Indonesia itu bangsa yang lengkap. Di era global masih memiliki masyarakat dengan nilai-nilai kehidupan dan pola hidup yang kuno, seperti di pedalaman Sulawesi dan Papua, tapi juga memiliki masyarakat megapolitan yang sangat modern. Tidak jauh berbeda dengan itu, pers Indonesia juga mengalami "perubahan" yang lengkap dalam tiga tahap. Mulai dari pers perjuangan yang selalu "marah" dengan sikap penjajah, sebagaimana disuarakan Bung Tomo, pejuang yang juga wartawan, sosok yang menggerakkan semangat bangsanya lewat tulisan dan pidato yang bergelora. Perubahan kedua, pers Indonesia pernah menjadi "corong" partai politik pada 1955-1959, sehingga terbitlah Suluk Indonesia (PNI), Harian Abadi (Masyumi), Pedoman (Sosialis), Duta Masyarakat (NU), Terompet Rakyat (PKI). Saat itu, pers "dikuasai" oleh partai yang berkuasa dan siapa yang tidak tunduk akan mengalami pembredelan. Ketika era parpol berganti menjadi era pembangunan, pers akhirnya berganti menjadi "corong" pemerintahan Orde Baru. Siapa yang kritis terhadap presiden yang berkuasa akan dibredel, sehingga Majalah Editor atau Tabloid Detak pun "wassalam"... Ketiga, pers Indonesia menghirup era reformasi yang serba bebas dan sangat terbuka. Tapi, ibarat lepas dari mulut buaya, lalu masuk ke mulut harimau, maka pers Indonesia yang sudah lepas dari cengkeraman "penguasa" pun kini masuk ke cengkeraman industri ! Nah, Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA yang didirikan Adam Malik dan kawan-kawan pada 13 Desember 1937 itu menjadi saksi dari "tiga perubahan" tersebut, karena tercatat dalam sejarah sebagai "penyiar" berita naskah proklamasi 17 Agustus 1945 pukul 19.00 WIB ke seantero jagat, setelah paginya dibacakan oleh Ir. Soekarno (Bung Karno). ANTARA juga pernah menjadi "penyiar" berita pembangunan di era Orde Baru, meski ANTARA harus menganut filosofi Jawa dalam pemberitaan yakni "ngono yo ngono tapi ning ojok ngono" atau pemberitaan ANTARA menggunakan "bahasa" yang dapat membuat pemerintah dan masyarakat pun "enjoy" saat dikritik. Kini, ANTARA menjadi lembaga yang memiliki status badan hukum sebagai salah satu BUMN di Indonesia sejak 2007. Sejak itu, ANTARA berusaha menyesuaikan diri dengan "perubahan" di masyarakat, pemerintah, negara, dan bahkan teknologi informasi. Ketika semua media massa sudah menjalankan komputerisasi, ANTARA juga melakukannya. Begitu media massa menuju era digital, ANTARA juga tak ketinggalan melakukan digitalisasi. Masalahnya, di era BUMN (perubahan tahap ketiga), netralitas ANTARA merupakan bagian dari pertanyaan klasik tentang netralitas media ketika menjadi bagian dari sebuah "industri". Apakah ANTARA masih bisa bersikap netral ketika menerima iklan untuk portal (semisal www.antarajatim.com yang lahir pada 12 Desember 2007) yang dimiliki? Apakah ANTARA masih bisa bersikap kritis ketika ANTARA menerima penugasan dalam bentuk PSO? Apakah ANTARA atau media massa yang menjadi bagian dari industri itu masih bisa beropini? Jawaban atas masalah itu sebenarnya cukup dengan kembali kepada hakekat sebuah berita. Berita itu sama dengan "frekuensi" bagi media elektronik (radio/televisi) yakni berita atau frekuensi itu milik publik dan karenanya tidak boleh ada keberpihakan di dalamnya. Artinya, berita atau frekuensi itu harus tetap berisi informasi yang berimbang atau netral dari berbagai sudut (pandangan) atau sosok (figur). Misalnya, pemberitaan tentang calon atau kandidat dalam pilkada, pilrek (pemilihan rektor), dan jenis pemilihan langsung lainnya, maka semua calon atau kandidat harus diberi porsi yang sama dan tidak boleh ada pemihakan sedikit pun. Bagaimana dengan berita yang disodorkan seorang kandidat dalam bentuk iklan? Banyak media massa menyiasati dalam bentuk advertorial, tapi hal itu sebenarnya sama saja dengan berita yang menjadi milik publik, cuma sedikit dikemas, sehingga advetorial itu hakekatnya berita juga. Lalu? Media massa sebenarnya boleh beropini, tapi opini itu bukan di ranah berita, melainkan di ranah non-berita seperti artikel, features, telaah, kolom/opini, dan sebagainya. Dan, bila ANTARA menerima penugasan dalam bentuk PSO, apakah ANTARA masih memiliki "kemarahan" kepada kondisi riil bangsa ini seperti halnya ketika masih memasuki era perjuangan (melawan penjajah) dan era pembangunan? Pengalaman ANTARA di era Orde Baru yang berusaha menjaga netralitas lembaga dengan "framing" (pembingkaian) berita ala Jawa, yakni "kritis tapi bijak", agaknya merupakan pilihan yang tetap mampu menjaga citra tanpa kehilangan jatidiri sebagai pers yang selalu "marah" dengan kondisi riil bangsa tercinta ini. Tanpa harus "menjadi" Jawa, tapi menerapkan filosofi Jawa itulah yang membuat ANTARA akan dapat diterima semua pihak, karena "kemarahan" yang penting adalah "tiga kemarahan" yakni kemarahan yang menyemangati, kemarahan yang disampaikan dengan cinta, dan kemarahan yang tidak saling menyalahkan... Insya-Allah, cara "marah" yang menyemangati, penuh cinta, dan tidak saling menyalahkan itulah yang akan mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tidak melihat "manusia" dari status (suku, agama, ras, golongan, jabatan/pangkat, dan perbedaan duniawi lainnya), namun melihat "manusia" dengan penuh etika, empati, dan penghormatan sesama. Mau? (edyyakub@yahoo.com) (*)
Satu ANTARA, Tiga Perubahan
Senin, 12 Desember 2011 11:04 WIB