Jakarta (ANTARA) - Perekayasa Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Arief Darmawan mendorong optimasi penggunaan mangrove guna memaksimalkan potensi perdagangan karbon Indonesia.
Melalui keterangannya di Jakarta Senin Arief menjelaskan, mangrove dapat berperan dalam perdagangan karbon, karena merupakan salah satu dari tiga ekosistem karbon biru yang efektif dalam menyerap karbon.
"Tentu saja ekosistem ini memiliki peran penting dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Terdapat tiga ekosistem di dalamnya seperti mangrove, padang lamun -seagrass meadows-, dan rawa -salt marshes-," katanya.
Arief memaparkan, distribusi mangrove di Indonesia adalah yang terluas di dunia, yaitu dengan sekitar 3,3 juta hektare dan berpotensi dijadikan aset untuk Indonesia dalam perdagangan karbon.
Ia menyebut mangrove merupakan ekosistem karbon biru yang mampu menyerap CO2 terbesar, kemudian menyimpannya dalam bentuk biomassa atau stok karbon.
"Beberapa hasil riset mangrove pernah dilakukan, dan menunjukkan kandungan karbon dari mangrove memiliki tiga hingga lima kali lipat lebih banyak dibanding hutan tropis," ujarnya.
"Sebagai contoh, jika dalam 100 hektare hutan mangrove dengan kemampuan sekuestrasi sebesar lima ton per hektare per tahun saja kita sudah bisa memperdagangkan 1.835 ton CO2 per tahun," lanjutnya.
Dengan adanya perdagangan karbon, Menurut Arief, mangrove bisa dijadikan sebagai sumber pendapatan negara, termasuk perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pengelolaannya.
Dalam pelaksanaannya, tambahnya, program rehabilitasi dan restorasi mangrove melalui penanaman kembali hutan mangrove harus disesuaikan pada zona atau habitat jenisnya, agar mangrove bisa hidup secara optimal.
"Hal ini penting untuk mengetahui jenis mangrove yang cocok dijadikan aset carbon trading. Indonesia memiliki banyak peluang dan potensi dalam carbon trading ini, salah satunya mengimplementasikan Indonesia sebagai pusat ekspor karbon terbaik," tutur Arief Darmawan.