah pendaftar jalur khususnya juga di bawah kuota. Kuota siswa baru SMPN 1 Sumenep pada tahun ini sebanyak 300 orang dan berarti kuota jalur khusus sebanyak 60 orang. Jumlah pendaftar jalur khusus di SMPN 1 Sumenep ternyata 15 calon siswa, dan setelah melalui seleksi hanya tujuh orang yang diterima sebagai siswa baru. "Namun, setelah pengumuman nama-nama siswa yang diterima, ada sejumlah wali murid yang mendatangi kami dan menyatakan sebenarnya termasuk keluarga kurang mampu," ujar Kepala SMPN 1 Sumenep M Arif. Sejumlah wali murid itu, kata dia, sengaja tidak mendaftarkan anaknya di jalur khusus, karena malu dan khawatir nantinya anaknya akan masuk rombongan belajar atau kelas khusus (anak dari keluarga miskin). "Wali murid itu berpikir pendaftar jalur khusus nantinya digabung menjadi kelas tersendiri yang isinya siswa dari keluarga miskin. Padahal, pembukaan jalur khusus itu dalam rangka memudahkan kami untuk memenuhi kuota 20 persen," ucapnya. Di sisi lain, Sadik maupun Arif tidak menampik adanya anggapan atau kesan sekolah berstatus RSBI sebagai lembaga pendidikan yang "wah" dan akan menguras uang dalam jumlah besar dari siswanya. Salah satu informasi salah dan menunjukkan kesan "wah" yang beredar di masyarakat dan bisa membuat anak dari keluarga miskin minder untuk masuk sekolah berstatus RSBI adalah kewajiban memiliki komputer jinjing yang dibawa ke sekolah. "Kami sebenarnya heran dengan informasi 'wah' yang selalu dikaitkan dengan RSBI. Komputer jinjing di kalangan siswa RSBI bukan lagi barang baru, karena menjadi bagian dari proses kegiatan belajar mengajar yang dilakukan guru. Namun, itu bukan barang yang wajib dimiliki siswa," kata Sadik. Sementara Arif berharap semua elemen masyarakat tidak berburuk sangka kepada pengelola sekolah yang berstatus RSBI, termasuk SMPN 1 Sumenep. "Dalam konteks lembaga pendidikan setingkat SMP (pendidikan dasar), kami menduga salah satu penyebab sekolah berstatus RSBI dianggap akan menguras uang, karena memang diperkenankan menarik sumbangan atau biaya lain dari wali siswa," ujarnya. Namun, kata dia, hingga 2011, pihaknya tidak memanfaatkan peluang untuk menarik biaya lain dari wali siswa. "Status sekolah kami memang RSBI. Namun, hingga sekarang kami tidak pernah memungut biaya lain dari para wali siswa, layaknya sekolah reguler (non-RSBI). Tidak ada yang namanya biaya operasional bulanan maupun biaya pembangunan gedung yang dibebankan kepada siswa. Kami memaksimalkan dana yang kami terima dari pemerintah," ucapnya. Data Ulang Untuk memenuhi kuota 20 persen siswa barunya berasal dari keluarga miskin, pengelola SMAN 1 dan SMPN 1 Sumenep akhirnya membuka berkas para wali siswanya, utamanya yang terkait dengan pendapatan perbulan dan jumlah tanggungannya. "Semua pengelola RSBI pasti punya data tentang itu, karena kami memang mengajukan berkas yang harus diisi secara jujur oleh para wali siswa kami, salah satunya tentang pendapatan perbulan dan jumlah tanggungannya," ujar Kepala SMAN 1 Sumenep M Sadik. Dari berkas itu, kata dia, pihaknya memasukkan 17 siswa barunya sebagai anak dari keluarga kurang beruntung yang dinilai perlu mendapat bantuan. "Sesuai data yang dipegang kami, pendapatan orang tua mereka di bawah Rp2 juta dan rata-rata punya anak lebih dari satu orang. Oleh karena itu, kami memasukkan mereka sebagai siswa yang perlu mendapat bantuan," tukasnya. Sementara pengelola SMPN 1 Sumenep menggunakan indikator pendapatan orang tua di bawah Rp1 juta guna memasukkan sebagian siswanya sebagai anak dari keluarga kurang mampu. "Setelah melalui pendataan ulang dan musyawarah internal, kami memasukkan 30 siswa baru kami sebagai bagian dari