BOS, UN, Sertifikasi, SE Jurnal Ilmiah, Apalagi?
Senin, 20 Februari 2012 5:33 WIB
Oleh Edy M Ya'kub (Lamongan) - Ya, ini hanya soal surat edaran yang secara yuridis tidak terlalu mengikat, namun suara pro dan kontra pun menambah keramaian dunia pendidikan.
Padahal, dunia pendidikan selama ini sudah ramai dengan sertifikasi, UN, BOS, dan sebagainya, tapi Surat Edaran alias SE Ditjen Dikti Nomor 152/E/T/2012 tentang publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa program S-1, S-2, dan S-3 pun tak urung menyeruak.
Dalam surat Dirjen Dikti tertanggal 27 Januari 2012 itu juga disampaikan, jumlah karya ilmiah dari Perguruan Tinggi Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, hanya sekitar sepertujuh.
Oleh karena itu, terhitung mulai kelulusan setelah Agustus 2012 diberlakukan ketentuan: program S1 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah, program S2 harus ada makalah di jurnal ilmiah terakreditasi Dikti, dan program S3 harus ada makalah di jurnal internasional.
Adalah Rektor Universitas Surabaya Prof Joniarto Parung PhD yang menilai jurnal ilmiah itu harus memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah, yakni karya itu harus melalui proses uji dari 1-2 reviewer dan jurnal ilmiah yang memuatnya harus terakreditasi.
"Kalau tidak begitu ya berarti tidak berkualitas dan kalau kualitas keilmiahan itu dijadikan syarat kelulusan, maka mahasiswa akan sulit memenuhi kualitas itu, sehingga kelulusannya juga akan tertunda," katanya kepada ANTARA di Surabaya (16/2).
Apalagi, katanya, di Indonesia ada 16.000-an program studi. "Anggap saja setiap prodi itu meluluskan 50 orang setiap tahun, maka akan ada 800.000 mahasiswa yang akan lulus S-1 dalam setiap tahun.
"Kalau paper itu minimal delapan halaman, maka akan ada 6,4 juta lembar paper. Pertanyaannya, siapa yang akan menjadi reviewer (penguji) bagi 800.000-an paper. Bisa jadi, dosen nggak sempat mengajar," katanya.
Bila dipaksakan dengan jurnal elektronik tanpa reviewer, maka paper yang terbit akan "asal membuat" tapi kebijakan itu bisa diterapkan untuk dosen dan dosen yang aktif menulis diberi "reward" sehingga dia akan semakin aktif. "Jadi, jangan kebijakan dadakan dan asal-asalan," katanya.
Senada dengan itu, Kepala Perpustakaan Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya Aditya Nugraha menyatakan tidak setuju kewajiban itu untuk S1 dan S2, karena standar keilmiahan belum dapat dipenuhi oleh mereka.
"Lulusan S1 itu umumnya tidak selalu menulis skripsi ilmiah dan lulusan S2 juga bisa memilih jalur non-akademis, apalagi kalau dikaitkan dengan reviewer, karena syarat reviewer itu sulit dan bahkan tidak semua dosen itu bisa menjadi reviewer," katanya.
Tentang jurnal online sebagai alternatif, ia menyatakan jurnal online juga tetap memerlukan reviewer. "Kalau tidak begitu ya berarti bukan jurnal ilmiah. Tim reviewer itu meliputi 2-3 orang yang ahli di bidangnya," katanya.
Oleh karena itu, ia menyoroti kebijakan jurnal ilmiah itu dari dua aspek yakni sumber daya manusia "reviewer" (penguji) dan definisi ilmiah yang dimaksud dalam surat edaran itu.
"Syarat reviewer itu sulit, bahkan jurnal ilmiah itu juga bukan sekadar meringkas skripsi, karena tidak semua skripsi itu memenuhi standar ilmiah yang bisa masuk jurnal ilmiah," katanya.
Untuk program S2 juga masih sulit, karena S2 itu bersifat abu-abu. "Peserta program S2 itu ada yang akademis tapi ada juga yang profesional, karena itu saya lebih setuju jurnal ilmiah itu untuk program S3 yang memang wajib meneliti dan penguasaan bahasa Inggris juga ada," katanya.
Alternatifnya, pemerintah sudah harus menyiapkan sumber daya manusia dengan mendidik peneliti baru, seperti yang dilakukan Yohanes Surya yang melatih pelajar untuk mengikuti olimpiade sains.
Dialektika Ilmiah
Bagi Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Djoko Santoso, kewajiban publikasi artikel di jurnal ilmiah akan memetakan kualitas perguruan tinggi.
