Lumajang, Jawa Timur (ANTARA) - Pengamat hukum Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Jember Ahmad Suryono mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) wajib dijalankan karena putusan tersebut bersifat final dan mengikat.
"Meskipun MK sudah mengeluarkan putusan, namun beberapa lembaga negara tidak menjalankannya. Justru sebaliknya, ada manuver politik untuk menggagalkan putusan itu," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima di Jember, Kamis.
Menurutnya, putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengatur ambang batas pencalonan kepala daerah, seperti gubernur, bupati, dan wali kota dan putusan 70/PUU-XXII/2024 yang mengatur batas usia minimal calon kepala daerah harus dilaksanakan.
"Putusan Nomor 60 yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah memungkinkan lebih banyak partai politik mengajukan calon karena selama ini terjadi fenomena "koalisi gemuk" di berbagai daerah, di mana partai-partai politik bersatu untuk mendominasi pencalonan kepala daerah," tuturnya.
Baca juga: Tak penuhi kuorum, rapat paripurna pengesahan RUU Pilkada batal
Dengan putusan MK itu, calon-calon potensial yang bukan bagian dari koalisi gemuk bisa memiliki kesempatan lebih besar, sehingga pihaknya mengkritik langkah DPR yang mencoba merevisi Undang-undang Pilkada yang sudah dinyatakan tidak berlaku oleh MK.
"Tindakan DPR yang cepat mengajukan perubahan undang-undang tersebut sangat tidak etis dan itu mencerminkan ketidakpedulian terhadap putusan MK, bahkan memperlihatkan kepentingan politik tertentu yang merasa terganggu oleh putusan tersebut," katanya.
Ahmad mengatakan bahwa tindakan DPR itu adalah ancaman serius bagi demokrasi Indonesia dan MK adalah benteng terakhir konstitusi, dan jika putusan-putusan MK terus dianulir, maka hal itu akan merusak demokrasi serta tatanan hukum di Indonesia.
"Saya mengimbau rakyat untuk bersatu dan mengawal proses demokrasi serta putusan MK. Mari kita buat perlawanan yang baik dan menyeluruh untuk melindungi demokrasi Indonesia," ucap dosen hukum.