Surabaya (ANTARA) - Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melalui Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) telah mempersiapkan sejumlah langkah untuk mengendalikan harga cabai merah dan rawit di pasaran di wilayah tersebut.
Kepala DKPP Kota Surabaya Antiek Sugiharti dalam keterangannya di Surabaya, Selasa, mengatakan menggencarkan kegiatan tanam cabai bersama kelompok tani (poktan) dan urban farming.
"Kami sudah bisa membaca trennya pada bulan tertentu ketika harga cabai naik, biasanya menjelang hari besar atau pada musim yang cabai itu tidak bisa produksi bagus, atau adanya serangan hama sehingga kami mengatur pola tanam," kata dia.
Kegiatan tersebut nantinya juga diharapkan bisa diterapkan masyarakat di rumah masing-masing, yakni dengan menanam cabai merah maupun rawit di dua pot.
"Kalau gerakan menanam itu minimal dua pot, itu sudah mampu mengurangi kebutuhan pasar dan bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga," ucapnya.
Selain itu, DKPP bersama poktan juga memanfaatkan ketersediaan 14 lahan bekas tanah kas desa (BTKD) dan 11 taman hutan raya sebagai lokasi penanaman.
"Petani yang kami dorong, ada di Made, Pakal, dan Lakarsantri," ujarnya.
Antiek optimistis upaya yang dilakukan bisa mencukupi kebutuhan per bulan untuk cabai merah sebanyak 270 ton dan cabai rawit 391 ton di Kota Surabaya, selain mendapatkan pasokan dari beberapa daerah penghasil, seperti Kediri, Malang, Blitar, dan sebagian dari Provinsi Jawa Tengah.
Hal tersebut berkaca dari turunnya harga cabai di Kota Surabaya yang semula Rp70 ribu per kilogram pada Minggu (28/7) menjadi Rp69 ribu pada Senin (29/7).
"Kami juga rutin melakukan pengecekan harga pangan di pasar," katanya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Cabai Indonesia (APCI) Kabupaten Kediri, Suyono menyampaikan saat ini tanaman cabai rawit merah di dataran tinggi banyak yang mati dan dibongkar akibat dampak kekeringan.
Sedangkan untuk wilayah dataran rendah, musim tanam masih berjalan.
"Adapun panen saat ini di dataran rendah masih lokasi dikarenakan masa tanam mundur pengaruh iklim. Selain itu, saat ini sudah ada serangan jamur colletotrichum capsici (antraknosa) dan lalat buah juga berpengaruh mengurangi produksi," kata dia.
Dia juga memprediksi harga rata-rata masih tinggi sampai minggu ke-3 bulan Agustus 2024, dikarenakan ada jeda masa panen.
"Seharusnya dataran tinggi masih panen apabila tidak terjadi kekeringan. Prediksi akhir bulan Agustus, sudah ada luas tambah panen. Kenaikan harga tidak akan mahal sekali dikarenakan masih ada beberapa sentra yang panen di seluruh Indonesia," ucapnya.