Malang Raya (ANTARA) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut hukuman mati terhadap Abdul Rahman yang merupakan terdakwa dalam kasus mutilasi terhadap pria asal Surabaya bernama Adrian Prawono beberapa waktu lalu di Kelurahan Sawojajar, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, Jawa Timur.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Muhammad Fahmi Abdillah dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Kota Malang, Senin, menyatakan bahwa tuntutan hukuman mati itu lantaran terdakwa telah melanggar dua pasal.
"Tim JPU berpendapat bahwa perbuatan terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana diatur pasal 340 KUHP dan pasal 181 KUHP," kata Fahmi.
Dia menyebut terdakwa terlebih dahulu membunuh korban, sebelum melakukan aksi mutilasi tersebut. Kejadian pembunuhan disertai mutilasi itu terjadi pada Oktober 2023 dan potongan tubuh korban ditemukan Januari 2024.
"Iya dibunuh dulu, baru ada jangka waktu berpikir dari terdakwa selama beberapa jam dan baru dimutilasi untuk menghilangkan kematiannya," ucap dia.
Baca juga: Polresta Malang Kota dalami kasus pembunuhan disertai mutilasi
Terdapat empat hal yang menyebabkan JPU menuntut terdakwa Abdul Rahman dengan hukum mati, yakni pertama karena perbuatannya memiliki unsur sadis.
"Karena terkait dengan hal ini korban dibunuh dulu, baru terdakwa ada jangka waktu berpikir selama beberapa jam dan baru dimutilasi untuk menghilangkan kematian," kata dia.
Kedua, terdakwa dengan sengaja menghilangkan jenazah yang dalam hal ini adalah potongan tubuh korban sehingga tidak utuh.
"Kemudian kami beranggapan bahwa terdakwa telah berbohong di persidangan," ujarnya.
Fahmi menjelaskan bahwa dari keterangan terdakwa saat persidangan menyatakan dia melakukan aksi pembacokan sebanyak dua kali di bagian leher korban.
Tetapi berdasarkan hasil visum terungkap jika terdakwa melakukan aksi pembacokan lebih dari dua kali.
Baca juga: Polri ungkap motif pembunuhan disertai mutilasi di Kota Malang
"Terdapat 17 patahan tulang komplit dan inkomplit di kepala, jadi ini sama rahang itu ada dua, sama lehernya ada lagi. Sebanyak 17 luka itu bukan dalam rangka memisahkan tubuh korban, berdasarkan keterangan ahli forensik," lanjutnya.
Dia menambahkan satu perbuatan lagi yang memberatkan adalah terdakwa pada tahun 2015 pernah terjerat kasus pencurian dengan pemberatan.
"Jadi terdakwa sudah pernah dihukum, jadi sudah selayaknya mendapat hukuman yang lebih berat daripada sebelumnya," kata dia.
Sementara, penasehat hukum terdakwa Abdul Rahman, Guntur Putra Abdi Wijaya menyatakan akan menyusun nota pembelaan atau pledoi terhadap tuntutan JPU.
"Kami tetap melakukan pledoi terkait apa yang dituntutkan oleh jaksa, bahwasanya kami sudah mengikuti mulai saat ditangkap oleh kepolisian sampai rekonstruksi," kata Guntur.
Dia menyatakan pihaknya berupaya agar terdakwa bisa terlepas dari hukuman mati sebagai tuntutan JPU.