Kairo (ANTARA) - Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi pada Kamis (29/8) memperingatkan tentang “bahaya ekstrem” operasi militer Israel yang sedang berlangsung di Tepi Barat bagian utara.
Peringatan ini disampaikan selama pertemuan di Kairo antara Sisi dan delegasi Kongres AS yang dipimpin oleh Senator Joni Ernst, yang mendukung upaya mencapai gencatan senjata di Gaza dan kesepakatan pertukaran tahanan, demikian menurut pernyataan dari kepresidenan Mesir.
Sisi memperingatkan tentang “bahaya eskalasi dan ketegangan di wilayah tersebut akibat perang yang sedang berlangsung di Jalur Gaza,” menurut pernyataan itu.
Ia menegaskan komitmen Mesir untuk melanjutkan upaya, dalam koordinasi dengan mitra, “untuk mengakhiri perang Israel yang telah menyebabkan bencana kemanusiaan di Jalur Gaza,” tambahnya.
Selama beberapa bulan, Mesir, Qatar, dan AS telah berupaya mencapai kesepakatan antara Israel dan Hamas untuk memastikan pertukaran tahanan dan gencatan senjata, serta memungkinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza.
Namun, upaya mediasi terhambat oleh penolakan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk memenuhi tuntutan Hamas agar perang dihentikan.
Pemimpin Mesir tersebut memperingatkan “bahaya ekstrem dari eskalasi Israel saat ini di Tepi Barat, yang secara signifikan meningkatkan risiko memperumit situasi regional.”
Tentara Israel meluncurkan operasi militer besar-besaran di Tepi Barat bagian utara pada Rabu (28/8), yang merupakan operasi terbesar dalam dua dekade.
Setidaknya 17 warga Palestina tewas sejak operasi Israel dimulai pada Rabu, menurut Kementerian Kesehatan.
Operasi ini terjadi ketika Israel terus melakukan serangan brutal di Jalur Gaza setelah serangan Hamas pada 7 Oktober lalu, meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera.
Serangan di Gaza itu telah menyebabkan lebih dari 40.600 kematian warga Palestina, sebagian besar wanita dan anak-anak, serta lebih dari 93.800 luka-luka, menurut otoritas kesehatan setempat.
Blokade yang terus berlangsung di Gaza telah menyebabkan kekurangan pangan, air bersih, dan obat-obatan yang parah, meninggalkan banyak wilayah dalam kondisi hancur.
Israel menghadapi tuduhan genosida di Pengadilan Internasional, yang telah memerintahkan penghentian operasi militer di kota Rafah bagian selatan, di mana lebih dari satu juta warga Palestina telah mencari perlindungan sebelum wilayah tersebut diinvasi pada 6 Mei.
Sumber : Anadolu-OANA