Menikmati 45 Menit Menyeberang Danau Toba
Jumat, 4 Mei 2012 10:20 WIB
Medan - Boy Sirait, lelaki berusia 14 tahun, sibuk membuka tali kapal kecil dari tiang sandaran dermaga. Dibimbing rekannya dari balik kemudi, ia bergegas dan tampak semangat hingga menarik tali ke atas kapal.
"Tapi harus hati-hati bang, soalnya kalau kena orang bisa sakit," ujarnya sambil menggulung tali dan meminggirkan tali di dek kapal.
Tidak berselang lama, saat semua penumpang sudah naik di atas kapal, Boy memberikan aba-aba kepada nakhoda, Rindu Situmorang bahwa kapal siap diberangkatkan.
Perjalanan menyeberang Danau Toba pun dimulai. Tujuannya satu, ke Pulau Samosir. Sebuah pulau yang berada di tengah-tengah Danau Toba, danau terluas di Indonesia dan Asia Tenggara.
Kapal yang digunakan untuk menyeberang jumlahnya puluhan. Semua dikhususkan bagi wisatawan yang memang "wajib" digunakan saat berkunjung ke Danau Toba. Berapapun jumlah pengunjung, tidak perlu khawatir tidak ada kapal.
Kapal khusus menyeberang ke Samosir jenisnya Kapal Motor. Panjangnya bervariasi, namun mayoritas tidak lebih dari sepuluh meter dengan lebar hingga tiga meter. Kapasitas atau daya angkut penumpang bisa hingga 50-an orang.
Yang menjadi khas, setiap perjalanan kapal selalu diputar lagu atau alunan musik dari pengeras suara. Bahkan jika kebetulan ada awak kapal yang lebih dari dua orang, penumpang bisa mendengarkan syahdunya suara bocah-bocah Samosir menyanyi lagu daerah dengan iringan gitar.
Dari kawasan Parapat menuju Kampung Ambarita di Pulau Samosir, memakan waktu sekitar 45 menit. Perjalanan kapal yang tidak terlalu cepat membuat penumpang tidak ingin cepat-cepat sampai karena segarnya menikmati pemandangan danau dan pulau dari atas kapal.
"Kalau naik kapalnya seperti ini, tidak ingin cepat sampai rasanya. Ingin di atas kapal terus. Apalagi sambil dengar lagu Sinanggar Tulo," kata salah satu penumpang, Bambang Wahyono, sambil tangannya ke depan mengikuti iringan lagu khas Sumatera Utara tersebut.
Begitu juga yang dikatakan Arifin, salah seorang penumpang lainnya. Dengan kepala manggut-manggut, pria asal Jombang tersebut tidak berhenti mengikuti gerakan bocah-bocah yang menari khas Sumatera Utara di atas dek kapal.
"Enak ya menari di atas kapal. Tidak ada yang melihat, jadi tidak malu," ucap pria berambut gondrong tersebut sembari tertawa lepas.
Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik yang berjarak sekitar 176 barat ibu kota Sumut, Kota Medan, dengan ukuran danau panjang 87 kilometer dan lebar 27 kilometer, memiliki kedalaman maksimal 505 meter, sehingga panjang keliling danau mencapai 294 km2. Lewat darat, dari Medan bisa ditempuh tiga sampai empat jam.
Danau ini merupakan danau terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Di tengah danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir.
Samosir merupakan sebuah pulau dalam pulau dengan ketinggian 904 mdpl (meter di atas permukaan laut) yang memiliki luas 647 km2 dan pulau lebih kecilnya yaitu Pardapur seluas hanya 7 km2. Karena itulah pulau ini menjadi menarik perhatian para turis. Belum lagi keindahan alamnya yang sangat mengagumkan.
Di pinggiran danau juga terdapat objek wisata bernama Tanjung Unta karena daratan yang menjorok ke danau ini menyerupai punggung unta.
Di tempat ini, budaya Batak masih kental dan tersaji dalam bentuk aslinya. Modernisasi telah menyebabkan migrasi penduduk dan saat ini ada banyak penduduk Batak yang tinggal di luar daerah itu dibanding yang tinggal di sekitar tempat itu atau di sekitar Danau Toba.
