Emil dalam keterangan diterima di Surabaya, Minggu menuturkan media sosial kini menjadi alternatif utama bagi anak muda dalam berjejaring, sehingga organisasi pelajar harus menghadapi “persaingan” dengan aktivitas lain yang lebih menarik bagi generasi muda.
“Sekarang badan organisasi lebih dari sekadar medsos, dan ada banyak kegiatan lain yang menjadi ‘saingan’ dalam tanda kutip,” kata dia.
Selain itu, Emil juga menyoroti pentingnya strategi pendidikan yang tidak hanya berfokus pada pengetahuan akademis, tetapi juga general knowledge yang penting untuk keseharian.
“Ditanya MPR enggak tahu singkatannya apa, ditanya mengenai negara-negara di dunia enggak tahu,” ungkap Emil.
Emil juga berbagi pengalamannya saat menjadi perwakilan dari Asia di Amerika pada 2018, di mana ia belajar tentang fleksibilitas sistem pendidikan di negara-negara maju.
Namun, ia mengingatkan bahwa Indonesia tidak bisa sepenuhnya meniru sistem tersebut karena perbedaan kondisi sosial dan ekonomi.
“Indonesia jangan meniru begitu saja, karena kita masyarakat dengan 280 juta orang dan tingkat ekonomi yang belum bisa disamakan dengan negara di Eropa,” katanya.
Tantangan lain yang dibahas Emil adalah mengenai artificial intelligence (AI), khususnya platform seperti ChatGPT, yang dapat mengerjakan tugas yang biasanya membutuhkan waktu lama dengan lebih cepat.
“Saya butuh waktu seminggu, tapi ChatGPT bisa melakukannya dalam waktu kurang dari satu menit,” ujar Emil.
Hal ini, menurutnya, bisa menjadi tantangan besar bagi sistem pendidikan di Indonesia ke depannya.
Emil juga mengkritisi sistem pendidikan yang terlalu fokus pada hafalan dan ujian tanpa memberikan ruang untuk berpikir kritis dan kreatif.
“Anak-anak kita dilatih untuk rajin belajar, hafalkan isinya, jawab pertanyaannya, lulus dengan nilai baik. Tapi, apakah ini cukup di era sekarang?” tutur Emil.