Surabaya (ANTARA) - Sudah waktunya kita mengakhiri dikotomi antara media sosial dan media pers sebagai sumber informasi masyarakat.
Dalam beberapa tahun terakhir, sejalan dengan peningkatan pengguna internet di Indonesia, media sosial semakin dominan sebagai rujukan khalayak. Bahkan, tingkat kepercayaan khalayak akan informasi yang tersebar di dalamnya terus meningkat.
Premis itu didasarkan pada Survey Status Literasi Digital 2022 yang dirilis, saat itu, oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Data menunjukkan bahwa media sosial kini terus berkembang sebagai sumber informasi utama bagi masyarakat. Media sosial menjadi sumber informasi 72,6 persen responden, menjadi yang tertinggi mengungguli media pers seperti televisi 60,7 persen, media daring 27,5 persen, media cetak 21,7 persen, atau radio 2,9 persen.
Sementara itu, kepercayaan pada informasi yang beredar di media sosial terus meningkat hingga mencapai 30 persen. Jumlah itu hanya kalah dari televisi yang mencapai 43 persen. Sementara kepercayaan kepada media pers terus menurun, kecuali pada media daring.
Kebebasan penyebaran informasi di media sosial tentu menjadi fakta yang baik. Akses informasi yang leluasa memberikan khalayak ragam perspektif pada sebuah peristiwa atau fenomena.
Namun, kita telah berpengalaman untuk melihat betapa rentannya kebebasan ini dengan kehadiran pendengung, fenomena hoaks, disinformasi, dan misinformasi. Kondisi itu selama ini coba diyakini dengan pencerdasan khalayak serta peran pers sebagai pengecek/verifikatur fakta.
Aspek terakhir menjadi inti perhatian dalam argumen tulisan ini. Peran pers sebagai verifikatur fakta akan sulit dilakukan bila mereka tidak lagi menjadi sumber utama yang dipercaya. Berbagai penelitian telah menunjukkan betapa berlikunya jalan migrasi bagi media arus utama.
Kegagapan mengikuti perubahan pola komunikasi masyarakat yang berpindah ke ranah digital membuat pers menghadapi periode sulit. Kondisi yang sering dijelaskan dengan istilah senjakala.
Tulisan ini mencoba untuk kembali mengingatkan, sembari mendorong pengelola pers di Indonesia, terutama di tingkat lokal, untuk lebih serius bermigrasi dan meramaikan lini massa media sosial yang kini menjadi pusat kerumunan.
Pertimbangan ini berpijak dari sisi teknis maupun filosofis. Secara teknis, dengan kerumunan yang bergeser ke media sosial, maka untuk dapat diakes oleh audiens, maka berita pers perlu masuk ke lini massa. Berbagai laporan riset telah menegaskan bahwa khalayak tidak lagi menanti atau mendatangi laman, tetapi mengandalkan unggahan media sosial.
Selanjutnya, secara filosofis, kita memerlukan media sosial yang lebih sehat. Tak hanya karena hoax, media sosial juga harus diakui terlalu diramaikan konten kedangkalan, dengan hal-hal yang berbau viral dan receh.
Keberadaan informasi berkualitas diperlukan untuk menjadi narasi tandingan dengan menebar konten-konten mendidik di media sosial. Ini mungkin terasa utopis, tetapi kepercayaan harus dirawat dengan mendorong para ilmuwan dan pers untuk tampil di lini massa.
Adaptasi masuk gelanggang
Untuk hidup dan bertahan di gelanggang media sosial, harus diakui bukan persoalan mudah. Dunia digital adalah belantara baru yang memerlukan adaptasi dan proses belajar tanpa henti.
Selalu ada perubahan yang menuntut pengelola media sosial di lembaga pers untuk mengevaluasi dan berinovasi.
Penelitian program studi ilmu komunikasi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yang tengah berjalan menemukan beberapa kecenderungan dalam dinamika pengelolaan akun media sosial milik lembaga pers.
Salah satu gejala awal adalah migrasi yang belum utuh, baru pada level formalitas. Pers berpindah platform, tetapi tidak berpindah dari sisi logika. Akun media sosial media hanyalah etalase tambahan untuk meletakkan hasil penelusuran jurnalistik yang telah disajikan dalam platform utama.
Temuan lain memperlihatkan tantangan menemukan titik tengah antara viralitas dan informasi berkualitas. Ini berlaku bagi media yang telah mulai mengupayakan modifikasi kontennya.
Algoritma memaksa pers mengikuti keramaian, membuat konten berdasarkan apa yang disuka khalayak. Masih ada kebingungan untuk menyajikan konten serius dan berkualitas, masih ketemu formula jalan tengah itu.
Sebagai bagian dari gejala disrupsi, fenomena dalam dunia pers ini hanya bisa dilakukan dengan memahami perubahan mendasar darinya. Disrupsi adalah soal kebangkitan khalayak.
Peran mereka bergeser dari sekadar konsumen menjadi lebih aktif dan memiliki kekuatan mendorong perubahan dalam dunia komunikasi, termasuk media. Maka, cara untuk menemukan jalan tengah itu tidak lain adalah memahami khalayak. Lembaga pers perlu banyak mendengar dan mungkin melakukan riset-riset tentang preferensi khalayak.
Rekomendasi yang lebih teknis ialah dengan menyeriusi pengembangan divisi media sosial sebagai bagian penting dari struktur organisasi media. Penelusuran di beberapa pers lokal menunjukkan peran pengelola media sosial hanya sebagai pelengkap.
Mereka hanya dilibatkan untuk peran distribusi konten, sebagai corong menyampaikan produk. Padahal dengan media sosial sebagai ruang berkumpulnya khalayak, sudah saatnya pers menginvestasikan sumber daya di area tersebut.
Menaruh tenaga terampil yang difungsikan sebagai alat bicara secara keseluruhan indra, yakni mata dan telinga, untuk memahami khalayak.
Sebagai penutup kita perlu meyakini bahwa meski dengan turunnya kebutuhan dan kepercayaan pada lembaga pers, perannya tidak pernah berkurang.
Dalam era demokrasi digital, saat ini, tugasnya justru semakin krusial dalam menjadi verifikatur fakta dan pendidik warga.
Harapan dan dukungan harus terus dilambungkan agar pers dapat bertahan, belajar, dan beradaptasi dengan tata cara baru dunia digital ini kian dinamis. Bergabunglah dalam lini masa, tawarkanlah narasi tandingan, didiklah publik dengan konten berkualitas.
Selamat Hari Pers Nasional, Selamat terus belajar dan beradaptasi
*) Gilang Gusti Aji adalah dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Negeri Surabaya (Unesa)