Meskipun demikian, kota asal ini tetap merupakan identitas mereka sebagai Batak kendati mereka tinggal di tempat jauh sekali. Total penduduk dari lima daerah wisata utama Danau Toba terdiri dari Tomok/Simanindo, Balige, Porsea, Ajibata dan Parapat adalah 102.477 orang atau 17 persen dari jumlah penduduk seluruhnya yang tinggal di batas perairan Danau Toba.
Kegiatan pariwisata di sekitar kawasan Danau Toba, telah mendorong pengembangan 168 hotel, dari yang tradisional/Batak "home-stay" sampai hotel bintang empat.
Ulos Souvenir
Sudah sampai ke Kampung Ambarita di Pulau Samosir, jangan sampai tidak membawa buah tangan untuk keluarga. Meski jenisnya sama seperti souvenir pada umumnya, seperti kaos hingga gantungan kunci.
Bedanya, semua souvenir bertuliskan "Toba Lake" atau Danau Toba. Ada juga bertuliskan Pulau Samosir, Kampung Ambarita, dan sebagainya.
Tapi yang paling khas, meski tanpa tulisan identitas, ada satu kain yang nyaris tidak ada di daerah lain, yakni kain Ulos. Sebuah kain semacam selendang yang memiliki warna dan motif khas.
Ulos bermacam-macam jenis dan model. Ada yang asli tenun tangan, ada juga yang tidak. Biasanya, harga ulos tenun tangan lebih mahal dan berkisar antara ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Berbeda dengan bukan tenun, yang harganya hanya berkisar puluhan ribu rupiah saja.
"Kalau yang bukan tenun, boleh Rp100 ribu dapat tiga kain. Tapi kalau yang tenun, tidak bisa bang," kata Ratih, salah seorang pedagang souvenir di Pulau Ambarita.
Hanya saja, di kampung ini, wisatawan domestik maupun mancanegara harus lebih selektif dan berhati-hati. Bukan karena rawan kejahatan, tapi sikap pedagang yang dinilai kurang ramah ketika menawarkan dagangannya.
Selain dikenal kurang bersahabat, pedagang menggunakan "jurus" setengah memaksa terhadap pengunjung.
"Jangan beli di toko itu saja bang, disinilah beli meski hanya satu. Bagi-bagi rejeki lah bang," ucap pedagang yang mayoritas sama cara menawarkan dagangannya ke pengunjung.
Bahkan ada juga yang sampai menarik-narik tangan pengunjung dengan harapan jadi membeli karena sudah menawar dagangan.
"Waduh, kalau begini jangan sampai menawar barang. Sebab kalau tidak jadi beli sampai ditarik-tarik begini," tutur Bambang Wahyono sambil tersenyum dan mengelus dada.
Tetapi pemandangan berbeda saat berkunjung ke Pulau Tomok, yang berlokasi sekitar 30 menit dari Ambarita. Saat kapal disandarkan, tidak ada pedagang yang "menyerbu" pengunjung.
Pengunjung dibiarkan oleh pedagang untuk memilih dan menawar souvenir. Harganya tidak jauh berbeda dengan pusat perdagangan di kawasan Ambarita. Barang yang dijual pun juga sejenis.
"Kalau di sini pengunjung bisa bebas memilih tanpa khawatir dipaksa. Pengunjung juga bisa menawar dengan harga sepantasnya," tutur Bambang membandingkan sikap pedagang dengan Ambarita.
Kendati demikian, lanjut dia, meski berbeda cara berdagangnya, inilah yang menjadi daya tarik berwisata di Pulau Samosir. Pengunjung tidak akan pernah lupa dan bisa menjadi cerita bagi keluarga dan rekan di daerah asal.
"Inilah uniknya negeri kita dan kami menghormati itu. Tapi yang pasti, saya tidak akan pernah kapok berkunjung ke Ambarita jika ada waktu mampir lagi ke Samosir," tukas pria yang sehari-hari disapa dengan sebutan "Ayah" tersebut.(Fiqih Arfani)-(*)