"Dengan kebijakan publikasi artikel ini, nantinya akan diketahui mana perguruan tinggi (PT) yang mampu, mana yang belum mampu," katanya setelah peresmian Gedung Informasi Teknologi (IT) Universitas Negeri Semarang di kampus setempat (15/2).
Ia mempersilakan masyarakat untuk menilai mereka. "Kalau tidak mau ya tidak apa-apa. Mereka yang menolak kan bisa diartikan mereka tidak sanggup atau tidak bisa, cuma dua ini kemungkinan alasan menolak. Padahal sarjana harus mampu menulis artikel atau karya ilmiah," katanya.
Berkaitan sanksi terhadap PT yang tidak melaksanakan kebijakan itu, ia mengatakan, penulisan dan publikasi karya ilmiah merupakan kesadaran dunia akademis bahwa seorang sarjana pun harus mampu menulis artikel atau karya ilmiah.
"Apa sanksinya? 'Ora ilok '(tidak baik) atau 'pamali' dalam bahasa Sundanya. Sarjana harus mampu menulis karya ilmiah, kalau tidak bisa atau tidak sanggup melakukannya ya 'ora ilok' dalam istilah Jawa," katanya.
Ia mengakui, ada penilaian bahwa nantinya kebijakan itu melahirkan "jurnal-jurnalan" atau jurnal "abal-abal", namun semua itu bergantung kepada PT yang bersangkutan, meliputi pihak kampus, dosen, hingga mahasiswa.
"Itu kembali lagi, ya jadi 'jurnal-jurnalan' kalau yang membuat 'mahasiswa-mahasiswaan' yang diuji oleh 'dosen-dosenan'. Namun, kalau mahasiswa bersangkutan, dosen, dan PT serius akan jadi jurnal ilmiah 'beneran'," katanya.
Hal itu dibenarkan Mendikbud Mohammad Nuh. "Kewajiban publikasi artikel dalam jurnal ilmiah itu bukan beban, karena mahasiswa membuat artikel tersebut berdasarkan skripsi atau laporan akhir yang sudah dibuatnya sebelum lulus," katanya di sela-sela seminar dalam rangka Kongres I Ikatan Sarjana NU (ISNU) di Unisda, Lamongan, Jatim (18/2).
Mendikbud tidak mempersoalkan universitas yang menolak. "Kalau ada (universitas) yang menolak (jurnal ilmiah) ya nggak apa-apa, kita tidak akan memberikan sanksi, tapi kita akan jelaskan dulu, karena mereka belum paham saja," katanya.
Menurut dia, surat edaran tentang kewajiban publikasi artikel di jurnal ilmiah itu sebenarnya bukan dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah karya ilmiah secara kuantitas dan mengabaikan kualitas, namun surat edaran itu lebih dimaksudkan pada pertanggungjawaban universitas pada masyarakat.
"Output universitas itu ada dua yakni orang dan karya ilmiah, karena itu jurnal ilmiah itu merupakan bentuk pertanggungjawaban universitas kepada masyarakat, sekaligus akan mengangkat nama universitas itu bila karya ilmiah yang dituliskan dipublikasikan pada jurnal 'online'," katanya.
Ia meminta masyarakat untuk tidak mengecilkan kiprah sarjana strata-1 (S1), karena mereka sudah menulis skripsi, sehingga mereka tinggal mengubah skripsi yang dibuat menjadi makalah/paper dalam 3-4 halaman untuk diunggah pada jurnal "online" di kampusnya.
"Reviewer skripsi yang akan dipublikasikan melalui jurnal online itu juga tidak perlu orang baru, melainkan cukup 3-4 dosen penguji skripsi. Jadi, kalau skripsi-nya dinyatakan memenuhi syarat, maka syarat menulis karya ilmiah pun terpenuhi," katanya.
Selain itu, katanya, artikel yang ditulis dan dipublikasikan akan mendorong penulisnya untuk serius dan hasilnya pun berkualitas, karena penulisnya tidak ingin malu di hadapan temannya dan orang lain yang membaca artikelnya secara "online".
"Publikasi karya ilmiah itu juga akan mewujudkan terjadinya dialektika ilmiah, karena artikel mana yang belum pernah ditulis dan artikel yang sudah pernah ditulis, akan menjadi bahan pembicaraan guna menghindari pengulangan dan mempercepat perkembangan iptek," katanya.
Alasan lain yang juga penting adalah publikasi karya ilmiah akan dapat mengangkat nama universitas yang bersangkutan, sehingga peringkat universitas yang sering mempublikasikan karya ilmiah pun akan cepat naik.
"Masa sarjana, kok tidak bisa menulis," katanya di hadapan peserta Kongres I ISNU di Lamongan yang dibuka Wakil Ketua Umum PBNU Dr (HC) As'ad S Ali dan dihadiri Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Mahfud MD itu. (*)