peserta didik yang layak mendapat bantuan," kata Kepala SMPN 1 Sumenep M Arif. Dengan demikian, jumlah siswa di SMAN 1 Sumenep yang dibebaskan dari biaya operasional bulan selama menempuh pendidikan di RSBI itu sebanyak 51 orang, dengan rincian 34 siswa baru yang mendaftar melalui jalur khusus dan 17 lainnya hasil pendataan ulang. Sementara di SMPN 1 Sumenep, jumlah siswa yang akan diprioritaskan mendapat bantuan sebanyak 37 orang, dengan rincian tujuh siswa baru yang mendaftar melalui jalur khusus dan 30 lainnya hasil pendataan ulang. "Di sekolah kami, mereka (pendaftar di jalur khusus maupun anak kurang mampu sesuai hasil data ulang) dicatat bukan dalam rangka akan dibebaskan dari biaya operasional bulanan, melainkan diprioritaskan mendapat bantuan. Hingga sekarang, kami belum menarik biaya apa pun dari siswa," kata Kepala SMPN 1 Sumenep M Arif. Ia juga mengemukakan, pihaknya siap mendata ulang lagi, jika Dinas Pendidikan Sumenep tetap meminta kuota 20 persen siswa barunya dari keluarga miskin (layak mendapat bantuan) harus dipenuhi. "Kalau jumlah siswa kami yang akan ditetapkan sebagai calon penerima bantuan, harus mencapai 60 orang (20 persen), kami akan mendata ulang. Opsinya, siswa yang pendapatan orang tuanya pada kisaran Rp1 juta hingga Rp1,5 juta akan dicatat sebagai calon penerima bantuan," tukasnya. "Jemput Bola" Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Sumenep A Masuni menjelaskan, pihaknya sebenarnya ingin dua sekolah berstatus RSBI itu memenuhi kuota 20 persen siswa barunya berasal dari keluarga miskin. "Pada masa mendatang, kami berharap pengelola sekolah berstatus RSBI itu turun langsung ke bawah untuk mencari siswa dari keluarga miskin dengan prestasi akademis bagus, dan selanjutnya didaftarkan ke sekolahnya," kata Masuni. Ia juga menilai pengelola dua sekolah di Sumenep yang berstatus RSBI itu sudah berusaha atau memiliki niat untuk memenuhi kuota 20 persen siswa barunya dari kalangan keluarga miskin, melalui sejumlah sosialisasi. "Pada tahun ini, ternyata kuota 20 persen siswa baru yang berasal dari keluarga miskin di SMAN 1 maupun SMPN 1 Sumenep, belum terpenuhi. Namun, kami menilai pengelola dua sekolah itu sebenarnya sudah melakukan upaya untuk merealisasikan kuota tersebut," ujarnya. Sementara Kepala SMPN 1 Sumenep M Arif menjelaskan, pihaknya memang mendapat surat edaran dari dinas pendidikan setempat supaya melakukan "jemput bola" dalam rangka mencari siswa dari keluarga miskin yang berprestasi bagus alias berpeluang diterima di sekolah berstatus RSBI. "Kami bisa saja melakukan upaya itu ('jemput bola'). Namun, kami memiliki keterbatasan personil, baik jumlahnya maupun kewenangannya. Kalau hanya di Kecamatan Kota dan sekitarnya, bisa saja kami berusaha 'jemput bola', karena memang dekat dengan sekolah kami," katanya. Sumenep memiliki 27 kecamatan, dan sembilan di antaranya berada di wilayah kepulauan. "Kami sebenarnya berusaha bersinergi dengan kawan-kawan dari unit pelaksana teknis dinas pendidikan di masing-masing kecamatan. Kami pun telah mengundang mereka dalam sosialisasi tentang RSBI," ucapnya. Namun, kata dia, pihaknya merasa tidak "enak hati" untuk memastikan unit pelaksana teknis dinas pendidikan di masing-masing kecamatan itu menyosialisasikan materi RSBI kepada pengelola sekolah dasar (SD) di wilayahnya. "Jujur saja. Jangankan meminta data tentang siswa kelas VI SD dari keluarga miskin dengan prestasi akademis bagus, menanyakan mereka sudah menyampaikan materi sosialisasi RSBI ke SD saja, kami merasa sungkan. Mereka itu bukan staf kami," kata Arif. (*)
Sebagian Gengsi Urus "SPM" Untuk Daftar RSBI
Senin, 16 Juli 2012 7:54 WIB