Yogyakarta (ANTARA) - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah meminta pemerintah agar menjadikan awal 2025 sebagai momentum mewujudkan komitmen pemberantasan korupsi dengan memperkuat posisi dan peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Memperkuat posisi dan peran KPK agar kembali pada posisi sebagai lembaga independen dalam pemberantasan korupsi," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir di Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Senin.
Dalam Refleksi Akhir Tahun 2024 PP Muhammadiyah, Haedar menegaskan bahwa KPK harus memiliki posisi dan moralitas yang tinggi untuk bisa memberantas korupsi secara benar, adil, objektif, dan tidak terpengaruh oleh pihak apapun dan manapun.
Menurut dia, asalkan KPK beserta semua institusi pemberantasan rasuah mampu bersikap adil, objektif dan tidak tebang pilih maka seluruh komponen bangsa akan memberikan dukungan.
"Sehingga tidak lagi ada cerita tebang pilih dan ada politisasi perkara, politisasi orang yang kemudian akhirnya menimbulkan kegaduhan dalam kehidupan berbangsa," ujar dia.
Menurut dia, KPK agar kembali pada "khittahnya" untuk menjadi lembaga independen yang melakukan pemberantasan korupsi secara benar, adil, dan tanpa terpengaruh oleh pihak manapun.
Selain memperkuat KPK, Haedar berharap pemerintah mewujudkan komitmen pemberantasan korupsi dengan menjadikannya sebagai "political will" (kemauan politik) di seluruh institusi negara baik eksekutif, legislatif, serta yudikatif.
"Saya pikir kalau integritas ini dijadikan 'political will' di awal tahun (2025), ke depan akan lebih bagus. Nah, di sinilah kunci pada seluruh anggota komisioner KPK untuk menjaga dan membangun 'political will' ini," ujar dia.
Sebagai negara hukum, menurut dia, Indonesia sudah semestinya menempatkan hukum di atas segala-galanya.
PP Muhammadiyah, ditegaskan Haedar mendukung komitmen tinggi Presiden Prabowo saat pelantikan terkait pemberantasan korupsi yang tuntas dan berani.
Institusi-institusi penegakan hukum mulai dari kejaksaan, kepolisian, serta lembaga-lembaga yudikatif dari Mahkamah Agung (MA) sampai institusi di bawahnya harus bisa menjadi tempat untuk tegaknya keadilan.
"Sehingga tidak ada lagi, cerita di mana ada politisasi perkara dan transaksi-transaksi yang membuat perkara itu lalu menjadi tebang pilih," ujar Haedar.(*)