Banyuwangi (ANTARA) - Forum Ketua Jurusan (Kajur) Teknik Sipil Politeknik Indonesia melakukan penelitian di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, bagaimana kabupaten di ujung timur Pulau Jawa itu bisa mengimplementasikan arsitektur lokal di bangunan publiknya.
Selama ini, Banyuwangi dikenal sebagai daerah yang peduli dan mengangkat arsitektur lokalnya di setiap bangunan publik pemerintahan, sehingga menjadi perhatian banyak pihak, khususnya para pemerhati bangunan.
"Kedatangan kami bersama rombongan dalam rangka melihat langsung arsitektural kombinasi modern dan kearifan lokal yang ada di Banyuwangi," ujar Ketua Forum Ketua Jurusan (Kajur) Teknik Sipil Politeknik se-Indonesia Dr. Ing. Luthfi Muhammad Mauludin dalam keterangannya di Banyuwangi, Rabu.
Menurut dia, selama ini Banyuwangi cukup konsisten dalam menerapkan kearifan lokal pada berbagai karya bangunannya.
Salah satu yang dikunjungi adalah Pendopo Kabupaten Banyuwangi, sebanyak 30 orang anggota forum tersebut mempelajari setiap sudut pendopo yang hijau dan asri.
"Kami ingin tahu banyak bagaimana Banyuwangi memadukan unsur teknik sipil di dalam desain bangunan yang memadukan dengan kearifan lokal, dan yang penting adalah bagaimana kebijakan ini bisa diterapkan," kata Luthfi.
Selama di Pendopo Kabupaten Banyuwangi, rombongan tersebut mendapatkan penjelasan mengenai setiap bagian bangunan utama, pendopo sendiri merupakan salah satu ikon heritage daerah yang telah berusia hampir 250 tahun.
Bangunan ini sempat di renovasi tanpa mengubah fondasi utamanya dengan melibatkan arsitek nasional kenamaan, Adi Purnomo.
Mereka melihat setiap sudut pendopo, seperti bukit hijau yang mengapit sisi belakang pendopo. Di dalam bukit itu terdapat 9 yang terdiri atas sejumlah kamar eksklusif.
Selanjutnya, rombongan masuk ke bangunan rumah adat yang menjadi replika rumah Suku Osing Banyuwangi, dan mereka juga melakukan cuci muka di sumur Sritanjung yang terletak di paling belakang pendopo yang dipercaya menjadi bagian dari legenda Banyuwangi.
"Pendopo ini kearifan lokalnya lebih menonjol, sehingga bangunannya terasa asri, sirkulasi udara dan pencahayaannya juga lebih baik, karena memadukan material unsur alam," kata Luhtfi.
Usai berkeliling pendopo, rombongan mendapatkan penjelasan tentang bagaimana pemkab membuat kebijakan agar bangunan-bangunan publik disyaratkan wajib mengadopsi kearifan lokal. Ini berlaku tidak hanya pada bangunan milik pemerintah, juga yang dibangun oleh swasta.
Sejumlah bangunan milik pemkab yang menerapkan konsep ini, di antaranya Bandara Banyuwangi yang diarsiteki oleh Andra Matin.
Bandara Banyuwangi cukup kental dengan nuansa arsitektur lokal hingga pernah menyabet penghargaan arsitektur internasional bergengsi Aga Khan Award.
Sejumlah hotel dan bangunan perkantoran di Banyuwangi juga diwajibkan mengadopsi kearifan lokal dalam desainnya, baik bangunan gedung, desain eksterior maupun interiornya.
"Kami sudah datang ke berbagai daerah di Indonesia, meskipun setiap daerah memiliki keunikannya tersendiri, di Banyuwangi ini kami merasakan keunikan yang berbeda, salah satunya karena Banyuwangi berkomitmen pada arsitektur kearifan lokalnya," ujar Luthfi.