Surabaya (ANTARA) - Sekretaris Perusahaan PT Perkebunan Nusantara I Regional 4, Yunianta menyatakan pihaknya menghormati dan mendukung proses hukum yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus korupsi pembelian lahan oleh eks pejabat PTPN XI.
"Kami menghormati proses hukum yang sedang dihadapi oleh pejabat eks PTPN XI. Kami juga akan kooperatif, bekerja sama, dan memberikan informasi yang dibutuhkan dalam membantu penegak hukum agar kasus ini dapat terungkap serta terpenuhi aspek keadilannya," ujarnya dalam keterangan diterima di Surabaya, Selasa.
Hal tersebut, kata dia, sesuai dengan semangat bersih-bersih Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang digalakkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir. Oleh karena itu, semua SOP perusahaan wajib mengacu pada Good Corporate Governance (GCG).
"Manajemen PTPN I Regional 4 selalu berkomitmen dan memastikan setiap proses pengadaan dan operasional perusahaan berjalan sesuai dengan GCG," kata Yunianta.
Sebelumnya, KPK melakukan penahanan tersangka korupsi pembelian lahan oleh eks pejabat PTPN XI, yaitu eks direktur tahun 2016 berinisial MC, eks Kepala Divisi Umum, Hukum & Aset tahun 2016 berinisial MK dan Komisaris Utama PT Kejayan Mas berinisial MHK.
"Untuk kebutuhan penyidikan, tim penyidik menahan para tersangka masing-masing selama 20 hari pertama tersangka MC dan MK ditahan terhitung mulai tanggal 13 Mei 2024 sampai 1 Juni 2024, sedangkan MHK terhitung mulai tanggal 8 Mei 2024 sampai 27 Mei 2024 di Rutan Cabang KPK," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selatan, Senin (13/5).
Baca juga: KPK tahan tiga tersangka korupsi pengadaan lahan PTPN XI
Alex mengungkapkan BPKP telah melakukan penghitungan kerugian keuangan negara akibat pengadaan lahan dimaksud dan menyatakan negara telah mengalami kerugian sebesar Rp30,2 miliar .
Konstruksi perkara tersebut diduga bermula pada tahun 2016, saat itu Direktur PT Kejayan Mas mengajukan surat penawaran lahan pada Direktur PTPN XI perihal penawaran lahan seluas 795.882 meter persegi atau oleh 79,5 Ha yang berada di Kecamatan Kejayan, Kabupaten Pasuruan dengan harga Rp125 ribu per meter persegi.
Atas penawaran tersebut, MC selaku Direktur PTPN XI memberikan persetujuan dan disposisi untuk segera ditindaklanjuti dengan memerintahkan MK menyusun draf SK Tim pembelian tanah untuk tanaman tebu sendiri PTPN XI.
MC dan MK bersama dengan beberapa pegawai pabrik gula kemudian melakukan kunjungan langsung ke lokasi. Kunjungan tersebut diterima langsung MHK selaku Komisaris Utama PT KM.
Kemudian dalam waktu singkat dan tanpa kajian mendalam soal kelayakan kondisi lahan, MC langsung memerintahkan MK untuk segera memproses dan menyiapkan pengajuan anggaran senilai Rp150 miliar.
MC, MK dan MHK menyepakati nilai harga Rp120 ribu per meter persegi, padahal menurut keterangan kepala desa setempat nilai pasar lahan hanya berkisar Rp35 ribu sampai Rp50 ribu per meter persegi.
Selanjutnya atas perintah MC dan MK, dibuat dokumen fiktif berupa laporan akhir kajian kelayakan lahan calon lokasi budidaya tebu PG Kedawoeng sebagai salah satu kelengkapan dokumen pencairan pembayaran uang muka termasuk pelunasan yang ditujukan pada Divisi Keuangan PTPN XI.
Dari hasil pemeriksaan P2PK Kementerian Keuangan dan dikuatkan lagi dengan hasil kaji ulang litigasi oleh Dewan Penilai Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) dan hasil penilaian KJPP Sisco Cabang Surabaya, menyimpulkan dan menyatakan bahwa harga tersebut tidak wajar dan di mark-up.
MC juga diketahui tetap memaksakan dilakukan pembelian lahan walaupun yang bersangkutan mengetahui fakta di lapangan bahwa kondisi lahan memang tidak layak untuk ditanami tebu karena faktor keterbatasan lereng, akses dan air.
Selain itu, KPK juga menerima informasi soal adanya uang sebesar Rp1 miliar yang dibagikan MHK ke berbagai pihak yang ada di PTPN IX karena mendukung kelancaran proses transaksi.
Atas perbuatannya ketiga tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.